Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Beratnya Perjuangan Kelas Menengah agar Tidak Turun Kelas Jadi Kelas Miskin

2 Maret 2024   18:02 Diperbarui: 3 Maret 2024   10:40 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Agnes Tehodora/Kompas.id

Apakah terdengar aneh ketika ada slogan mengatakan kelas menengah Indonesia sulit menabung dan sulit menjadi orang kaya?

Yang dimaksud oleh kelas menengah adalah mereka yang berada dalam usia produktif (18 - 64 tahun) pada tahun 2021.  Ternyata sisa gaji kelas atas Rp.1.59 juta per orang sementara kelas menengah hanya l/3 dari sisa gaji kelas atas, Rp.500 ribuan.

Total jumlah kelas menengah dalam tahun 2021 ,38,5 juta  atau  20.7 persen penduduk Indonesia .

Bayangkan saat ini dengan sisa gaji Rp.500,000 , kelas menengah untuk beli 1 gram emas senilai RP.1,1 juta (Antam per 9 Februari 2024),  harus membutuhkan waktu dua bulan untuk beli 1 gram emas. 

Belum lagi sisa uang Rp.500.000 itu ternyata tidak ada di tabungan karena Bank Indonesia telah mengindentifikasi bahwa jumlah tabungan di bank-bank itu turun drastis.  Tentu penurunan itu oleh kelas atas , tabungan itu ditempatkan di berbagai investasi yang lebih menarik. Sementara untuk kelas menengah justru tidak ada Tabungan dalam 2 tahun terakhir.

Bahkan Tim Jurnalistme Data Harian Kompas juga menemukan bahwa sisa gaji merupakan selisih dari pendapatan dengan pengluaran rata-rata per bulan dari warga usia produktifi (18-64  tahun) berasal daripendapatan utama warga, makin tahun makin kecil sejak tahun 2021.

Bank Dunia dalam dokumen tentang Kelas Menengah berjudul "Aspiring Indonesia-Expanding The Middle Class (2019)",  akan terjadi ledakan pertumbuhan kelas menengah dengan memperhatikan perhitungan pertumbuhan domestikbruto Indonesia.   Calon warga kelas menengah ini akan bertambah besar.

Sayangnya, pengeluaran kelas menengah justru lebih besar hingga 3.5 kali per bulan, per kapita.  Merujuk dari garis kemiskinan BPS (2021) pengeluaran kelas menengah dari Rp.1,2 hingga Rp.8,2 juta per orang per bulan.

Mengapa pengeluaran makin besar?

Adalah seorang bernama Rachmat (bukan nama sebenarnya), dulunya bekerja di kantor, tetapi karena PHK, dia bekerja sebagai gojek daring.   Dalam usia yang masih produkhf, dia harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari , mulai jam 6 pagi atau subuh sudah bekerja hingga tengah malam.   Semua itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya , dia mendapatkan Rp.150.000 tiap hari . Jika bekerja enam hari , iaka akan mendapatkan Rp.3,9 juta sebulan.

Sayangnya dia tak bisa menutupi pengeluaran yang makin membengkak hingga Rp.6 juta per bulan, karena anak sudah kuliah di luar kota.  Biaya pendidikan yang  cukup besar.

Lain halnya dengan Anita (bukan nama sebenarnya) yang bekerja sebagai tenaga PNS di sebuah departemen.  Awal menikah dia menyewa /kontrak rumah.  Setelah berjalan beberapa waktu, dia dan suaminya memutuskan untuk membeli rumah dengan angsuran.  Angsuran rumah sebesar Rp.4.7 juta per bulan.

Bukan hanya rumah saja, Anita juga butuh transportasi yang mobilitasnya cepat.  Anita dan suami memutuskan untuk membeli mobil.  Setiap bulannya Anita harus mengeluarkan biaya angsuran untuk mobil sebesar Rp.2,4 juta.

Setelah mereka memiliki anak, mereka juga berpikir tentang pentingnya pendidikan untuk anak.  Bagi mereka pendidikan itu sangat penting agar anak bisa akses ke pekerjaan yang lebih layak. Mereka pun harus menyisihkan uang pendidikan sebesar Rp.1,5 juta per bulan.

Bergandanya atau triple angsuran yang harus dibayar oleh Anita dan suami itu tentu makin menambah pengeluaran karena setiap tahun pasti ada biaya tambahan dari angsuran seperti asuransi mobil yang tetap harus dibayar.  Sisa gaji yang mereka terima hanya sedikit, tidak mampu untuk menabung lagi. 

Rentan miskin

Warga masuk kelas menengah ini sangat rentan miskin karena tidak ada perlindungan sosial atau bantuan sosial .  Perlindungan sosial atau bantuan sosial yang diberikan /disalurkan oleh Pemerintah itu hanya diperuntukkan untuk warga miskin dan miskin sekali.  Warga miskin dapat bantuan tunai , dapat tunjangan untuk sekolah anak (Kartu pintar) dan tunjangan Kesehatan (BPJS yang dibayar Pemerintah).

Sementara kelas menengah harus membayar semua kebutuhan hidup mulai dari pembelian kendaraan bermotor (RP.5.891,617)  sewa/kontrak/rumah  (Rp.1.101.610), pendidikan (Rp.618.595), bensin (Rp.505.620), Listrik (Rp.398.659)  Total biaya  mencapai Rp.8.427.101.   Artinya  warga kelas menengah harus punya pendapatan paling sedikit Rp.9 juta. 

Apabila terjadi kenaikan seperti yang akan terjadi pada bulan Maret 2024, BBM, Listrik, tol, maka biaya pengeluaran akan bertambah naik dan mempengaruhi sisa gaji atau pendapatan.

Kebijakan Pemerintah

Kelas menengah adalah warga yang tidak lagi hidup di bawah garis kemiskinan, tapi rentan untuk jatuh miskin jika ada guncangan ekonomi  misalnya kehilangan pekerjaan, kenaikan harga barang, bensin, Listrik , pendidikan.

Berhubung mereka ini tidak tersentuh perlindungan sosial karena Pemerintah hanya focus kepada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial bagi mereka yang miskin dan miskin ekstrim, maka Pemerintah perlu memperhatikan perlindungan sosial bagi warga kelas menengah.

Kebijakan ekonomi seharusnya mencontoh dari Pemerintah Chile dimana tidak hanya perhatikan vertical inquality untuk memperkecil jurang ketimpangan pendapatan untuk mengejar angka pertumbuhan ekonomi dan pengentasan rakayat dari kemiskinan.  Tapi juga perhatikan horizontal equity ketimpangan kualitas hidup bagi kelas menengah.

Jadi kebijakan Pemerintah bukan hanya terpaku kepada pertumbuhan ekonomi saja dan pengentasan kemiskinan tapi juga perlindungan sosial dan kebutuhan kelas menengah dengan catatan anggaran sudah bisa mencukupi.

Solusi kelas menengah

Bagi kelas menengah selama ini belum ada perubahan kebijakan dari Pemerintah, tentunya tidak bisa menunggu nasib sehingga nantinya sampai masuk ke jurang kemiskinan.

Salah satu caranya tentu harus memulai berpikir untuk memiliki dan upgrade skill sehingga dapat bekerja di pekerjaan formal dengan gaji yang lebih besar.

Tentunya jika memungkinkan, bisa bekerja suami istri selama masih belum memiliki anak.  Dua pendapatan yang dapat saling menopang sehingga jika terjadi apa-apa dengan salah satu pihak, salah satu masih bisa bertahan.

Usaha lain tentu harus mendapatkan ekstra income dari pendapatan di luar gaji.  Ini hanya bisa dilakukan jika punya soft skill yang mumpuni yang bisa dimaksimalkan atau optimalkan untuk jadi freelancer.

Perjuangan warga kelas menengah memang berat untuk tetap mempertahankan kelasnya.  Semoga bisa berjuang ditengah banyak kesulitan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun