Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Perang Dagang Amerika Serikat dan China Berdampak pada Perekonomian Indonesia

27 Mei 2019   18:59 Diperbarui: 29 Mei 2019   02:45 3358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir di seluruh negara di dunia ini sedang mengalami kontraksi ekonomi. Ekonomi global terguncang karena tidak ada pertumbuhannya. Setiap negara menargetkan pertumbuhan agar tidak terjadi ekonomi yang stagnan. 

Namun, di tengah tidak adanya pertumbuhan ekonomi yang stagnan, terjadilah perang ekonomi antara Amerika Serika dan China. Amerika Serikat dibawah Kebijakan Donald Trump mengenakan empat kebijakan yang sangat memukul negara-negara terutama negara China. 

Keempat komponen itu adalah yang pertama penurunan pajak, kedua larangan masuk untuk imigran, ketiga  pembatasan -ekspor teknologi-teknologi canggih dan keempat kebijakan tarif.

Dengan adanya keempat komponen kebijakan itu dampak yang sangat besar bagi negara-negara mitra Amerika Serikat adalah China. China yang banyak suplly barang-barang ke Amerika Serikat, tidak lagi mampu mengekspor karena mahalnya tariff import yang dikenakan dari 10% menjadi 25%.

Kebijakan ini sangat menggoncang ekonomi global utamanya negara China yang berdampak buruk, bahkan memicu perang dagang dan aksi balas dendam untuk perang dagang dengan memboikot barang Amerika di negaranya.

Ekonomi global yang menggoncang hampir semua negara itu juga terasa dampaknya pada perekonomian di Indonesia. Perubahan strategi kebijjakan AS itu mendorong persepsi para investor untuk kembali menanamkan investasinya ke Amerika Serikat yang dianggap lebih positif. Apalagi dengan kenaikan dari  suku bunga (Federal Funds Rate) telah mengalami kenaikan hampir 4 kali selama tahun 2018. 

Kenaikan terakhir oleh Bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, pada tanggal 19 Desember 2018 sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2,25%.

Dengan adanya peningkatan suku bunga acuan di Amerika Serikat, Indonesia dianggap tidak menarik bagi investor dan mereka menarik dananya. Terlihat dari data sebesar 157 triliun dana keluar dari Januari hingga Juli. Dana ini kembali ke Amerika Serikat dan akibatnya hal ini akan menggoncangkan pasar modal (Bursa Efek) Indonesia.

Apabila faktor eksternal ini tidak diantisipasi maka kegoncangan pasar modal jika dibiarkan terus berlangsung lama maka hal ini akan membuat kestabilan perekonomian Indonesia ikut terseret turun.

Beruntung Indonesia telah menerapkan kebijakan makroprudential dan mikroprudential dalam menjaga stabilitas keuangan dari setiap pengaruh gejolak perekominian baik dari luar maupun dari dalam.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 memang sedikit meleset dari prediksi yang diproyeksikan 5.4% hanya teralisasi dengan 5.1%. Tetapi masih dianggap paling besar pertumbuhannya diantara semua negara di Asian.

Kebijakan Makroprudential dan mikroprodential:

Bank Indonesia telah memiliki senjata ampuh untuk mengatasi kegoncangan perekonomian akibat dampak global. Sejak adanya krisis global tahun 1998 yang melanda seluruh dunia akibat adanya Crisis Mortgage di Amerika Serikat, Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi terjadinya krisis dengan menerapkan Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan atau disebut dengan SSK.

Pendekatan yang dilakukan oleh Bank Indonesia setelah paska krisis Keuangan Asia tahun 1997/1998 dan krisis keuangan global 2007/2008 yang dipicu oleh suprime mortgage di Amerika Serikat dengan Kebijakan mikroprudensial dan makroprudential.

Mikroprudential itu dituangkan berdasarkan Undang-Undang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan kaitannya dengan kesehatan, kinerja, dan kelangsungan individual bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013.

Sedangkan makroprudential itu menjadi bagian integral dari kebijakan Bank Indonesia. Walaupun belum banyak diketahui oleh masyarakat secara umum, tetapi Bank Indonesia selalu memperbaharui kebijakan kerangka makroprudential tiap tahunnya supaya dapat mengikuti dinamika ekonomi perkembangan zaman.

Apa Kebijakan Makroprudential Bank Indonesia?

Indonesia termasuk dalam negara G20. Saat pemimpin-pemimpin G20 mengadakan pertemuan internasional di Seoul tahun 2010, meminta Finansial Stability Board (FSB), Internasional Monetary Fund (IMF dan Bank for International Settlement (BIS) mengembangkan kerangka kebijakan makroprudential agar mencegah risiko sistemik pada sektor keuangan.

Tahun 1997 /1998 Indonesia telah menyusun kerangka Badan Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK) di Bank Indonesia. Tertuang dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan akhirnya beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Intinya ada 3 hal yang penting dalam mengemban kebijakan makroprudential, diterapkan dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan,  diterapkan dengan berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan, diterapkan menjaga upaya membatasi terbangunnya risiko sistemik.

