Harapan orangtua ketika anak lulus dari perguruan tinggi, langsung bisa bekerja dengan tenang, langgeng di suatu perusahaan.  Tak peduli  perusahaan itu bergerak dalam bidang apa pun, apakah dalam bidang retail, transpotasi, keuangan, pariwisatan dan lain-lainnya.
Saat anak lulus dalam bidang digital design, dunia start-up di Indonesia sedang "booming".  Anak saya merasa senang dan percaya diri bisa diterima bekerja di sebuah  perusahaan start up .  Dia berpikir selain punya pengalaman keahlian dalam bidang teknologi , juga merasa berkontribusi dalam suatu perusahaan startup mulai dari nol, nantinya akan "growing up" menjadi unicorn.
Menurut Ketua umum Indonesia Digital Empowering Community (IDIEC), M. Tesar Sandikapura, sektor startup hiburan, pendidikan,energi, dan pesan antar makanan masih mengalami tren positif dalam waktu 5 tahun.
Ditambah ada  momen yang tepat ketika Indonesia mengalami pandemic Covid, muncullah perusahaan-perusahaan startup yang usahanya berskala kecil hingga menengah. Jumlahnya cukup fantastis, 2.346 startup, terbesar ke-5 di Dunia
Data MIKTI, hingga 2021, dari 1190 start up di Indonesia itu memiliki kurang dari 50 karyawan. Paling tidak hampir  59,500 karyawan bekerja di perusahaan startup.  Membuat peta pekerja Indonesia sedikit berubah.  Anak-anak milenial seringkali melirik pekerjaan di perusahaan startup sebagai pekerjaan yang menjanjikan dan menarik.
Idaman atau impian anak muda/milenial, ketika memasuki dunia start up seperti anak saya, bercita-cita tinggi punya kontribusi untuk perusahaan, ketika perusahaan bisa menjadi unicorn seperti Tokopedia, Gojek, GoTo, mereka pun bisa tenang bekerja di start up company.
Sayangnya hal itu tidak mudah terjadi, tak semudah membalikkan tangan. Ketika anak saya bekerja sebagai UI UX Designer di suatu perusahaan start up joint venture dua perusahaan, fokus untuk menyediakan dan melengkapi platform travel untuk perusahana secara online dengan mudah. Â
Investornya sudah mencurahkan dana investasinya yang cukup besar. Dana yang dikucurkan untuk biaya operasional sangat tinggi. Para investor tidak sabar untuk mendapatkan modalnya kembali dan mendapatkan sedikit profit, tapi kenyataannya tidak. Â Â
Dalam tahun ketiga para investor tidak kuat untuk mengucurkan dana lagi. Biaya dana operasi yang tak berkurang, tapi belum membuahkan hasil, akhirnya ditutup dengan sangat mendadak. Pengalaman pahit pertama yang dialami anak saya. Hari ini diumumkan perusahaan ditutup, besok sudah PHK.
Lalu, anak bekerja kedua kalinay bekerja sebagai UI UX Designer di perusahaan start up fintech. Awalnya dia sangat bangga, karena dia punya pengalaman dan pengetahuan baru dalam  perbankan/ekonomi. Sebelum membuat design dari aplikasi, selalu didiskusikan baik secara internal dan eksternal.
Sayang seribu sayang, di sini benturan keras sering terjadi. Top manajemen tidak punya kompetensi di bidang baru ini, dia hanya mempercayakan kepada manajer. Manajer pun tak punya kompetensi yang memadai tentang dunia startup itu. Tanpa mengetahui sejauh mana kebutuhan klien untuk produk yang mereka tawarkan, dan bagaimana produk ini bisa bertahan tidak ada sedikit pun kajian yang memadai. Â
Akhirnya, dia tak tahan karena ada pertentangan dari pihak pemangku kebijakan yang tak punya kompetensi  memaksakan untuk dibuat produk.  Sementara pihak pelaksana yang sebenarnya mengetahui lebih dalam bahwa apa yang dikerjakan ini tidak benar dan tidak mendukung produk.  Akhirnya, anak saya mundur dan resign karena tak ada dukungan dan lingkungan kerja yang tak professional.
Bekerja untuk ketiga kalinya di sebuah perusahaan start up di bidang payment gateway sebagai Product Designer. Tak mau mengambil kesalahan ketiga kalinya, sebelum melamar dia sudah membaca dengan cermat manajemen , visi dan testimoni dari para karyawan perusahaan. Bahkan sampai tim dimana dia akan bergabung, dia pelajari satu persatu. Di tempat inilah karya dan kerjanya bisa berkembang.
Namun, tiba-tiba kita dikejutkan dengan banyaknya  pemecatan atau PHK di startup. Beberapa diantaranya  LinkAja, TaniHub dan Zenius. Alasan utama yang diajukan oleh para founder adalah terjadinya perubahan atau pergeseran di pasar, dan dibutuhkan pivot yang serius dalam dunia bisnis.
Apa Penyebab gagalnya Startup:
- Problem di Market
Problem utama mengapa perusahaan start up hanya memiliki sedikit atau tidak memlilki market untuk produk yang mereka bangun. Â
TIdak cukup "value proposition" atau good event" di mana pembeli yang kita sasar jadi target utama itu memiliki komitmen kuat untuk membeli. Agar pembeli itu bukan sekedar membeli ingin coba saja, tetapi pembeli dengan yang punya kepentingan dan kebutuhan pada barang yang kita tawarkan. Produk kita punya nilai yang tinggi dibandingkan dengan produk lain.
Waktu marketing yang salah. Â Mungkin kita jadi pioneer suatu produk karena kita satu-satunya perusahaan yang punya produk itu. Tetapi kustomer belum siap untuk menerima solusi dari produk yang kita tawarkan.
Ukuran market dari orang yang punya uang untuk membeli produk kita  tidak cukup besar.
- Problem di bisnis model
Salah satu penyebab utama dari kegagalan start up adalah perusahaan terlalu optimis bahwa mereka akan dengan mudah mendapatkan kustomer. Â Mereka hanya berpikir, membuat website yang sangat bagus, pelayanan yang bagus, pasti kustomer akan datang.
Hal ini mungkin terjadi pada beberapa customer saja yang tertarik datang dan membeli. Tetapi beberapa kasus, Â kemampuan untuk mendapatkan kustomer itu jauh lebih tinggi ketimbang dari kustomernya itu sendiri.
Pentingnya busines model:
Cara yang mudah untuk berfokus pada masalah dari business model adalah melihat pada dua pertanyaan berikut ini:
- Dapakah Anda memiliki cara mengukur untuk mendapatkan customer?
- Jika dapat, Anda harus memonitasi kustomer ini ke tingkat yang lebih dibandingkan dari harga akusisinya?
- TIdak solidnya Management Team
Problem utama dari penyebab gagalnya start up adalah tim manajemen yang lemah. Â Tim managemen yang baik akan menghindari alasan-alasan seperti di atas.Â
Manajemen yang lemah harus menghindari kesalahan berikut ini:
- Mereka memiliki strategi yang lemah dalam pembuatan produk, tidak ada pembeli karena mereka gagal untuk memvalidasi ide sebelumnya dan selama proses development.
-  Mereka tidak tidak punya kemampuan pada tahapan mengeksekusi  sehingga akan menimbulkan masalahmasalah dengna produk yang mereka buat tepat pada waktunya dan akhirnya gagal pada eksekusi market yang diimplementasikan
- Mereka bekerja pada tim yang lemah.  Misalnya  pemimpin  A memperkejakan pegawai orang yang direkrut tapi levelnya sebagai pekerja, sementara pemimpin B dapat merekrut pekerja dengan tipe pemimpin .  Terjadi friksi antara pemimpin A dan  B . Merekatidak mau bekerja sama untuk menghasilkan produk.  Akhirnya, Perusahaan sangat lemah dalam eksekusi.
- Kekurangan Dana
Alasan berikutnya adalah kegagalan start up kehabisan dana. Â Pada tahap awal, dana yang dikucurkan oleh investor itu tidak dikelola dengan baik untuk pengembangan, tetapi justru digunakan untuk "burn out". Â Â Artinya perusahaan dalam menjual produknya terlalu banyak berikan diskon, promo dan banting harga rendah dari kompetitornya.
Bubble burn atau "bakar uang" dengan system subsidi terus berlangsung walaupun mengurbankan kualitas barang dengan mengurangi cost of production, bahan baku dan lain-lainnya.
Seharusnya perusahaan harus mengejar tahap selanjutnya dengan pengembangan, sebelum dana habis. Â Jika terus menerus melakukan bakar uang, maka sulit mendapatkan uang kembali dari investor, dan valuasi dari produk itu akan turun drastic.
- Masalah dengan produk
Masalah utama dengan kegagalan adalah mereka gagal mengembangkan produk yang sesuai kebutuhan masyarakat. Hal ini terjadi karena eksekusi yang tergesa-gesa karena masalah strategi yang sebenarnya tidak sesuai produk dengan market.
Produk yang pertama dijual oleh starup tetap produk itu tak sesuai dengan kebutuhan market. Kemudian ada revisi atau perubahan sederhana sehingga dapat sesuai dengan kebutuhan market. Â Tetapi seringkali produk itu gagal total. Jika hal ini terjadi, indikasi yang jelas adalah tim yang bekerja tidak memvalidasi ide mereka dengan customer sebelum dan selama proses pengembangan produk
- Memperkejakan pekerja yang tak kompeten
Perusahaan gagal mendapatkan tenaga kerja yang dapat mendukung mereka dan membuat pekerjaan mereka berhasil. Bahkan mereka juga gagal untuk mengenal network mereka sendiri. Talenta digital yang dibutuhkan tidak sesuai dengnan harapan dari perusahaan.Â
Jadi bagi teman-teman milenial , generasi X, Y, Z yang mau bekerja di startup , Â analisalah perusahaan startup sebelum melamar. Â Carilah star up mana yang memang kuat manajemen dan berkomitmen tinggi untuk mengetahui dunia start up dengan detail untuk kesuksesan dari perusahaan startup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H