Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kegagalan Mendidik Anak dengan Paradigma yang Salah

27 Juni 2017   21:09 Diperbarui: 28 Juni 2017   10:46 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Sebuah pesan singkat yang memilukan itu masih dipegang dan diremas dalam gengaman tangannya

Ma "Aku ke Surga dulu,  terlalu lelah di sini"

Seandainya kertas putih dengan pesan singkat itu dapat diterima sebelum anak perempuan satu-satunya, Shu Shu itu   bunuh diri dari tingkat 21 suatu apartemen, Lie Yu pasti tidak akan kehilangan anaknya.

Luluh lantak hancur hatinya penuh dengan penyesalan yang mendalam seperti tidak berguna lagi . Matanya menerawang  , melihat apa ke belakang atas peristiwa yang menimpa  putrinya.

Sebagai seorang ibu lulusan undergraduate yang berhasil , Liu Yu  berada di puncak karir di bidang pendidikan di sekolah Business Administration di Dalian University of Tiongkok.  Dia menduduki posisi penting dan strategis sebagai wakil kepala dan pegawai negeri dengan kedudukan yang tinggi .

Begitu pula dengan suaminya,  juga seorang pegawai negeri yang memiliki kedudukan dan posisi yang tinggi.   Keberhasilan suami istri  tidak serta merta menjadi keberhasilan untuk mendidik putri tunggalnya.

Pada tahun 1983 Lie Yu melahiran seorang putri yang dinamakan  Shu-Shu.    Kelahiran anak yang dinantikan itu ternyata bukan merupakan suatu kebahagian bagi keluarga kecil ini . Melainkan suatu kenyataan pahit yang sangat disesalkan karena Shu Shu lahir dengan cacat otak atau yang sering dinamakan retard mental.   Dalam keterbatasan mental itu  Shu Shu  selalu terbelakang perkembangan phisiknya .  Ketika berusia  2 tahun, dia belum bisa berbicara sama sekali.   Pengaruh dari keterbasan mental itu membuat Liu sebagai ibunya sangat kecewa.

Harapan dan mimpi awal saat sebelum melahirkan bahwa anak yang dilahirkan akan lebih sukses dari dirinya maupun suaminya menjadi buyar.  Tapi sekarang Liu tak mau menyerah menghadapi situasi ini.  Dia berusaha keras untuk memaksakan Shu-Shu masuk sekolah dasar.  Semua pelajaran yang tidak bisa dikuasasinya , harus dipaksakan untuk bisa dengan minta guru-guru privat untuk mengajar serta memberikan berbagai suplemen agar otaknya dapat berkembang dan menguasai pelajaran.

Sayangnya, usaha itu tak pernah berhasil. Hasil pelajaran SHu-Shu tidak memuaskan sama sekali.  Angka pelajaran yang diperolehnya Nol dan tidak bisa naik kelas.   Ibunya tak pernah menyerah.  Ditengah kepadatan dan kesibukan kerjanya, dia mencari pembimbing bagi Shu-Shu agar dapat menyelesaikan sekolah di SD. 

Saat masuk SMP da SMA, keadaan yang sama selalu terjadi. Shu-Shu sudah tidak mampu untuk belajar. Dia tak pernah bisa mengikuti pelajaran karena otaknya tak memahami apa yang diajarkan. Tiap kali gagal, ibunya selalu turun tangan .  Dia berusaha mengajar dan selalu berusaha agar anaknya terus maju sampai lulus.

Ketika Shu-SHu menginjak ke perguruan tinggi, tak tanggung-tanggung, ibunya mendaftarkan di universitas terbaik di fakultas ekonomi.  Suami istri ini selalu berusaha agar Shu-Shu dapat mengikuti kuliah.  Kenyataannya  kuliah di semester pertama pun tidak ada yang berhasil sama sekali.

Dalam sebuah diary, Shu-Shu mengungkapkan kesedihannya.  Aku memang tidak pernah berhasil, yang berhasil adalah ibuku.  Aku tidak pintar tetapi yang pintar adalah ibuku.  Kenapa aku dilahirkan menjadi anak tidak pintar dan orangtuaku tidak dapat menerima kenyataan bahwa aku tidak pintar.

Dengan terseok-seok dan tersendat-sendat, Shu-Shu akhirnya menyelesaikan kuliah.  Ketika saat "graduation" biasanya semua orang akan merasa bahagia dan bangga. Tidak dengan Shu-Shu, dia menyelinap dan masuk ke dalam kamarnya dan menuliskan ke dalam diary nya.   "Aku sudah lelah belajar selama 16 tahun, sekarang aku ingin tidak hidup lagi!"

Sayang, Liu tidak berhenti memaksakan anaknya untuk memilih jalan hidup nya sendiri, tapi dia memaksa Shu-Shu bekerja di sebuah firma terkemuka . Pemilik firma adalah  rekan kerjanya untuk menerimanya Shu-Shu.

Saat bekerja Shu-Shu sering mendapat perlakuan bullying dari atasan maupun rekan kerja karena ketidak-mampuan bekerja.  Dia dimarahi oleh atasan dan rekannya karena pekerjaan yang tidak beres.   Tapi Shu-Shu hanya diam dan tertekan hatinya dan tidak bisa berbicara kepada ayah maupun ibunya. Dia tak mampu lagi mengatas rasa stres dan depresi tanpa solusi yang dapat melepaskan dirinya dari belenggu ketidak-mampuannya.  Akhirnya, tak ada jalan lain selain bunuh diri . Dia sudah tak mampu lagi menghadapi hidup yang demikian berat karena tekanan.

Cerita di atas adalah demikian tragis . Bukan suatu hal yang tak mungkin dalam pendidikan atau parenting di budaya Timur yang menganggap bahwa "anak"  harus mengikuti  apa yang diharapkan oleh orangtua.  Harapan itu dalam bentuk pemilihan sekolah (unggulan) dari SD sampai Universitas,  pekerjaan, karir, bahkan sampai kepada jodoh.   

Budaya timur yang mengganggap bahwa anak harus menghormati orangtua itu sering salah kaprah .  Anak diharuskan mengikuti pola pikir dari orangtua.  Pola pikir orangtua dianggap paling benar.  Sedangkan sebagai orangtua diharapkan memiliki ilmu pedagogik, membimbing anak,mendidik anak adalah mampu  memerdekakann atau memandirikan anak untuk memilih sendiri pendidikan , bidang sekolah yang disukainya . Tugas orangtua hanya memberikan fasilitas atau mendukung dari segi finansialnya.

Refleksi bagi semua orangtua, pendidik maupun siapa saja yang bekerja dalam bidang pendidikan bahwa setiap anak adalah unik.   Dia memiliki keunikan dalam bakat, minat, kepandaian, kepribadian yang tidak bisa disamakan dengan teman, orangtua atau dengan siapa pun.  Hargai dan kembangkan apa yang dimiliki anak sesuai dengan kemampuannya.   Tugas orangtua untuk meningkatkan dan memfasilitasi kemampuan kemandirian anak itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun