Kebutuhan transportasi publik di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta -Solo, terutama untuk moda Kereta Rel Listrik (KRL), Light Rail Transit (LRT )  dan  Mass Rapid Transit (MRT)  sangat penting sekali  seiring pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang pesat.
Dengan adanya KRL, MRT, LRT, warga sangat terbantu dalam mencapai destinasi tujuan lebih murah, cepat dan terjangkau . Â Apalagi Pemerintah selalu menghimbau agar warga menggunakan transportasi massal untuk mengurangi polusi dan emisi karbon di Jakarta yang padat dan macet.
Adanya wacana dari Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL atau subsidi KRL berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK), akan membuat warga yang biasanya membayar  tarif yang berlaku sebesar Rp.3.000 per 25 kilometer dan Rp.1.000 per kilometer berikutnya,  menjadi Rp.5.000 per kilometer.  Hal ini berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi warga , terutama di tengah inflasi yang membuat biaya hidup semakin tinggi.
Sensitivitas terhadap kenaikan harga juga sangat dirasakan oleh pengguna KRL.  Banyak pengguna yang sebelumnya  terbantu dengan subsidi kini harus memikirkan ulang pengeluaran sehari-hari.
Dari hasil survei yang diadakan oleh beberapa media, ada sebagian besar warga pengguna KRL menyatakan bahwa mereka akan sangat terbebani jika harga tiket naik, yang akan berdampak kepada kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Pendapatan tahun 2025 pengguna KRL Â belum ada kepastian kenaikan gaji , bahkan bayang-bayang ekonomi yang makin sulit karena pertumbuhan yang tidak ada. Biaya transportasi termasuk kategori terbesar dari anggaran pribadi/rumah tangga. Â Walaupun kenaikan terlihat kecil tapi volume pemakaian transportasi dengan KRL cukup besar
Saya  merasakan sensitivitas kenaikan harga bagi  sejumlah pengguna KRL .  Pengguna KRL pada tahun 2023 sebanyak 331.894.721.  Mereka terpaksa berpikir ulang bagaimana menyikapi kenaikan dan apakah mereka harus bersikap untuk menggantikan KRL dengan transportasi yang lainnya?
Fakta dari Skema Perubahan Tarif berdasarkan NIK
Kenaikan tarif terakhir yang dikenakan oleh Pemerintah/Kementerian Perhubungan adalah tahun 2016. Â Belum ada perubahan setelah tahun 2016.
Penentuan harga yang ditetapkan pada tahun 2016 adalah Rp.3.000 per 25 kilometer pertama dan selanjutnya ditambah menjadi Rp.1.000.   Penentuan tarif ini bukan ditentukan oleh PT. Kereta Commuter Indonesia (KAI Commuter) .  Fungsi KAI adalah sebagai operator untuk KRL  sedangkan seluruh kebijakan tarif KRL berada di tangan  Kementerian Perhubungan.  Kementrian Perhubungan akan mengajukan  subsidi pada  Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN)
Subsidi KRL itu menjadi bagian dari subsidi yang menjadi kewajiban pelayanan publik atau  Public Service Obligation (PSO).  Pemerintah akan membuat anggaran subsidi PSO  atas sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki fungsi layanan publik salah satunya adalah PT. Kereta Api Indonesia atau KAI.
Anggaran RAPBN 2025, khusus untuk subsidi non energi,  untuk  PSO  dipagu menjadi Rp.7,96 triliun, naik 0,9% dari tahun anggaran 2024 sebesar Rp.7,88 triliun.
Khusus untuk  PT. KAI, anggaran PSO  menjadi senilai Rp.4,79 triliun.  Anggaran ini  khusus untuk PT KAI untuk seluruh layanan PT. KAI baik jarak jauh, sedang dan dekat.   PT. KAI tentunya harus mengalokasikan subsidi itu mulai dari kereta jarak jauh hingga  dekat dan yang kena dampaknya tentu untuk jarak dekat yang dianggap sudah lama terlalu besar subsidinya dan belum ada kenaikan.
Dalih dari Pemerintah  mengurangi subsidi KRL yaitu, pertama  subsidi harus tepat sasaran, kedua warga mampu membayar lebih mahal/tinggi , ketiga memaksimalkan pendapatan non tiket PT. KAI, keempat pengurangan subsidi anggaran subsidi PSO.  Keempat alasan ini jadi landasan  wacana agar tiket atau tarif  KRL dinaikkan dan tarif berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) segera diluncurkan.
Rencana skema subsidi KRL berbasis NIK telah dimasukkan ke dalam Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2025 dalam bab 3 tentang Belanja Negara.
Tentu rencana atau wacana kenaikan tarif  berdasarkan NIK ini menimbulkan polemik di antara warga pengguna KRL.  Meskipun Kementerian Perhubungan belum memberikan metode cara  perhitungan bagaimana penetapan berdasarkan NIK, tetapi saya sangat tidak setuju .
Alasan saya tidak setuju karena jika penggunaan NIK dijadikan basis subsidi sulit perhitungannya, mengingat bahwa data kependudukan di Indonesia belum akurat .
Kesimpulan Opini
Saya ingin mendorong Pemerintah, Kementerian Perhubungan untuk mengkaji ulang tentang kenaikan tarif KRL berdasarkan NIK karena subsidi transportasi umum harus dinilai pelayanan secara menyeluruh.
Jika data NIK belum akurat bagaimana warga yang masih membutuhkan bantuan subsidi karena penghasilan yang rendah tiap bulan, bisa mendapatkan subsidi  tanpa terdiskriminasi .
Transportasi adalah milik publik secara bersama-sama, maka sebaiknya tidak ada perbedaan tarif . Â Implementasi kebijakan akan rumit untuk menentukan mana yang kaya dan mana yang miskin karena data NIK belum 100% valid.
Fokuslah pada pertambahan frekuensi perjalanan sehingga tidak terjadi penumpukan pada saat jam sibuk, juga  hilangkan Stasiun Manggarai sebagai stasiun transit yang sangat tidak bermanfaat dan membuang waktu dan menjadikan kacau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H