Setelah berdiam diri, kondisi emosi lebih stabil. Kita dapat merespons dengan ucapkan kata-kata yang jauh lebih baik ketimbang ketika kita masih dalam kondisi marah, sedih, kecewa, frustrasi.
2. Judging
Sering kita menilai perilaku atau pandangan orang lain tanpa empati. Tanpa mengetahui apa latar belakang seseorang yang kita baru kenal, langsung saja kita melakukan serangan dengan kata-kata yang kasar. Contohnya: "Kamu kok tidak bisa datang tepat waktu. Ini 'kan pertemuan formal".Â
Faktanya, orang yang baru kita kenal itu memang sudah berusaha datang tepat waktu. Sayangnya, tiba-tiba saat akan berangkat, anaknya harus masuk rumah sakit karena sakit perut yang luar biasa. Jadi dia harus mengantarkan anaknya dulu ke rumah sakit.
Kata-kata yang sering terlontar tanpa empati:
1. "Kamu tidak pernah memperhatikan."
2. "Kamu hanya memikirkan pekerjaan dan tidak memikirkan saya."
3. "Kamu berpikiran sempit".
3. Bahasa lisan menunjukkan kualitas dirimu
Kualitas integritas seseorang bukan dilihat dari panjang gelar atau tinggi sosial ekonomi. Kualitas seseorang terletak pada perkataan yang sering diucapkan. Mulut yang jadi alat untuk pengucapan jadi titik dasar pengendalian apa yang akan diucapkan.
Berbicara perlu pemikiran, emosi yang seimbang, juga kepada siapa kita berbicara. Jika ingin mengklarifikasi hal-hal yang sangat penting , krusial dari suatu pekerjaan atau relasi suami-istri, sebaiknya berbicara dengan tertutup di dalam suatu ruangan dengan suasana kepala yang dingin.
4. Penggunaan i-statement
Dalam komunikasi verbal, ada cara komunikasi yang efektif saat kita ingin menyelesaikan sesuatu dalam kondisi yang kesal, marah, frustrasi.
Contoh situasi yang mengesalkan, ketika seorang ibu minta kepada anak perempuannya agar mengembalikan gunting yang dipinjam itu di tempat dimana si Ibu menyimpan. Namun, anak tak pernah mengindahkannya. Terjadilah kekesalan.