Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Keberagaman Gender dalam Gandrung

10 Juli 2017   17:22 Diperbarui: 10 Juli 2017   18:47 1549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia hanya mengenal dua gender dalam praktek kehidupan masyarakatnya.  Gender lelaki atau gender perempuan.   Dari status gender itu , akan menentukan fungsi sosial dan pekerjaannya. Sebagai contoh jika seorang bergender perempuan, maka pekerjaannya  sebagai ibu rumah tangga, mencuci, mengasuh anak. Tidak pernah terbetik  status "gender ganda" atau keberagaman gender dalam status sosial.  Ketika seorang seniman yang kebetulan berstatus gender lelaki, tetapi pekerjaannya sebagai penari, hal ini menjadi suatu penolakan bagi masyarakat luas. Masyarakat Indonesia belum mengenal arti keberagaman gender dalam arti luas, seorang lelaki dapat berperan sebagai gender lelaki maupun sebagai gender perempuan, walaupun fisiknya lelaki.

Sejarah terbentuknya "Gandrung"

Pada tahun 1772 terjadi penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Rakyat Mataram dan Madura untuk merebut Blambangan.   Perebutan dimenangkan oleh Kompeni . Blambangan menjadi suatu negara di bagian timur Jawa yang akhirnya bernama Banyuwangi.  Rakyat yang kalah harus melarikan diri ke hutan dan banyak yang tidak berani menampakan diri . Mereka lebih menyukai tinggal di hutan ketimbang harus menyerahkan diri.  Gandrung muncul dalam bentuk seseorang penari lelaki yang menghibur dengan kendangnya dari suatu rumah ke rumah. Lelaki dengan dandanan seorang perempuan.  Berkat adanya Gandrung, yang dipakai sebagai alat perjuangan dalam menyatukan rakyat yang masih tinggal tercerai berai di hutan diminta untuk kembali ke kota.  Akhirnya dengan pendekatan Gandrung, rakyat berhasil dibawa kembali ke ibu kota yang bernama Tirta Arum.    Tirta Arum berubah nama menjadi Banyuwangi.

Gandrung wanita yang pertama kali pada tahun 1895 karena adanya seorang ibu bernama Semi .  Ibu Semi bernazar apabila anaknya yang sakit itu sembuh dari penyakitnya maka ia akan meminta anaknya menjadi  Seblang.   Sebelang artinya  Itulah babak awal adanya Gandrung wanita yang pertama kalinya.  Kesenian tradisional ini dilanjutkan oleh anak-anak perempuan IBu Semi dalam pertunjukkan di panggung.

Sejarah mencatat bahwa untuk pertama kalinya Gandrung dimainkan oleh lelaki. Lelaki yang didandani seperti perempuan, menggunakan pakaian penari perempuan , diringi  oleh musik kendang.

 "Gandrung Lanang" berasal dari kata Jawa . Menurut Kamus Bahasa Indonesia pengertian kata "Gandrung" adalah sangat rindu akan; tergila-gila karena asmara; sangat ingin mendambakan.    Konotasinya kata gandrung mengarah kepada keinginan erotis dalam asmara. Sedangkan Lanang berarti laki-laki.  Namun istilah Gandrung dalam konteks  Kesenian rakyat di Banyuwangi artinya terpesonanya Rakyat Blambangan sebagai negara argaris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang mendatangkan kesejahteraan kepada masyarakat.  Untuk pengucapan syukur kepada Dewi Sri itulah terciptalah tarian Gandrung sebagai kesenian diadakan setelah panen

 Pakaian yang dikenakan oleh penari laki di bagian atas atau kepala dihiasi dengan omprok atau mahkota terbuat dari kulit kerbau dengan ornamen bergambarkan tokoh Antasena dan berwarna  merah dan orange. Di bagian mahkota ada  ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya.   Ditambahkan dan dipasang hio pada bagian omprok, untuk menambah kesan magis.

Di bagian tubuh, penari memakai baju hitam dari beludru berbalutkan, ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka.

Di bagian bawah,  penari memakai batik yang bercorak  dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi

Pada tahun 1930 an, setiap kali pertunjukkan pemain selalu memakai kaos kaki putih.

Perkembangan dalam Penolakan Penari Gandrung Lanang

Tatanan sosial masyarakat yang makin majemuk di Banyuwangi dengan pemeluk islam yang sangat kuat menolak adanya penari lelaki Gandrung mengenakan pakaian perempuan dengan dandanan perempuan menurut agama Islam tidak sesuai dengan ajarannya (tidak menerima bentuk transvestisme).  Oleh karena itu terjadilah pergeseran nilai dan bentuk tarian Gandrung , penarinya tidak lagi dilakukan oleh pria atau lelaki tetapi dilakukan oleh perempuan.  

Beralihlah perubahan pemain /penari Gandrung dari seorang lelaki menjadi seorang perempuan.  Padahal sebelum terjadi pergeseran gender, untuk menjadi pemain atau penari Gandrung itu perlu suatu ritual yang sangat panjang sekali.    Sebelum pemain naik panggung, pemain harus puasa selama 1-2 hari  , mengunjungi  makam .  Prosesi magis pun dilakukan oleh setipa penari sebelum pertunjukan. Penari harus mepersiapkan diri dengan ritual khusus agar tubunh yang langsing dan sintal itu akan terlihat menarik pada saat mereka menari.   Ketertarikan kepada tubuh yang sangat mereka andalkan karena mereka mengganggap bahwa kesuksesan dari menjadi taruhannya. Semua anya diangkap penting karena mereka ingin menampilkan penari yang dapat memukau penonton. Bahkan sejaian yang sangat lengkap seperti kelapa , pisang, beras, gula, ayam dan alat kinang. Sesajian diletakan di kamar penari dan tidak jauh dari penabuh gong.Mahkota atau kuluk memiliki peran penting agar pementasi dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu kuluh tidak boleh terlepas dalam setiap pagelaran.

Sayangnya, panjangnya prosesi dan ritual magis yang dijadikan suatu bagian dari proses pertunjukkan, tidak dapat diterima lagi oleh masyarakat karena penari perempuan yang erotis itu menjadi simbol dari suatu kelemahan perempuan dalam mengambil keuntungan dari erotisme.  Kemampuan magis yang sangat diandalkan itu telah sirna karena masyarkat memiliki stigma negatif terhadap penari perempuan Gandrung yang sering dianggap sebagai penari yang mengambil keuntungan erotis untuk lelaki dan beberapa diantaranya dianggap sebagai pelacur atau selir dari beberapa pejabat.

Globalisasi ikut berperan dalam pergeseran tarian Gandrung

Setelah mengalami penolakan dari masyarakat,  para penari tradisional Tradisionil  Gandrung yang turun temurun itu menjadi terdesak dengan adanya globalisasi dan modernisasi.  Ketika masyarakat dan stakeholder ingin mengubah profil kesenian tradisional itu menjadi kesenian yang dapat diterima dengan keberagaman gender. Meskipun pemainnya lelaki, tetapi mereka juga punya peran penting sebagai pemain.

Sayangnya, hal ini belum bisa dilaksanakan.    Pola kesenian nasional yang namanya masih dengan nama lama "Gandrung" .  Perbedaannya hanya  polarisasi dari kesenian yang lebih modern dengan sentuhan yang melekat pada keinginan wisatawan /penonton.  

Dimulailah babak baru , sejak tahun 2000 seniman dan budayawan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan mengubah pola kesenian Gandrung menjadi kesenian komunitas .  Mereka menggali semua nilai historis dan nilai keberagaman masyarakat Banyuwangi saat ini menjadi tarian kolosal dengan menggunakan nama yang lama Gandrung.   Kesenian gandrung tak berbeda dengan kesenian-kesenian Nusantara yang menampilkan sebuah pertunjukan dalam bentuk tari dan nyanyian.  Kemudian bermetaforsis identitas komunitas Osing, di Banyuwangi.

Secara historis, Komunitas Osing, mempunyai pengalaman sejarah unik, khususnya dalam pergulatan politik kerajaan Mataram Islam (Jawa) dan Buleleng (Bali). Masyarakat Osing selalu menjadi objek penaklukan. Baik untuk kepentingan perluasan wilayah. Mobilisasi massa. Kekuatan ekonomi, maupun berebut pengaruh kultural. Pengalaman-pengalaman historis inilah yang membentuk sistem kebudayaan kolektif masyarakat Osing sampai saat ini

Pertunjukan dibagi dalam tiga sesi . Sesi yang pertama disebut dengan jejer  berlangsung antara 45-60 menit biasanya sesi ini dibuka dengan tarian pembuka bagi tamu dan shohibul hajat.   Setelah itu diikut dengan pakluncing yang artinya pertunjukkan dimulai. Setelah 20 menit berlangsung, maka  musik pun mengalun sendu dan penari mulai melantunkan lagu Padha Nonton. Lagu Padha Nonton merupakan puisi yang menggambarkan perjuangan untuk menggugah dan membangkitkan semangat rakyat Blambangan (Banyuwangi) terhadap segala bentuk penjajahan.

Sesi yang kedua disebut Paju. Paju berarti arena terbuka bagi penonton untuk menari secara berpasangan dengan bernyanyi bersama-sama.   Setelah itu diikut dengan seblang-seblang.

Sesi ketiga adalah seblang-sebelang yang merupakan narasi dan puncak acara dari kesenian Gandrung.

Keberagaman dan Pelestarian Nilai Historis

Keragamanan gender dari pemain/penari kesenian Gandrung yang tidak menolak gender lelaki yang punya keahlian  dalam menari merupakan hal yang penting.   Tidak terpaku  bahwa penari hanya berlaku  untuk gender perempuan saja. Siapa pun dapat ikut menjadi penari. Pelestarian nilai histori juga dapat tetap terjaga sehingga mereka dapat memahami makna dibalik dari Kesenian Gandrung yang ditonton atau disaksikan bersama-sama.

Sebaiknya ada kesadaran dari Pemerintah kota Banyuwangi sedang menggalakkan pariwisata baik secara nasional maupun global atas keberagaman gender. Pemkot Banyuwangi mengenal lebih dalam bahwa asal dari Kesenian Gandrung yang punya nilai historis dan keberagamaan itu  harus menerima keberagaman secara nyata bukan hanya sebagai simbol saja.   Gandrung bukan hanya menjadi ikon atau mascot wisata Banyuwangi.  Kehadiran pemain atau penari dengan berbagai keragaman gender  lebih penting dibandingkan pemasangan patung-patung Gandrung dipamerkan di sudut-sudut desa dan kota Banyuwangi.  Bahkan, Pemerintah kota Banyuwangi juga mempromosikan Gandrung ke kota besar seperti Surabaya, Hongkong dan Amerika Serikat.

Fokus utama keberagaman dan pelestarian kesenian tradisional yang telah ditransformasikan itu harus secara konsisten dibenahi dan dilakukan secara bersama-sama antara masyarakat dan pemerintah. Semua stakeholder ikut  menerima keberagaman gender, terlibat secara langsung, termasuk siswa SMP,SMA, dan mahasiswa/i pun (lelaki maupun perempuan) ikut mendukung dalam pelestarian ini dengan menjadi peserta penari atau penyanyi dari kesenian "Gandrung".

Sumber referensi:

  • Anoegrajekti, Novi. 2007. Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi. Depok : Majalah Srintil edisi 12 2007. Desantara G
  • Gandrung Banyuwangi (Tari Gandrung) :  Artikel Dunia
  • Menengok Kearifan Osing Banyuwangi Dalam Kesenian Gandrung:  Nusantara.NewsCo.
  •  Gandung Banyuwangi:  Wikipedia Indonesia

          

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun