Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mengapa Jumlah CEO Perempuan di Indonesia Kalah dengan Lelaki?

9 Oktober 2018   14:30 Diperbarui: 9 Oktober 2018   15:53 3202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara statistik jumlah perempuan Indonesia yang menduduki posisi CEO cukup meningkat pesat. Pertumbuhan sebesar 16 persen dari tahun lalu menempatkan Indonesia masuk dalam 10 besar negara di dunia untuk jumlah perempuan di posisi manajemen senior perusahaan.

Posisi strategis yang dipegang atau dikendalikan oleh perempuan seperti General Manager, CEO, Chief Financial Officer dan Chief Operating Officer. 

Hanya sayangnya jika dibandingkan jumlah total partisipasi perempuan di Indonesia dengan total perempuan yang seharusnya masuk dunia kerja hanya 51 persen versus 88 persen.

Peringkat partisipasi perempuan di bidang ekonomi dan kesempatan berusahan menurut World Ecomic Forum adalah 108 dari 144 negara. Agak terbelakang bukan?

Begitu juga jika dilihat demografinya jumlah perempuan Indonesia jauh lebih besar dari lelaki. Dilihat perempuan yang lulusan universitas pun cukup besar hampir 57 persen, namun yang menduduki jabatan strategis sedikit, misalnya hanya 5 persen CEO dan Direktur, 20 persen jabatan CEO, 47 persen profesional. Lalu, ke mana dan ada apa gerangan perempuan Indonesia tidak masuk dunia kerja?

Mengapa jumlah partisipasi perempuan masuk dunia kerja sedikit?

Adanya hambatan norma budaya dan sosial yang membuat perempuan Indonesia lebih memilih bekerja di dunia informal. 

Dalam beberapa budaya lokal, orang tua mengatakan kepada anak gadisnya, "Sepandai-pandainya kamu sekolah di perguruan tinggi, nantinya kamu akan masuk dapur juga!"

Kondisi ini membuat keputusan para orang tua tidak menyekolahkan anak perempuannya sampai ke perguruan tinggi atau anak perempuan itu sendiri memilih untuk tidak meneruskan ke perguruan tinggi karena mindset orangtuanya.

Masalah pendidikan pun ikut menjadi hambatan bagi perempuan Indonesia untuk memilih pekerjaan yang  tidak formal dibandingkan harus bekerja di kantor.  

Saat orang tua mendidik anak perempuannya di masa kecilnya, dia selalu memberikan mainan identik yang berbau perempuan boneka, "pasar-pasaran", padahal ada anak perempuan yang sejak kecilnya sudah senang main mobil, komputer dan bongkar sepeda dan memasangnya lagi.      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun