Di tahun 2007 sebuah film yang berjudul "The Diving Bell and the Butterfly" sangat menggugah sanubari setiap penontonnya.  Bukan hanya sekedar menggugah hati  tetapi juga memberikan motivasi kuat dari seseorang bernama Jean Dominique Bauby di puncak karir sebagai editor majalah ternama di dunia,  tiba-tiba terserang lumpuh di tubuhnya.
Kisah ini tidak berhenti di sini, Â film ini mendokumentasikan seluruh kehidupan nyata dari Jean semasa hidupnya . Dia dikenal sebagai orang yang tangguh dalam menggeluti dunia tulis menulis. Â Bahkan selama hampir empat tahun sampai bulan Desember 1995, Jean menjabat posisi pimpinan redaksi di semua majalah Elle, majalah terkemuka. Â Anda tentu masih ingat tersohornya majalah ini di Perancis sampai ke belahan dunia lainnya.
Jean dilahirkan pada tahun 1952 dan saat menginjak usia 43 tahun, Â tiba-tiba tubuhnya teserang jantung hingga tubuhnya berubah secara drastis. Â Serangan jantung ini membuat tubuh Jean jadi lumpuh total dan bahkan sampai tertidur koma selama 20 hari. Â Dokter yang merawatnya di Maritime Hospital mendiagnosa bahwa dia mengalamai "Locked-in Syndrome"
"Locked in Syndrome" adalah penyakit langka yang menyebabkan seseorang seperti lumpuh, tidak dapat bernafas, menelan dan makan tanpa bantuan alat-alat maupun orang lain. Â Badannya lumpuh total tetapi otaknya masih berpikir normal. Â Hebatnya , dalam kondisi demikian otak Jean masih berfungsi normal dan baik, tetapi dia hanya mampu menggerakan kelopak mata kirinya saja.
Bayangkan jika tubuh Anda terperangkap dalam kematian  tetapi otak anda masih berjalan lancar.  Perasaan  marah dan kesal juga dialami oleh seorang Jean atas ketidak-berdayaan tubuhnya itu. Â
Otaknya masih bisa berpikir, tapi tubuh sama sekali tak mampu bergerak.  Ia hanya berkomunikasi dengan menggunakan kelopak mata kirinya.  Awalnya dengan kerdipan satu mata  untuk mengatakan "ya"  dan dua kerdipan mata untuk mengatakan "tidak".   Jean juga harus menggunakan alpabet khsus.
Dia tak ingin larut dalam keputus-asaan dan kesedihana yng mendalam, Â kegigihan kembali datang karena dia masih punya harapan dan semangat untuk berkarya dalam keterbatasan.
Dengan bantuan seorang perawat khusus bernama Claude Mendibil, Â Jean mampu menyelesaikan sebuah buku . Ia menggunakan kemapuan dengan mengerdipakan mata . Â Pembantunya yang bernama Claude itu menyajikan hurusf abjadi E,S,A,R, I N dan T Â dalam layar yang besar, lalu Jean meresponnya dengan kerdipan mata.
Proses pembuatan buku tentunya tidak mudah, waktunya sangat lama karena setiap hari  terutama di pagi hari Jean bangun Jean menyusun tulisan-tulisan itu dalam pikirannya. Lalu siangnya barulah Claude  datang dan menuliskan huruf demi huruf yang disampaikan oleh Jean.  Pekerjaan rutin ini dilakukan setipa hari sekitar 3-5 jam tergantung dari ketahanan tubuh Jean.  Â
Waktu pengerjaannya itu hampir setahun dengan total kerdipan sebanyak 200.000 untuk tulisan yang berisi 100 halaman.
Akhirnya, buku yang berjudul "The Diving Bell and Butterfuly"  itu selesai diterbitkan di Perancis pada 6 Maret 1967.  Sambutan dari para  kritikus atas terbitnya buku itu sangat besar sekali.  Bahkan buku itu sampai terjual habis sebanyak 25.000 ekslampar saat diluncurkan.  Â
Konten atau isi buku itu menceriterakan secara rinci bagaimana rasa kesepian yang dialami oleh Jean, semangatnya yang tangguh di saat yang sangat sulit ketika dia tak mampu berbuat apa-apa tapi otaknya tetap ingin berpikir terus.
Ternyata Jean tak berhenti berkarya dalam buku saja, dia juga punya keinginan dan minta agar ada yang membantunya untuk mendirikan sebuah asosiasi bagi para korban "locked-in syndrome" seperti yang dialaminya. Â Belum sempat menikmati keberhasilan dari peluncuran bukunya, tepat 3 hari setelah peluruncuran bukunya Jean menutup mata untuk selama-lamanya.
Julian Schnabel , selaku Sutradara film "The Diving Bell and the Butterfly" mengakui bahwa dia terinspirasi untuk memfilmkan biographi kehidupan Jean karena hidupnya itu memiliki suatu keajaban dan ketangguhan yang tidak pernah  bisa terpikirkan
Ketika film ini mendapatkan penghargaan, Schnabel mengatakan secara takjub, bahwa dia harus masuk dalam dunia Jean dulu untuk bisa memahami apa yang dipikirkannya . Â Perkataan Jean yang tak pernah terucap tapi terlihat dalam semangatnya itu bahwa ia tak ingin masuk dalam jurang keterpurukan yang lebih dalam karena masih ada imajinasi dan ingatannya yang tak bisa dilepaskannya. Â Kedua hal inilah yang tak pernah lumpuh bersama dengan mata kirinya.
Hikmah bagi ktia semua sebagai penulis yang punya panca indera lengkap dan punya kemampuan untuk baca dan menulis dalam kondisi yang sangat normal, seringkali motivasi kita sering luntur hanya karena hal-hal yang sepele, malas, mental block, atau tidak ada inisiatif atau tidak ada hadiah besar atau kurangnya melihat kekuataan fisik dibandingkan dengan kelumpuhan fisik yang diderita oleh Jean.
Jean dengan kelemahannya mampu membuktikan bahwa dia masih produktif hingga akhir hayatnya. Â Selalu percaya diri dengan kelebihan di balik kelemahan yang ada pada diri kita masing-masing .
Satu kutipan yang sangat menguatkan hati kita semua adalah "Untuk Merayakan Kehidupan, Lakukan suatu kebaikan bagi orang lain" --Jean Dominique Bauby
Sumber:
1Sally Weale. (2008). The Reality behind the Diving Bell and the Butterfly.Â
2James Kirkup. (1997). Obituary: Jean-Dominique Bauby.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H