Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ongkos Ekonomi Indonesia Hadapi Covid-19

24 April 2020   17:59 Diperbarui: 25 April 2020   09:04 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu ada Covid-19, Kementrian Keuangan telah menggelontorkan  Bantuan Sosial sesuai dengna detail dari pendapatan masyarakat.  Untuk masyarakat dengan pendapatan di kategori 1 dan 2 ada Program Keluarga Harapan sebanyak 10 juta Keluarga (KPM),  warga di kategori 1,2 dan tiga ada Kartu Sembago sebanyak 20 juta keluarga dengan dana Rp.200 ribu/per bulan,  warga kategori 1,2,3 dan 4 ada subsidi listri, warga kategori 1,2,3,4  ada bansos DKI sebanyak 1,2 juta KP dengan dana 600 ribu /per bulan, warga 1,2,3 ada Bansos Sembako sebanyak 600 KPM sebesar Rp.600 ribu/per bulan,  warga kategori 1,2,3 bansos sembako non Jabotabek sebanyak 5,8 juta dan 3,2 juta tambahan sebesar Rp.600 ribu/bulan, dan Kartu Praker a, bantuan latihan Rp.1 juta; insentif RP.600 ribu, suervei Rp.50 ribu/bulan.

Semuanya dianggarkan hanya untuk 3 bulan dari April hingga Juni.  

Bukan hanya bantuan sosial saja, tetapi juga anggaran penanganan kesehatan, jaring pengaman sosial, dukungan industry pajak, program pemulihan ekonomi sosial pun mencapai total Rp.405, triliun.

Dukungan industryipajak yang terakhir adalah perluasan insentif pajak  untuk sektor usaha menjadi 18 . Di dalamnya termasuk Pph21, Pph23, Pph25 dan Ppn.   Ke 18 sektor itu dapat dilihat dari bagan di sini:

dokpri
dokpri
Dalam diskusi antar dua sumber itu, ada lubang-lubang insentif yang tidak  "proper" atau tidak tepat sasaran karena minimnya sumber data dari penerima bantuan.   Yang ternyata saat ini hanya bisa dicatat berdasarkan nama dan alamat yang benar hanyalah warga  di kategori 1 dan 2  dari Program  Keluarga Harapan.  Untuk yang lainnya data masih "kurang  dapat diandalkan".  Akibatnya penerima bantuan sering kurang tepat sasaran .

Selain pendataan yang jadi masalah, juga  mekanisme distribusi yang rawan dengan korupsi.

Gaya pengelolaan APBN yang tidak tepat dikemukakan oleh Faisal Basri. Ketika harga komoditas naik, kita dapat profit, bukannya dimasukkan dalam anggaran yang untuk "menabung" tetapi dihabiskan .  Akibatnya ketika krisis tiba,  kita harus utang.

Utang kita untuk penanganan krisis telah mencapai Rp.5,192,56 Trilun,  terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp.10,23T, pinjaman LN Rp.89,6T dan perbandingan ratio dari debt dengan GDP adalah 32,12 yang menurut  Kementrian Keuangan masih dianggap dikelola dengan baik.

Namun, pertanyaan yang sangat menggelitik, apabila krisis ini sampai di ujung atau akhir tahun, apakah Pemerintah masih cukup banyak uang untuk bisa menanggulangi, atau apakah harus utang ditambahkan?

Seperti dijelaskan di atas profil utang kita sudah sampai Rp.5 trilun yang sama dengan 32,12 dari GDP kita, artinya itu sebenarnya sudah di titik yang sangat krusial, makin besar utang lagi, maka makin besar bunga utang yang harus dibayar.  

Lagi-lagi pemerintah masih optimis dengan inflasi yang berkurang karena demand berkurang, viotile dari food jika tidak dapat dikendalikan maka masih dapat dinaikkan budgetnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun