Apa penyebanya usaha ini demikian marak dan disukai oleh penggunanya?
Akar masalah dunia pendidikan Indonesia untuk tingkat kepakaran atau naik pangkat seorang dosen adalah dengan membuat karya tulis minimal 1 dalam kurun setahun.
Tugas dosen yang demikian banyak dari segi administrasi ditambah tuga karya tulis membuat dosen memilih untuk memesan karya tulis dari pihak penjual. Â Mereka tentu kurang mempertimbangkan etis tidaknya pemesanan seperti itu. agi mereka adalah tugas atau beban berat itu bisa diringankan dengan adanya jasa perjokian karya ilmiah.
Disamping cara pembuatan karya ilmiah lewat perjokian, ada  cara lain nama dosen dijadikan penulis korespondensi  atau penulis pertama pada penelitian yang tidak dibuatnya.  Ternyata praktek ini telah lazim dilakukan oleh S2, S3 .
Ada praktek yang sangat halus adalah dengan cara menwarkan posisi penulis dalam jurnal ilmiah. Dosen yang ingin membeli, tinggal membayarnya, namanya segera berganti dengan nama dirinya.
Baca juga: Â Digital Marketing Specialist Profesi yang Menjanjikan, Butuh Skill yang Mumpuni
Ingin sejahtera vs ingin jadi Dosen "Super"
Idealisme menjadi seorang dosen yang sangat dihormati adalah sangat luhur sekali. Apalagi menurut UU nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, membuat profesi Guru dan Dosen kian bermartabat.
Tuntutan dosen untuk melakukan penelitian sebagai syarat untuk naik jabatan dan syarat untuk tetap bisa mengajar . Nantinya akan ada persyaratan bahwa untuk menjadi dosen tidak hanya lulusan S2 saja tapi juga harus lulusan S3.
Bahkan dari  Rektor perguruan tinggi  swasta  memberikan dorongan kepada para dosen untuk mengambil pinjaman dana apabila ingin mengambil S3 supaya para dosen  tetap bisa mengajar sesuai dengan persyaratan.
 Namun, realitasnya, profesi guru yang dianggap sebagai orang yang "super" dalam pendidikan perguruan tinggi itu tak sejalan dengan kesejahteraannya dibandingkan dnegan profesi yang lainnya.