Upah Minimum Provinsi (UMP) setiap akhir tahun, khususnya untuk kenaikan tahun 2023, ditentukan oleh Keputusan Gubernur diumumkan UMP paling lambat setiap tanggal 21 November.
Gubernur masing-masing daerah sudah menghitung kenaikan UMP berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Ada 3 faktor yang jadi penilaian yaitu tingkat daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan media upah. Penyesuaian dilakukan setiap tahunnya.Â
Ditetapkan pada rentang nilai tertentu antara batas atas dan batas bawah di wilayah bersangkutan. Apabila UMP tahun berjalan lebih tinggi dari batas atas, gubernur wajib menetapkan UMP tahun berikutnya sama dengan UMP tahun berjalan.
Ternyata persoalan UMP ini sangat kompleks sekali. Dari pihak buruh, tidak mau menggunakan PP Nomor 36 tahun 2021 sebagai penetapan UMP dan UMK.
Alasannya PP nomor 36 tahun 2021 adalah turunan dari UU Omnibus Law yang dianggap cacat formil. Jadi yang dianggap paling baik adalah menghitung kembali kenaikan UMP 2023 berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
Apabila sampai saat ini belum ada dasar hukum untuk menetapkan UMP dan UMK yang akan ditandatangani oleh gubernur, maka ada solusi yaitu dasar hukum pertama PP Nomor 78 tahun 2015, dikatakan bahwa kenaikan UMP dan UMK diperhitungkan berdasarkan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.
Badai PHK
Dari pihak pemerintah pun tak bisa langsung menentukan keputusan mana yang akan diambil. Pemerintah dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan, harus melihat banyak sisi.
Sisi pertama adalah dunia pengusaha. Pengusaha yang saat ini sedang dalam kondisi belum pulih setelah Covid-19, dihantam oleh ekonomi global yang tidak pasti. Krisis energi dan pangan menghadang di depan mata.Â
Ketika pemerintah menaikkan biaya energi, ongkos atau biaya produksi dari pabrik-pabrik ikut naik sesuai tingkat kenaikan energi yang telah naik di bulan September.