Dalam beberapa hari ini , ada banyak ucapan  kemenangan , ucapan selamat lebaran disertai dengan permintaan maaf di media sosial.  Seolah permintaan maaf itu sudah suatu template yang mudah ditebak apa isinya.
Kata "maaf" di budaya timur terutama Indonesia, itu sudah mendarah daging.  Jika kita merasa bersalah , selalu secara langsung mengatakan "maaf"  jika kita melakukan kesalahan baik itu secara sengaja atau tidak sengaja.   Sengaja misalnya  kita mengatakan hal-hal yang menyakiti hatinya, "Kamu itu gendut",  "Kamu itu tidak cantik".   Sedangkan  perbuatan yang tidak sengaja apabila kita tiba-tiba datang ke kamar anak tanpa mengetok pintunya, padahal dia sedang tidur.  Contoh yang lain, saat berwisata, kita lupa membawa mainan favorit anak sehingga anak bosan dan selalu menanyakan kenapa mainannya tidak dibawa.
Memaafkan menjadi suatu tradisi budaya timur karena tradisi itu diterapkan dalam agama atau parenting yang mengajarkan untuk  memaafkan orang lain saat kita berbuat salah kepadanya.  Sejak kecil anak sudah diajarkan oleh orangtuanya tanpa pemberian pemahaman tentang maaf.
Sayangnya, sebuah pengajaran tentang apa arti maaf itu kadang-kadang menjadi kabur artinya.  Anak saya pernah bertanya kepada saya, kenapa mamah tidak berbuat kesalahan, selalu bilang "maaf".  Seolah-olah kata "maaf" itu mudah terlontar bagaikan sebuah kamus berjalan yang otomatis ke luar.  Bahkan tanpa makna yang berarti.  Saya bahkan ditegur oleh  kakak saya yang sudah lama tinggal di Belanda.  Apakah saya mengerti dan memahami kata "maaf" setiap kali saya berkata "maaf"?
Terus terang, saya sulit  menjawabnya , seringkali rancu, antara perlu tidaknya  untuk mengatakan maaf.   Sesungguhnya,  saya perlu instropeksi apakah kata "maaf" itu benar-benar tulus keluar dari hati terdalam atau sekedar "lip service" saja.   Saking seringnya jadi tidak bermakna lagi.  Malahan seolah jadi kebiasaan yang gampang sekali digunakan.  Â
Budaya di negara barat justru sebaliknya. Mereka akan menyatakan "maaf" jika mereka merasa benar-benar bersalah terhadap orang lain.  Contohnya  jalan terlalu cepat sehingga menabrak atau menyenggol kita. Ketika kita sedang minum di caf, orang itu menabrak atau menyenggol meja kita sehingga minuman kita jatuh berantakan.
Namun, budaya "maaf "  itu ternyata tidak mudah  dibangun  oleh mereka yang belum memahami apa makna maaf.  Keegoan manusia itu sangat besar.  Untuk minta maaf itu  dianggapnya sebagai kehilangan diri sendiri.
Di suatu video, seorang ayah berbelanja dengan dua putrinya. Â Sang adik itu dengan sengaja mengambil barang belanjaan milik kakaknya dan dijatuhkannya. Â Ayah yang melihat peristiwa itu, segera minta kepada adik untuk minta maaf kepada kakak.
Adik: Â "Saya tidak perlu minta maaf kepadanya!"
Ayah:  "Kamu sudah berbuat salah kepada kakakmu, katakan  maaf kepadanya!"
Adik: Â "Tidak! Â Saya tidak sengaja melakukannya!"
Ayah: Â "Bagimu memang sulit untuk mengatakannya. Tapi kamu harus mengatakan maaf!"
Adik berguling-guling ke lantai karena merasa dipaksa oleh ayah untuk minta maaf kepada kakak.
Kakak menengahi ayahnya: "Saya sudah memaafkan. Dia tak perlu lagi minta maaf!"
Ayah menggeleng-gelangkan kepalanya tanda tidak setuju terhadap apa yang diminta oleh kakak.
Ayah sekali lagi mengatakan kepada adik: "Kamu harus minta maaf kepada kakak karena perbuataan itu sangat salah!"
Suara dan nada yang keras itu membuat adik merasa terpaksa dan menangis untuk akhirnya minta maaf kepada kakaknya.
Belum selesai berbelanja, tiba-tiba seorang ibu muda dengan satu tangan masih memegang telpon dan berbicara, sementara matanya sedang mencari-cari barang untuk dibelinya. Â Tanpa melihat ada anak kecil di depannya, dia menabrak anak itu sehingga anak itu berteriak.
Ayah dengan sopan mendekati perempuan yang masih asyik berbicara dengan HP nya. Â Dia mengatakn dengan perlahan: Â "Maaf saya memotong pembicaraan Anda. Â Anda harus minta maaf kepada anak saya atas perbuatan anda menabraknya!"
Dengan suara tinggi perempuan itu  menjawabnya: "Apa Anda menyuruh saya untuk minta maaf kepada anak Anda? Apa urusannya? "
Lelaki itu segera menjawabnya: Â "Anda sudah melakukan kesalahan dengan menabraknya!"
Perempuan muda : Â "Anda tidak perlu menyuruh saya. Â Saya tidak sengaja karena saya sibuk!"
Bahkan adik kecil yang tadi baru belajar dari ayahnya untuk minta maaf kepada kakaknya , langsung mengajarkan kepada ibu muda: Â "Sulit yach minta maaf kepada orang lain. Saya juga sama. Â Tapi kamu harus minta maaf jika kamu ingin melegakan dirimu!"
Tetapi perempuan itu secepatnya meninggalkan ayah dan anak itu . Â Dia merasa harga dirinya diinjak-injak untuk melakuka permintaan maaf.
Secara umum, maaf untuk kesalahan yang kita perbuat dengan sengaja itu awalnya  sulit . Kesadaran awal apa itu maaf yang tulus harus dari hati yang sangat dalam.  Saya telah melukai atau membuat orang lain terluka.Â
APabila kesadaran dan kemampuan untuk minta maaf tulus itu benar-benar datang dari hati nurani terdalam bukan hanya di bibir saja, maka  penyembuhan luka itu akan membuat orang yang bersalah itu lega dan lepas dari luka.
Kelegaan itu akan menyebuhkan hati yang terluka karena jika tidak maka sebagai orang yang pernah melukai orang lain, kita akan menyembunyikan luka kecil menjadi luka besar. Luka besar itu akan akhirnya menjadi benih-benih kepahitan dalam hidup .
Penyembuhan dalam kepahitan hidup hanya dengan pemberian maaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H