Sederhananya kebijakan makroprudential dan mikroprudential berfungsi menjaga keseimbangan antara tujuan makro ekonomi dan mikroekonomi.

Otoritas dan tanggung jawab ada di tangan masing-masing otoritas, misalnya Bank Sentral atau Bank Indonesia memiliki wewenang moneter, makroprudential dan sistem pembayaran. Pemerintah memiliki kewenangan fiskal, dan otoritas pengawas industri jasa keuangan melalui kewenangan mikroprudential.

Implementasinya Bank Sentral melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.16/11/PBI/2014 tertanggal 1 Juli 2019 mengatur pengawasan makroprudential. Arahan bagaimana mengatur agar sistem keuangan nasional bisa berjalan secara efektif dan efisien. Sistem keuangan nasional itu meliputi lembaga keuangan, pasar uang, infrastruktur keuangan, perusahaan non-keuangan, rumah tangga.

Menjaga keuangan untuk semua sektor, baik lembaga keuangan maupun non keuangan agar tetap sehat keuanganannya sehingga mencegah terjadinya sistemik keuangan yang akhirnya akan membuat  keuangan negara hancur.

Sulit membayangkan jika krisis ekonomi suatu negara seperti Venezuela tidak diantisipasi dan merugikan negara maupun rakyatnya. Pemerintah Venezuela tidak mampu mengendalikan tingkat inflasi tahunan negara yang  mencapai 1.300.000% dalam 12 bulan hingga November 2018. Utang negara melejit hingga melebih aset negara. Nilai tukar terus melemah. Ekonomi ambruk,  rakyat menderita kelaparan, harga-harga bahan pokok yang naik tinggi, rakyat tak mampu membelinya.

Kisah pilu ini tidak diharapkan terjadi di Indonesia karena Indonesia telah menganut kebijakan makroprudential dan mikroprudential.

Bagaimana implementasi mikroprudential?

Ketersediaan likuiditas pada semua perbankan di Indonesia jadi faktor penting bagi pengawasan baik oleh Bank Indonesia, OJK maupun Kementrian Keuangan dalam mempercepat strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan. Pasar Keuangan diharapkan sebagai sumber pembiayaan ekonomi dalam mendukung pertumbuhuan ekonomi.

Likuiditas perbankan umumnya berdasarkan dari keseimbangan antara jumlah pinjaman dengan tabungan /dana pihak ketiga. Apabila  satu perbankan tidak cermat atau prudent, artinya lebih banyak dana pinjaman bahkan kredit macetnya tinggi dibandingkan dengan tabungan, maka akan terjadi gap yang negatif dalam neraca keuangannya.  Hal ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama karena adanya pengawasan dari Pihak Bank Indonesia dan OJK. 

Banyak kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi bank yang  sehat keuangannya. CAR (Capital Adequacy Ratio) yaitu perbandingan modal dengan aset harus mencapai titik minimum. 

Jika profit naik maka ada tambahan modal. Dalam tiga tahun terakhir efisiensi perbankan dengan peningkatan profit tercemin pada return of assets yang tertinggi. Biasanya tambahan modal berasal dari right issue atau modal pinjaman, atau setoran modal. Saat ini CAR telah mencapai 22.89% di akhir tahun yang menunjukkan performa baik.

Efisiensi perbankan didukung oleh kegiatan intermediasi seperti perbaikan kualitas kredit, antisipasi penarikan dana pihak ketiga, efisiensi dalam biaya operasi  dan optimalkan sumber pendapatan lainnya. Juga perbankan telah menjaga kualitas kredit dan risiko kredit.

Setiap semester perbankan harus melaporkan ke Bank Indonesia transaksi berjalannya dan posisi likuiditas sehingga Bank Sentral atau Bank Indonesia dapat memonitor dan menjaga stabilitas sistem keuangan dari lembaga keuangan maupun non keuangan.

Tugas dan wewenang untuk menjaga stabilitas keuangan nasional ini sangat penting demi menghindari terjadinya sistemik yang akan menghilangkan kepercayaan publik atas ketidak pastian sistem keuangan yang tidak stabil dan tidak terdeteksi dan ambruk.

Sebagai warga kita dapat membantu menstabilkan keuangan negara dengan berinvestasi, menabung karena dana investasi baik itu dari bursa maupun rumah tangga sangat diperhitungkan dalam total likuiditas yang menunjang kestabilan perekonomian. Juga konsumsi rumah tangga saat jelang Lebaran dan event internasional seperti Asian Games di Jakarta dan Palembang serta IMF-World Bank Annual Meeting di Bali mendongkrak ekonomi nasional.

Kita semua berharap ekonomi Indonesia pada tahun 2019 bisa bertumbuh sesuai dengan proyeksi yaitu 5,2%-5,4% ditengah badai perekonomian global yang tidak menentu. Dengan bertumbuhnya perekonomian Indonesia maka kesejahteraan warga pun akan tercapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun