Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siapkah untuk Tinggalkan "Comfort Zone"?

13 Maret 2018   14:41 Diperbarui: 13 Maret 2018   18:05 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tingkat kepuasan orang bekerja di suatu tempat itu banyak faktornya.  Ada yang ingin mencari gaji yang lebih tinggi, suasana kerja yang lebih  menyenangkan, karir yang dapat menanjak terus, atau berbagai macam motivasi yang lainnya.

Parameter kepuasan itu ditentukan oleh masing-masing individu dengan berbagai macam alasannya. Ada yang puas sekali dengan pekerjaannya bertahun-tahun di sebuah jabatan tanpa ada keinginan untuk pindah tempat atau bagian yang lain yang lebih menjanjikan sebuah karir. Tapi ada juga yang baru bekerja tiga bulan merasa tidak betah karena merasa pekerjaannya sangat mudah dan tidak sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya yang jauh melampau kualitas pekerjaannya itu (disebut dengan overqualified).

Namun, ada pula yang merasa sudah di tempat puncak jabatan  eksekutif, tiba-tiba merasa tidak ada lagi kepuasan dalam pekerjaan karena semuanya sudah mampu diselesaikan dan tidak ada pekerjaan yang menantang lagi buat dirinya. Para eksekutif yang sudah di puncak karir itu ingin ke luar dari comfort zone yang melingkunginya. Kondisi "comfort zone" itu jadi pijakan baginya untuk ke luar dan mencari pekerjaan yang lebih "challenging" menurutnya.

Apa definisi dengan comfort Zone?

"Comfort zone" adalah keadaan psikologi yang tenang, aman, nyaman , tidak ada rasa stres , kekhawatiran dan dapat mengontrol atau mengendalikan lingkungan tempat kerja, tingkat performa kerja yang stabil.

Backwick mengungkapkan bahwa "comfort zone" sebagai tindakan atau sikap dimana seseorang dalam keadaan posisi netral dari kekhwatiran.  Jauh dari keadaan yang tidak menentu atau galau atau kekurangan apa pun karena dia merasa nyaman karena banyak akses cinta, saling hormat dan percaya di dalamnya.

Lalu mengapa orang lari dari comfort zone?

Seringkali orang yang ingin ke luar dari "comfort zone" dari suatu pekerjaan menggunakan berbagai pertimbangan atau alasan.  Saya telah berkeluarga dan sekarang ada anak-anak yang harus saya urus.  Anak-anak menjadi prioritas penting bagi saya . Memang pekerjaan penting tapi menurutnya keluarga jauh lebih utama dari sebuah pekerjaan. Pekerjaan bisa dikerjakan di rumah karena sekarang serba digital. Tidak perlu bekerja di kantor secara formal.  Bekerja dapat secara free lance, kapan saja dan di mana saja, tanpa terpaku dengan sebuah gedung, kantor bekerja dari jam 8 sampai 17.00.

Alasan lainnya karena ada yang merasa tidak menyukai kondisi kantor yang sudah tidak sehat meskipun dia sudah memiliki jabatan penting lagi. Kantor yang manajemennya tidak baik, tidak adanya pengaturan job description yang  terarah sehingga suatu proses pekerjaan tidak terselesaikan dengan baik dan manajemen proses pekerjaan sering membuat orang berantem karena tidak jelasnya alur pengaturannya.  Akibatnya, hubungan antar pegawai saling meruncing dan  terjadi salah-menyalahkan.

Alasan yang rational dari seorang eksekutif puncak adalah dia merasa sudah mencapai keberhasilan dalam memimpin perusahaan. Keberhasilan itu harus diestafetkan kepada orang lain sebelum dia kejenuhan menimpa dalam dirinya. Kejenuhan ini akan berakibat fatal kepada keputusan-keputusan dalam menentukan arah kepimpinanan perusahaan. Akibatnya performa perusahaan akan menurun. Oleh karena itu, sebelum hal ini terjadi, eksekutif yang punya prestasi gemilang itu tiba-tiba ke luar dari "comfort zone" mencari bidang baru yang baginya penuh dengan "chalenging".

Meninggalkan Comfort Zone:

Sebelum membuat keputusan yang sangat penting untuk meninggalkan comfort zone, kita perlu memikirkan, mempertimbangkan dengan matang apakah keputusan itu benar-benar sesuai dengan realitasnya.

  • Kemampuan vs realitas: Setiap orang harus punya alat untuk mengetahui parameter batas kemampuannya .  Kemampuan yang tinggi tapi tak punya mentalitas baja, akan menggagalkan diri kita. Mentalitas baja untuk menempuh kesulitan yang dihadapi. Juga apakah pengalaman kerja kita cukup meyakinkan untuk mencari peluang baru yang sangat tinggi tantangannya karena masa depan kita ditentukan oleh langkah kita sendiri.
  • Kekhawatiran akan masa depan di perusahaan tempat kita bekerja karena merasa sudah lama tidak ada perbaikan baik itu gaji maupun reward yang lainnya.   Alasan  kekhawatiran ini sungguh  tidak mendasar. Justru kebalikannya,  kita harus mengetahui sampai sejauh mana kita sudah bekerja di perusahaan lama ini.   Apakah kita sudah berusaha semaximal mungkin di pekerjaan yang lama sesuai kapasitas kita. Jika belum melakukan pekerjaan secara optimal, kita tidak bisa meninggalkan "comfort zone". Pekerjaan yang  baru kita masukimengandung unsur  "danger zone", penuh dengan tanda tanya apakah kita mampu berhasil dalam pekerjaan baru ini karena tantangannya jauh lebih besar.
  • Danger Zone: Sebagian orang yang dulunya bekerja di suatu perusahaan, lalu beralih jadi free lancer atau jadi entreprenur itu  harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Alih-alih ingin mendapatkan suasana yang lebih nyaman atau mendapat pekerjaan yang lebih "chalenging", kita bisa terpeleset ke dalam "danger zone". Danger Zone itu artinya setelah kehilangan pekerjaan yang baik dan tetap, tiba-tiba kita tidak mendapat apa yang diinginkan.  Bahkan kehilangan pekerjaan baru yang sedang dirintis. Oleh karena itu persiapan untuk merintis pekerjaan baru perlu wawasan yang luas, mencoba dengan teguh dan tidak cepat putus asa. Belajar dari orang-orang yang telah berhasil , trick dan pengalamannya dalam berbisnis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun