Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Surprise" Menerima Ucapan Terima Kasih dari Kompas Saat Ultah ke-55

28 Juni 2020   18:36 Diperbarui: 28 Juni 2020   18:39 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu membuka email hari ini, saya merasa sangat "surprise" mendapat ucapan terima kasih dari Kompas pada hari ulang-tahunnya yang ke-55. Loh, saya hanya sebagai pelanggan setia kenapa istimewanya saya? Seharusnya saya yang mengucapkan selamat kepada "Kompas' mengapa yang terjadi justru sebaliknya saya mendapat ucapan terima kasih.

Kilas Balik:

Kompas berulang tahun ke-55. Apakah usia yang tua, matang atau masih muda untuk sebuah media?  Jika dibandingkan dengan media internasional di Amerika usia 55 tahun bukanlah apa-apa. Tetapi jika dibandingkan dengan media lokal, tidak ada yang langgeng seperti Kompas.

Kenapa bisa langgeng?

Sejarah panjang, naik turun, tantangan dan inovasi terlihat dari media cetak dan daring "Kompas".  Ketika saya berlangganan pada tahun 1985, saya masih ingat benar koran cetak itu dengan ekslampar 16 dan warna hitam dan putih adalah cetakan layoutnya. Setiap pagi menanti loper koran datang dengan setia untuk mengantarkan koran yang saya sukai.

Alasan saya menyukai Kompas itu adalah halamannya cukup banyak, 16, meliputi berbagai bidang mulai dari internasional, domestik, metropolitan, hukum, keuangan, ekonomi.  Perubahan terus terjadi, ketika koran ini pernah mengubah halamannya menjadi 60 halaman bahkan 100 tetapi 30% dipenuhi dengan iklan.

Iklan yang sumber jantung pendapatan dari satu media memang penting, tetapi yang lebih penting adalah symbiose mutualistic.  Bisnis cetak yang memang menguntungkan karena dilirik oleh pemasang iklan yang harus mengantri ketika media ini dianggap sebagai "primus inter pares", teratas diantara media lainnya.

Rupanya editor dan semua jajaran Kompas tak pernah melupakan visi dan misi foundernya yaitu Jakob Oetama dan Petrus Kanisus Ojong.  Visi itu jadi roh, spirit yang menjadi nafas media bekerja.  Amanat Hati Nurani Rakyat, moto Kompas yang diterjemahkan dalam panduan humanism transendal, diturunkan dalam rumusan dan panduan praktis.

Kedua founder itu mengingatkan agar "menghibur" yang papa, mengingatkan yang mapan, terjemahan dari ungkapan klasik dari jurnalistik "comfort the afficted, afficts the comfortable".

Saya tak mengenalnya secara pribadi Jakob Oetama. Namun, ketika suatu hari yang datang di satu gedung Kompas yang terpampang foto Jakob Oetama sebagai founder dari Kompas, saya terperangah dengan kata-kata bijak dari Jakob Oetama:

"Dengan bekerja tidak maksimal, kita sendiri mendegradasi talenta kemampuan".

Mengenal lebih dalam Jacob Oetomo:

Saya pengamat dari orang yang sukses terutama kepribadian dan nilai hidupnya. Ketika saya baca biografi dari Jacob Oetomo, saya menyadari betapa hebatnya orang di belakang Kompas ini.

Dia figure pemimpin yang mau mengedepankan "seni mendengar" ,rendah hati, sederhana, menjunjung tinggi pers bebas independen tetapi bertanggung jawab dan terpikat dengan "jalan ketiga Anthony Giddens.

Perbedaan kedua pemimpin kompas itu adalah PK Ojong lebih hangat dan disiplin, sementara Jakob Oetama lebih sejuk, ngemong dan opsional.  

Ada perbedaan dari masing-masing, tapi ada istimewa dari masing pribadi.  

Jakob Oetomo dikenal dengan nama manusia bonafide.   Bonafide yang bukan berarti memiliki uang banyak dan kekayaan yang wah, tetapi beliau adalah orang yang dapat dipercaya, jujur , tulus dan satu kata dengan perbuatannya.   Mungkin tepatnya adalah integritas tetapi ada nilai tambah yaitu beliau sangat piawai untuk mencapai tujuan bersama.  Beliau seorang achiever penggapai prestasi yang belum tentu dimiliki oleh mereka yang punya integritas.

Wajah Kompas yang berubah:

Saya mau kembali kepada wajah Kompas, setelah mengikuti hampir puluhan tahun dengan wajah hitam putih, Kompas berubah layoutnya dengan warna warni.  Cerah dan sering kagum dengan foto-foto yangdisajikan di halaman belakang .

Rupanya perubahan wajah ini bukan semata-mata demi kepentingan bisnis saja, tetapi juga atas keinginan dari pembacanya yang setia. Setiap tahun saya mendapat permintaan survei tentang layout dan segala detail tentang Kompas.  Pernah saya diundang ke Kompas untuk membahas tentang details dari layout dan isi  (saya terpilih dari sekian ratusan ribu pembacanya).

Bukan sekedar wajah, tapi juga inovasinya untuk mengikuti zaman digital pun diikutinya.  Setelah mempertimbangkan beberapa kali, saya sebagai pembaca setia Kompas cetak, mulai mempertimbangkan untuk ganti dengan kompas digital premium. Sulitnya pertimbangan saya karena menyentuh kemanusian loper koran. Loper koran yang bertahun-tahun mengirimkan koran cetak itu datang kepada saya untuk kembali berlangganan Kompas Cetak bukan Kompas digital.  "Ngga apa dikurangi komisi saya, yang penting Ibu tetap langganan Kompas cetak!", katanya memelas.

Pertama kali membaca, luar biasa sulitnya. Maklum saya sudah tua, jadi format yang dibuatnya itu bukan dari atas ke bawah, tapi dari kiri ke kanan. Saya harus menggeser perlahan, sering terjadi, harus ke kiri dan kekanan, repotnya luar biasa.

Saya tak pernah komplain sama sekali. Namun, empat bulan terakhir, saya bersyukur karena wajah atau layout Kompas digital berubah, baik dari segi penataannya dari atas ke bawah maupun konten tentang Indonesia yang jauh lebih banyak. Kompas jadi Indonesia kecil yang sedang membangun.  Bahasa dan heterogenitas dari pembacanya menjadi acuan Kompas.

Kompas memang tak bisa meninggalkan peran dari orang yang berjibaku di belakang layar seperti tukang loper koran, entah apa yang terjadi setelah disrupsi. Pertimbangan matang Kompas apa yang harus dilakukan untuk mengikuti derasnya zaman digital, tapi juga mengerem tentang kemanusian yaitu orang berjasa dalam keberlangsungkan Kompas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun