Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Eksistensi dan Rumput Tetangga (Tidak) Selalu Hijau

2 Februari 2018   21:40 Diperbarui: 3 Februari 2018   09:20 1156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pepatah yang tidak pernah usang " Rumput tetangga selalu lebih hijau" dari rumah kita sendiri. Artinya manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya, selalu melihat kondisi atau keadaan orang lain jauh lebih baik dari kita. Kehadiran media sosial makin membuat jurang yang sangat besar dan tak bisa dibendung lagi. Apa yang kita lihat setiap detik, menit, jam di media sosial menjadi perbandingan buat diri kita sendiri.   

Kegemerlapan yang tampak di media sosial seolah-olah cermin yang sangat elok dan kita merasakan berbeda karena ketidakmampuan untuk mengikutinya. Timbullah kecemasan yang seharusnya tidak terjadi.

Kecemasan di era digital ini ternyata menjadi tren bagi mereka yang merasa harus eksistensi di media sosial.  Saya jadi pengamat yang sangat baik untuk melihat teman-teman saya yang sering upload fotonya di sosial media. Mereka selalu pengin tampil  "wah" dan "up to date" dengan foto selfie dengan background jalan-jalan atau liburan ke luar kota, ke luar negeri, dan bahkan ada yang memperlihatkan makanan atau kuliner yang jarang disantap orang lokal sekali pun.

Seolah-olah pandangan kita tersihir dengan keasyikan, keindahan, kehebatan background liburan dari teman-teman atau follower kita yang terpampang di media sosial. Jika kita melihat pameran keindahan itu setiap hari,  lalu kita berpikir sendiri, "Kok saya tidak pernah berlibur ke tempat yang menarik seperti teman-teman saya?".   Timbullah rasa cemas, merasa dirinya  kudet alias kurang update yang melekat pada dirinya sendiri.

Beberapa anak milenial yang pernah saya tanyakan tentang apa kesibukannya pada saat weekend. Jawaban mereka bermacam-macam, tetapi sebagian besar mengatakan: "Saya tidak pernah betah tinggal di rumah saat weekend,  apalagi jika melihat sosial media, saya langsung merasa bete karena orang-orang kok bisa-bisanya menemukan tempat yang OK  banget buat diupload di instagram".

Kecemasan di era digital semacam di atas ini, mendapatkan julukan atau istilah tersendiri dengan "Fear of Missing out"  atau disingkat FoMo. Jika ditilik dari kamus Oxford English Dictionary arti dari FoMo adalah sebagai suatu kekhawatiran yang dimiliki seseorang karena kehilangan sesuatu atau tidak merasakan (sesuatu) secara langsung.

Salah satunya adalah jika kita tidak mengikuti berita-berita atau sesuatu yang sedang viral atau tren, maka perasaan kita langsung gelisah, khawatir dan merasa kita jadi orang yang ketinggalan zaman. Tren itu membawa kita kepada sosial anxiety. 

Teknologi yang dikaitkan dengan media sosial itu ternyata membawa dampak yang cukup negatif dari sisi psikologi diri kita. Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain.  Kenapa orang lain bisa pergi ke luar negeri, tapi kenapa kok saya tidak bisa. Keren banget jika mereka bisa jalan-jalan setahun dua sampai tiga kali, kok saya hanya jalan-jalannya bukan di tempat yang keren.

Mengenali ciri-ciri orang yang terkena sindrom FoMo:

Adakalanya anak-anak remaja, atau generasi milenial mengajak bertengkar kepada orangtuanya. Remaja itu mengatakan bahwa dia menjadi orang yang paling kuno diantara teman-temannya. Malam minggu harus di rumah karena tak punya uang untuk nongkrong di cafe kopi yang baru di buka dan sangat terkenal itu. 

Ada remaja lainnya ketika diajak pergi oleh temannya, selalu tidak menjawab langsung  untuk memberitahukan apakah dia bisa ikut atau tidak. Mengapa? Alasannya adalah dia ingin mengulur waktu hingga detik-detik terakhir sampai dia menemukan tempat yang lebih menarik, lebih instragrammable untuk dikunjungi.

Belum lagi ada yang lebih parah lagi, setiap kali diajak pergi ke tempat yang asyik, selalu membawa baju ganti untuk mendapatkan foto yang paling bagus karena merasa lebih fashionable jika memakai baju yang lebih bagus. Nanti selesai foto, langsung dapat di upload  di media sosialnya untuk menunjukkan "existence".

Mereka yang mengalami sindrom adalah mereka sedang mengerjakan sesuatu bersama teman-temannya, mereka selalu ingin tau apa yang terjadi di dunia luar sana, supaya merasa tidak tertinggal dengan apa yang sedang terjadi.

Yang paling ekstrem ketika ada juga  yang sengaja  meng"hire" fotografer untuk kesempatan-kesempatan yang sifatnya sangat "private" seperti  ulang tahun, pernikahan.  

Siapa saja yang terkena FoMo?

Bukan hanya anak-anak milenial saja, tapi mereka yang dewasa maupun yang sudah tua bisa terkena wabah FoMo. Mereka itu seolah tidak mengenali siapa dirinya lagi. Terbawa arus dunia media sosial dan tidak merasa stabil  jika tidak mengikuti derasnya arus.

Bahayanya FoMO?

Setiap orang yang merasa terus menerus khawatir dan cemas karena merasa diri tidak "update",  dan membiarkan dirinya terus digerus dengan perasaan berlebihan dan obsesif, maka akan terjadi gangguan jiwa. Bahkan ada yang merasa rendah diri karena ditinggalkan oleh teman-temannya, tidak mau diajak untuk datang reuni, undangan atau ke mana pun. Seolah dia ingin menarik dirinya karena merasa tak "update".

Saran yang sangat baik dari seorang psikolog Ade Banani  agar kita tidak selalu dihantui oleh  FoMo:

  • Kesadaran penuh bahwa dunia maya adalah sebuah penampilan yang tidak sepenuhnya indah, karena dunia maya hanyalah bagian indah saja yang ditampilkan bukan sisi sebaliknya.
  • Menyadari bahwa kita tidak bisa mendapatkan semua yang diingini. "You can't have it all, you don't have to have it all".
  • Mengasah kemampuan untuk memilah antara kebutuhan dan keinginan
  • Memahami kelebihan dan kekurangan diri agar tahu cara untuk mengasah diri.
  • Berani berkata tidak dan fokus pada peluang-pelaugn yang mampu mengembangkan diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun