Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ongkos Ekonomi Indonesia Hadapi Covid-19

24 April 2020   17:59 Diperbarui: 25 April 2020   09:04 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Webinar yang saya dengarkan dengan dua nara sumber yang cukup kompeten yaitu  Masyita Crystallin , Staff Khusus Menteri Keuanga dan Faisal Basri, Ekonom Universitas Indonesia , bersama moderator Yura Syahrul dari katadata.co.id

Diawali pemaparan tentang kondisi ekonomi Indonesia sebelum Covid-19,  dimana akhir Januari 2020 masih memperlihatkan kondisi yang baik sebagai emerging country punya  pertumbuhan 4%. Di Januari 2020 kita sedang memperbaiki rantai pasok dari China yang terkena covid lebih dulu.

Namun, begitu memasuki pengumuman adanya pasien positif Covid-19  dan dilakukan  Physical distancing,  maka ekonomi Indonesia yang titik beratnya pada konsumsi dalam negeri  terkena dampaknya. Konsumsi domestik yang merupakan pendapatan terbesar, 55% di GDP . Turun merosot sehingga 0%.

Namun, penurunan drastis saat implementasi dari PSBB , rakyat yang bekerja informal terkena imbas, kehilangan pekerjaan/kehilangan pendapatan diam di rumah artinya tidak ada "income".  Ketika tidak ada "income",  permintaan konsumsi pun turun .  

Skenario dari IMF

IMF telah mempridiksi pertumbuhan ekonomi global akan anjlok akibat Covid-19 sebesar -3%, Amerika Serikat -5.9%,  Tiongkok 1,2%,  Eropa -7.5%, Singapore  -3,5% dan Indonesia 0,5%.

Namun, ada  prediksi /proyeksi IMF yang  terlihat kurang realistis  karena dia melihat Indonesia akan recovery di 3rd quarter.   Padahal recovery tidak akan secepat itu karena tidak adanya keseriusan penanganan Covid19 oleh pemerintah.  Bahkan, apabila krisis yang tidak tertangani tidak baik itu hingga 2021 maka tidak mungkin orang bisnis, perusahaan akan cepat recovery.  Mereka harus membangun bisnis dari awal. Menurut IMF kunci dari dalam tidaknya atau berat tidaknya ongkos krisis Covid 19 bagi Indonesia adalah dari keseriusan penanganan Covid 19.  Makin tidak serius, data tidak terkendali.  

Menurut Faisal Basri, mengingatkan bahwa cara Pemerintah menangani COvid 19 ini ternyata kurang ampuh  /kurang serius mulai dari kurangnya laboratorium untuk test , jumlah rapid test yang dilakukan sampai kepada PSBB yang lambat keseriusannya.

DIa mengalami sendiri kemarin sore saat dia sedang ke Tebet, di Pancoran itu macetnya luar biasa, seolah-olah tidak ada PSBB.  Demikian juga pengumuman mudik, dari himbaun jadi larangan itu terlalu lama.   Semakin besar kita menunggu waktu untuk mengetahui seberapa besar penderita covid 19 yang nyata maka makin besar pula untuk ongkos yang dikeluarkan.   Kita tidak punya back-up keuangan seperti Amerika Serikat . Amerika SErikat punya kemewahan yang menggelontorkan dana USD 3,2 triliun dari fiscal.

Keuangan negara saat ini sedang deficit 5,8% karena penerimaan kita anjlok .  Penerimaan negara dalam ABPN 2020  2,233T  (satu tahun penuh, untuk kuartal pertama belum diketahui) sedangkan pengeluaran negara yang paling besar adalah 436 Triliun, khusus alokasi untuk penanganan Covid-19.

Masyita Crstallin, Staf Khusus Menteri Keuangan memberikan gambaran apabila kita memakai skenario berat karena tidak tertanganinya Covid 19 dengan baik, maka GDP kita tahun ini hanya 0,2%   atau minus 2% di  Kuartal kedua.   Defisit sekarang sudah mencapai 2,3%, jika di 2nd quarter bisa mencapai 3,4%.   

Begitu ada Covid-19, Kementrian Keuangan telah menggelontorkan  Bantuan Sosial sesuai dengna detail dari pendapatan masyarakat.  Untuk masyarakat dengan pendapatan di kategori 1 dan 2 ada Program Keluarga Harapan sebanyak 10 juta Keluarga (KPM),  warga di kategori 1,2 dan tiga ada Kartu Sembago sebanyak 20 juta keluarga dengan dana Rp.200 ribu/per bulan,  warga kategori 1,2,3 dan 4 ada subsidi listri, warga kategori 1,2,3,4  ada bansos DKI sebanyak 1,2 juta KP dengan dana 600 ribu /per bulan, warga 1,2,3 ada Bansos Sembako sebanyak 600 KPM sebesar Rp.600 ribu/per bulan,  warga kategori 1,2,3 bansos sembako non Jabotabek sebanyak 5,8 juta dan 3,2 juta tambahan sebesar Rp.600 ribu/bulan, dan Kartu Praker a, bantuan latihan Rp.1 juta; insentif RP.600 ribu, suervei Rp.50 ribu/bulan.

Semuanya dianggarkan hanya untuk 3 bulan dari April hingga Juni.  

Bukan hanya bantuan sosial saja, tetapi juga anggaran penanganan kesehatan, jaring pengaman sosial, dukungan industry pajak, program pemulihan ekonomi sosial pun mencapai total Rp.405, triliun.

Dukungan industryipajak yang terakhir adalah perluasan insentif pajak  untuk sektor usaha menjadi 18 . Di dalamnya termasuk Pph21, Pph23, Pph25 dan Ppn.   Ke 18 sektor itu dapat dilihat dari bagan di sini:

dokpri
dokpri
Dalam diskusi antar dua sumber itu, ada lubang-lubang insentif yang tidak  "proper" atau tidak tepat sasaran karena minimnya sumber data dari penerima bantuan.   Yang ternyata saat ini hanya bisa dicatat berdasarkan nama dan alamat yang benar hanyalah warga  di kategori 1 dan 2  dari Program  Keluarga Harapan.  Untuk yang lainnya data masih "kurang  dapat diandalkan".  Akibatnya penerima bantuan sering kurang tepat sasaran .

Selain pendataan yang jadi masalah, juga  mekanisme distribusi yang rawan dengan korupsi.

Gaya pengelolaan APBN yang tidak tepat dikemukakan oleh Faisal Basri. Ketika harga komoditas naik, kita dapat profit, bukannya dimasukkan dalam anggaran yang untuk "menabung" tetapi dihabiskan .  Akibatnya ketika krisis tiba,  kita harus utang.

Utang kita untuk penanganan krisis telah mencapai Rp.5,192,56 Trilun,  terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp.10,23T, pinjaman LN Rp.89,6T dan perbandingan ratio dari debt dengan GDP adalah 32,12 yang menurut  Kementrian Keuangan masih dianggap dikelola dengan baik.

Namun, pertanyaan yang sangat menggelitik, apabila krisis ini sampai di ujung atau akhir tahun, apakah Pemerintah masih cukup banyak uang untuk bisa menanggulangi, atau apakah harus utang ditambahkan?

Seperti dijelaskan di atas profil utang kita sudah sampai Rp.5 trilun yang sama dengan 32,12 dari GDP kita, artinya itu sebenarnya sudah di titik yang sangat krusial, makin besar utang lagi, maka makin besar bunga utang yang harus dibayar.  

Lagi-lagi pemerintah masih optimis dengan inflasi yang berkurang karena demand berkurang, viotile dari food jika tidak dapat dikendalikan maka masih dapat dinaikkan budgetnya.

Di akhir kata, Faisal Basri menekankan agar komitmen pemerintah agar "switching mindset"  bertindaklah atas apa yang dapat ditunda seperti proyek kereta cepat, perpindahkan ibukota, batalkan Omnibus law.

Usul dari UNDP yang sangat relevan adalah adanya basic security  income bagi semua warga, dimana hak dasar yang memadai bagi semua warga  dimana warga yang berlebihan dapat memberikan kepada mereka yang kurang.

Sayangnya, ini belum bisa dilakukan karena kewajiban negara itu sering disalahgunakan oleh warga yang tak mau menjadi wajib pajak  yang patuh.  Kewajiban negara bisa dilakukan dengan baik apabila dana yang dikumpulkan dari fiskal yang mencukupi untuk dikelola dan dibagikan kepada  warga. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun