Hampir tidak bisa membayangkan dua perusahaan  pelat  merah  yang cukup gagah namanya PT. Asuransi Jiwa  BErsama Bumiputera 1912  dan PT. Asuransi  Jiwasraya gagal untuk membayar tagihan dari polis asuransi yang sudah jatuh tempo maupun tagihan klaim asuransi dari pemegang polis.
Saya pernah menjadi pemegang polis  PT. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 untuk polis pendidikan anak saya. Beruntung saya tak mengambil polis dengan jangka waktu yang panjang, tetapi saya mengambil jangka waktu singkat 5 tahun dalam mata uang asing.Â
Ketika polis itu jatuh tempo, saya agak terkejut sekali kenapa saya harus menunggu hampir 2 minggu  untuk pencairannya.  Perhitungan dari bunga pun meleset jauh dari apa yang dijanjikan dalam polis.
Sejak saat itu saya merasa tidak nyaman untuk turut serta dalam program asuransi yang ditawarkan oleh PT. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Â Terus terang, program produknya selalu tidak sesuai dengan produk pasar yang telah berkembang. Menawarkan dengan program yang paketnya tidak menarik, membuat saya tidak bergemening untuk membeli polis itu.
Mengapa perusahaan asuransi terlihat besar tetapi "kosong" di dalamnya?
Mengelola dana asuransi yang terkumpul cukup besar (pemegang polisnya di seluruh Indonesia), harus dengan sistem yang sangat ketat dan prudent. Manajemen tentunya punya kompetensi tentang aktuaris yang sangat ruwet dalam menentukan nilai polis sesuatu produk asuransi. Â
Otomatis jika mereka bisa menguasai ilmu aktuaris dengan baik, tentunya untuk menguasai ilmu keuangan untuk mengatur cashflow berapa dana yang masuk per bulannya, Â berapa alokasi untuk pengeluaran tiap bulannya untuk pembayaran polis yang jatuh tempo dan klaim dari asuransi (dari pengalaman atau historis produk).Â
Sisa dari antara inflow dan outflow itu baru dimasukkan ke dalam investasi baik melalui deposito, obligasi atau lainnya. Â Untuk manager investasi pun harus memperhitungkan dana kelola yang diinvestasikan itu harus dimasukkan ke dalam keranjang yang aman, jangan memasukkan ke dalam saham yang memang kelihatannya menguntungkan apabila harga naik, tetapi bisa rugi besar ketika harga sedang turun drastis.Â
Apabila managemen bisa prudent dalam menjalankan bisnisnya, niscaya semua masalah gagal bayar tidak akan terjadi. Â Prudent dan comply dengan pengawasan yang dilakukan oleh OJK sebelum gagal bayar terjadi menjadi parameternya.
Nasib  pemegang Polis:
Saya  ikut sedih dengan cerita dari pemegang polis yang benar-benar mengantungkan dananya itu untuk pendidikan dan jiwa dari tertanggung. Â
Berceritalah seorang ibu Amal (bukan nama sebenarnya), Â yang ingin memasukkan putranya di sekolah international setelah lulus SD. Impian indah dari ibu Amel itu diwujudkan dengan mengambil produk pendidikan di Asuransi Jiwsraya dalam USD dengan rentang waktu 4 tahun. Â
Ketika anaknya tepat lulus SD, dia ingin mencairkan dana USD sesuai dengan polis untuk biaya pendaftaran sekolah international. Malang tidak dapat ditampik, ternyata kaget ketika pencairan itu tak kunjung datang bahkan, dia melihat banyak pemegang polis  yang sama mengalami nasib yang sama. Akhirnya impian itu punah, dia hanya mampu menyekolahkan anak di sekolah swasta biasa.
Lain halnya dengan seorang perempuan expatriat Korea, di mana suaminya orang Indonesia. Atas perintah dari kantor suaminya, Â dia mengambil polis jiwa melalui agen Jiwasraya yaitu Hana Bank.
Ketika suami meninggal, dia akan kembali ke Korea, polis yang akan dicairkan itu tak kunjung cair bahkan dikatakan tak ada dana untuk membayar kembali. Dia akan melaporkan ke Pemerintah Korea untuk disampaikan kepada Pemerintah Indonesia. Dia bersama-sama dengan beberapa warga Korea yang juga sama memiliki polis jiwa melalui Hana Bank.
Kesalahan Fatal:
Kerugian pemegang polis yang mencapai triluan rupiah, merupakan kesalahan manajemen dalam melakukan ivnestasi, payung hukum mutual company perlu segera didefiniskan dengan jelas, regulator kurang berupaya menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi industri, upaya mencari pembiayaan alternatif seperti penerbitan Medium Term Notes /MTN, repaya restrukturuasi (penjadwalan pembayaran klaim), pergantian manjemen pun harus dilakukan.
Wacana di atas hanya dikemukakan tanpa ada solusi yang jelas, semuanya berbicara tanpa ada titik temunya, bahkan masing-masing beragumentasi sendiri-sendiri.  Seolah gagasan bagus itu hanya teserak tanpa  ketentuan.Â
Mencari solusi:
Jika masing-masing merasa mengajukan solusi tetapi tidak ada titik temu, maka yang terabaikan adalah pemilik polis yang terkatung-katung nasibnya. Â Â
Apabila perusahaan minta agar dijual kepada investor lain,bahkan usulnya ada 4 BUMN siap akan jadi investor baru,  agaknya terlalu dini untuk secepat itu menjadi investor baru.  Investor perlu mencermati data keuangan dari perusahaan yang dibelinya.  Dengan menanggung utangklaim yang cukup  berat  hampir 80 milliar, apakah ada investor berani menanggungnya?Â
Apabila opsinya minta kepada Pemerintah agar perusahaan asuransi di bail out agar Pemerintah mengucurkan dana untuk menganti dana pemilih polis. Pemerintah tentunya tidak mudah melakukan karena sekali hal itu dilakukan, hal itu menjadi presden buruk bahwa tiap kali ada perusahaan yang melakukan hal yang sama, maka Pemerintah dapat berikan talangan, padahal yang melakukan kesalahan adalh perusahaan asuransinya.
Solusi yang paling baik adalah menghadapi masalah publik ini harus dengan kepala dingin, percakapan yang tidak pahit, berpotensi saling menyakiti, dan bersikap dewasa dan menghadapi dengan sikap perwira.
Perlu penyelarasan persepsi bahwa masalah ini harus dihadapi dengan gotong royong dan pikiran yang jernih dan tujuan yang sangat jelas demi penyelesaian yang win win solution.
Selalu berprasangka baik dan penuh kedewasaan, terbuka satu sama lain agar jalan yang dicapai itu tetap dapat dimonitor satu sama lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H