Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengubah Wajah Overtourism Bali yang Buruk Menjadi Pariwisata yang Berkelanjutan

4 Januari 2024   17:40 Diperbarui: 18 Januari 2024   18:07 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kedatangan turis di Bandara I GUsti Nugrah Rai, Bali . Sumber: Kompas/Wawan H. Prabowo

Pengertian overturism adalah ramainya pengunjung wisatawan dibandingkan dengan populasi lokal kota-kota tersebut. Contohnya jika penduduk Bali menurut BPS tahun 2022 sebesar 4,362,738, sementara  wisman dan wisnusan totalnya 14,3 juta,  tentu  overturism.

Kembali kepada overturism Bali,  dampaknya bagaikan pedang bermata dua.

Di satu sisi memang membawa berkah dalam bidang bisnis (hotel, UMKM,  tempat wisata, transportasi )serta pertumbuhan ekonomi warga lokal.  

Pembangunan hotel dan perkotaan yang tidak berkelanjutan sesuai permintaan industry pariwisata dan terbatasnya kapasitas terbatas infrastruktur.   

Efek yang buruk bagi overturism di Bali misalnya   tanah-tanah yang dulunya pertanian milik penduduk telah terjual menjadi vila dan kesenjangan antara orang kaya dan miskin semakin besar.  Penduduk hanya bekerja sebagai pekerja tetapi tidak memiliki aset lagi.

Dengan hilangnya lahan pertanian, degrasi ekosistem , penurunan kesuburan tanah di daerah yang subur dan bahkan lebih parahnya penggalian air yang berlebihan .

Pengelolaan limbah yang seharusnya diperhatikan akibatnya banyak pengunjung yang datang. Sehari setelah selesai malam tahun Baru,  sampah menumpuk di pantai, sungai tercemar dan tempat pembuangan akhir penuh tanpa mencari cara bagaimana pengelolaannya.

Dampak sosial budaya dari overturism di Bali adalah pengikisan gaya hidup budaya Bali.  Masuknya wisatawan atau investor asing dengan komodifikasi budaya lokal, menjadi perpindahan dan marginalisasi  warga lokal.

Harga tanah di tempat yang dibeli orang asing menjadi mahal, sementara penduduk lokal sendiri terdesak sampai di pinggiran terpencil bahkan mereka terpaksa mencari pekerjaan di tempat baru yagn sulit didapatkan.

Baca juga:  Pendidikan Tinggi Tertinggal, S1 Tidak Melanjutkan

Pariwisata berkelanjutan

Saat ini justru wisatawan dan investor global cenderung mencari kualitas wisata ketimbang  kuantitasnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun