Sebuah slogan yang cukup besar dan penuh dengan semangat di Kementrian Keuangan "Reformasi Perpajakan untuk Penciptaan Keadilan, Peningkatan Kepatuhan, dan Penguatan Fiskal"
Bahkan Reformasi ini telah disahkan dengan adanya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Â pada 7 Oktober 2021.
Di satu sisi UU HPP ini untuk aspek keadilan beban pajak bagi wajib pajak, dan mendukung sektor UMKM.
Sayangnya, Â UU HPP ini tak lagi menyentuh keperpihakan kepada warga Indonesia, khususnya wajib pajak yang sekarang ini baru terbuka matanya karena adanya kasus besar. Â Wajib Pajak banyak yang bertanya apakah reformasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih berjalan atau tidak?
 Seorang pegawai pajak Eselon 3, Rafael Alun Trisambodo dengan gaji dan tunjangannya  jika dihitung secara "real"  sebagai Kepala bagian Umum, golongan IIId sampai IV b perkiraan take home pay sebesar Rp.44.978.800  sampai RP.51.275.000
Namun, menariknya  dalam LHKPN yang dilaporkan per 31 Desember 2021, kekayaan sudah mencapai Rp56,10 miliar, dalam waktu 6 tahun hartanya meningkat sebesar Rp.20,82 miliar . Pada tahun 2015total hartanya RP.35,28 miliar,
Jika dihitung secara rasional: Â 6 tahun dikali 12 x 44.978.800 Â seharusnya Rp. 3.238,473,600 .
Kenyataannya harta meningkat  cukup fantastis Rp.20,82 milliar,  jadi dari mana selisih Rp.20 miliar dikurangi Rp.3 miliar?  Apakah dari other income ?  Jika benar dari other income, perlu penjelasannya.
Penjelasan other income itu harus tertuang dalam Laporan Tahunan Pajak Pribadi (SPT) Â sehingga tidak menimbulkan pertanyaan. Â APakah other income itu juga berasa dari sumber yang halal atau sumber gratifikasi?
Baca juga:Â Tetap Berolahraga Saat Puasa
Reformasi institusi yang harus dibenahi?
Sebagai institusi Pajak yang sedang membangun citra, semangat untuk mendorong Wajib Pajak untuk membayar pajak yang benar, Â apakah citra seorang pegawai DJP yang memiliki harta fantastis dalam jangka waktu yang singkat itu bisa dipahami oleh para wajib pajak?
Wajib pajak diminta untuk patuh dan taat kepada hukum perpajakan, sementara ada pegawai perpajakan yang tidak patuh.  Tentunya tidak ada sinkron antara institusi yang ingin membangun  semangat untuk mendorong reformasi tetapi internalnya sendiri masih belum bersih dari reformasi.
Bagaimana fungsi pengawasan internal DJP?
Sumber daya yang bekerja di DJP itu memang perlu dihargai karena usaha-usaha mereka untuk dapat mengatur dan mendorong wajib pajak sehingga Wajib Pajak mau membayar pajak sesuai dengan transaksi yang "real" tanpa menyembunyikan transaksi.  Pendekatan ini  sesungguhnya usaha yang paling sulit . Â
Satu sisi negara butuh dana untuk fiskal, untuk APBN , sementara wajib pajak belum banyak yang patuh.  Oleh karena itu pasti negara sadar bahwa untuk bisa kerja secara optimal, para pegawai eselon itu harus mendapat kesejahteraan yang bagus supaya mereka bisa kerja baik  dan tidak tergiur dengan gratifikasi.
Skema Penghargaan terhadap kesejahteraan pegawai eselon 3 Direktorat PErpajakan Kementrian Keuangan  dalam bentuk tunjangan kinerja  (tukin) yang sangat bagus:
Golongan Eselon III Jabatan 19 : Rp.46.478.000  , ditambah gaji  sekitar Rp.3.044.300
Skema Tukin yang diberikan untuk pegawai eselon 1,2,3 Direktorat Perpajakan itu  dianggap sangat bagus dibandingkan dengan departemen yang lainnya.  Sayangnya,  para pegawai tidak menyadari bahwa paket gaji mereka itu sebenarnya sudah sangat bagus.
Begitu terjadi peristiwa terbongkarnya harta Rafael Alun Trisambodo,  Ibu Sri Mulyani Indrawati  menginstruksikan agar diadakan pemeriksaan oleh PPATK,  KPK dan sebagainya.
Apakah pemeriksaan ini sifatnya reaktif?  Atau hal ini juga berlaku bagi  13 ribupegawai yang belum melaporkan  LHKPN pada tahun 2021.Â
Belum adanya pelaporan dari pihak pegawai yang jumlahnya cukup besar ini berarti adanya ketimpangan atas pengawasan internal atau dimana fungsi inspektorat ?
Sebaiknya perintah Ibu Sri Mulyani bukan hanya sekedar perintah saja, tapi merupakan pembenahan mendasar mengapa  begitu banyak pegawai yang belum melapor.  Apa alasannya?Â
Jika sudah melapor, apa tindakan selanjutnya? Â Tentu tidak bisa hanya secara administrative sudah melaporkan, pasti ada analisa dari laporan itu. Â Analisa yang berlandaskan prinsip kejujuran dan objektivitas dari mana hasil peningkatan harta yang fantastis itu.
Kebenaran-kebenaran objektif ini harus terus dilakukan bukan hanya satu kali saja. Tapi review ini harus berulang dan berkala.
Manajemen Risiko pada Kementrian Keuangan sudah ada. Alur manajemen risiko juga rinci, mulai perumusan konteks, identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, mitigasi risiko, pemantau hingga review.
Pertanyaan besar bagaimana implementasi cara kerja manajemen risiko terhadap ribuan pegawai DJP sehingga kasus besar terulang terus menerus tanpa pembersihan dari akar masalahnya.
Sebaiknya citra ini  dipulihkan bukan hanya dengan reaktif saja , tapi juga mengembalikan kebenaran dan kebersihan moral dari pegawai Ditjen Pajak untuk membangun kembali kepercayaan public yang sedang pudar.
Semoga kepercayaan public bisa kembali dengan bukti reformasi yang segera dilakukan dengan bersih dan jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H