Apakah kita sudah mendengar cerita Pak Samin, seorang penjaga sekolah yang menyimpan uangnya dalam celengan plastik?Â
Celengan plastik diletakkan di atas rak buku yang berada di dekat kasurnya selama hampir 2,5 uang itu ditabungnya, berharap uang itu terkumpul 50 juta Rupiah dapat digunakan untuk mendaftar haji.
Jumlah uang yang ditabungnya sekitar 100-200 ribu Rupiah setiap hari. Dia tak mau repot menabung ke bank karena tiap hari harus ke bank itu repot, dia harus menjaga sekolah dan punya bisnis di kantin.
Sayangnya harapan tak sesuai dengan kenyataan. Pada suatu hari, dia melihat di salah satu celengan plastik itu ada rayap. Begitu dibuka celengan plastik itu, dia menemukan hampir sebagian besar uangnya sudah dimakan oleh rayap.
Konsep menabung
Siapakah yang masih memiliki pemikiran sama sederhananya seperti Samin? Menghindar menabung di bank karena malas ke bank, jauh letaknya, atau mungkin juga alasan yang sekarang ini sedang marak yaitu bunga tabungan di bank sudah mencapai nol persen.
Pemerintah pernah menghimbau kepada masyarakat agar aktif menabung untuk menunjang pembangunan keluarga dan pembangunan negara.
Di era tahun 1998, jumlah bank di Indonesia meningkat dengan pesat terutama dengan adanya UU tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Â
Perubahan tentang peran bank untuk lebih agresif untuk produk mulai dari tabungan, deposito, sertifikat deposito, surat berharga, kredit, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Saya masih ingat adanya persaingan dari perbankan untuk memberikan bunga bank deposito yang cukup tinggi karena masing-masing bank membutuhkan likuiditas yang cukup besar.Â