Saya termasuk orang yang mudah empati terhadap kesulitan orang. Saya mudah memberikan tanpa melihat motivasi dan background dari peminta bantuan.
Jika saya memberikan donasi lewat platform biasanya jumlahnya tidak besar. Jika akhirnya terjadi penyelewengan seperti contoh di atas. Saya merasa sudah ikhlas hilangnya uang donasi.Â
Saya akan menyerahkan kepada Tuhan saja atas kehilangan uang itu. Niatnya baik tapi jika orang yang minta bantuan justru membuat suatu penipuan, hal itu menjadi masalah dirinya dengan Tuhan.
Namun, ada satu pembelajaran yang saya harus perbaiki dalam pemberian dana (jumlah besar dan berlangsung lama secara berkesinambungan. Ketika kami harus membantu adik ipar yang jadi tulang punggung keluarga meninggal sedangkan anaknya masih kecil. Anak dan ibunya dibawa dari Lampung ke Jakarta untuk tinggal bersama kakak ipar. Akhirnya
Namun, karena kondisi ekonomi kakak ipar sangat lemah, maka suami saya ambil alih untuk semua biaya keponakan.
Semua kebutuhan hidup dan sekolah keponakan, kami biayai melalui kakak ipar yang mengurusnya. Sayangnya, biaya makin membengkak dengan dalih yang bermacam-macam.
Hampir 12 tahun keponakan akhirnya lulus dari perguruan tinggi. Saya lalu meminta bantuan itu dihentikan karena tugas kami telah selesai. Namun, apa yang terjadi justru menyakitkan, kakak ipar dengan nada marah membalikkan fakta biaya keponakan bukan dari kami tapi dari anaknya.
Nah, itulah pembelajaran bagi saya bahwa sebuah bantuan yang seharusnya menjadi hal yang baik tetapi justru menjadi bumerang bagi pemberinya sendiri.
Aspek legal dari sebuah bantuan
Kedermawaan boleh saja dilakukan tetapi di era yang sudah modern ini, pasti semua pengumpulan dana dari masyarakat juga harus mematuhi aspek legalitas agar tidak terjadi penyelewangan.
Dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang.
Untuk pengumpulan uang/barang harus ada izin dari pejabat berwenang. Tujuan pengumpulan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang.