Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[HORORKOPLAK] Di Balik Jendela di Samping Rumahku

7 Januari 2017   14:21 Diperbarui: 7 Januari 2017   16:40 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Jadi bagaimana?” Aku tidak bisa berdiam diri menahan rasa penasaranku. “Setelah itu, ayahku dituntut dan diberhentikan karena dianggap menlanggar peraturan. Rekannya itu rupanya telah menghilangkan bukti-bukti yang ada dan membuat seolah-olah itu perbuatan ayahku sendiri. Terpaksa ayahku dan aku pindah kota dan mencari pekerjaan lain.” Trisha membalikkan tubuhnya dan menghadap wajahku lagi. “Tapi tetap aja, itu hal yang susah.”

“Bagaimana dengan nasib rekan ayahmu? Lalu dia nga-“ Kata-kataku terputus ketika terdengar suara orang yang masuk ke rumah itu. “Siapa itu? Tidak mungkin ayahku, karena suara langkahnya beda,” ujar Trisha. Kami pun keluar dari kamar dan menuruni tangga. Di dekat pintu, seseorang sudah menunggu kehadiran kami. Napasku tertahan karena takut melihat siapa yang datang, dan leherku tercekat ketika melihat bahwa yang datang adalah…Kara. Kara, dengan diselimuti jaket yang menutupi bajunya yang kotor dan belumuran darah. Kara, dengan rambutnya yang biasanya terikat rapi, tapi saat ini digerai berantakan. Kara, yang menatap Trisha dan aku dengan tajam.

“Kenapa kau ada disini, Chloe? Seharusnya kau tidak ada disini.” Suaranya dingin tapi ada amarah di dalamnya. “Terserah dia mau ada dimana saja, Kara. Emangnya kamu bisa mengatur-ngatur dia?” Trisha mendesakku untuk melangkah ke belakang. “Dan kau!! Kenapa kamu ada disana tadi? Dasar brengsek…pengganggu saja, sama seperti ayahmu!” Kara membentak Trisha, matanya berkilat-kilat. Tangan Kara bergetar seperti ingin mengoyak sesuatu. “Ada apa? Kenapa kau sangat sangar dan marah, Kar?” Aku mencoba menanyakan padanya. Tetapi Trishalah yang menjawabku,”Kau tahu, Chloe? Rekan ayahku yang terkena penyakit itu adalah ayahnya,” Trisha menunjuk Kara. “Ayahnyalah yang juga menyebabkan pembunuhan akhir-akhir ini karena efek samping itu semakin parah, membuat ayahnya jadi haus dengan kekerasan, mirip-“

Diam kau! Ini semua salah ayahmu! Seharusnya kau pergi saja jangan pernah kembali-“ Aku menarik napas, dan berteriak kencang. “Sebenarnya apa yang terjadi?! Kara, kenapa kau seperti itu? Ada apa?” tanyaku frustasi. Tetapi Kara tidak menjawabku, dia hanya memalingkan wajahnya. “…Karena tadi dia sebenarnya ada di rumah tua itu. Dia ingin membakar rumah tua, dimana di tempat itu ada data-data percobaan itu yang berhasil ayahku sembunyikan dari ayahnya.” Trisha menatapku. “ Tadi aku melihat dia pergi ke rumahnya untuk mengajak ayahnya pergi ke rumah tua itu. Ketika dia pergi, aku membuntutinya dan melihatnya sedang bersiap-siap untuk membakar rumah itu. Aku mencoba menghentikannya tetapi dia melawanku sehingg kami jadi berkelahi. Akibatnya, aku jadi berdarah-darah, seperti yang kaulihat sebelumnya. Tapi sudah bajuku sudah kuganti tentunya.“  Dan semua itu segera merangkai semua kejadian yang ada. Semua itu menjadi terhubung dan menjadi jelas. “Serahkan bukti-bukti itu, Trisha.” Kara menjulurkan tangannya.

“Tidak akan, dan tidak akan pernah. Aku dan ayahku akan segera memberikan bukti ini untuk menuntut ayahmu dan membersihkan nama ayahku.” Raut wajah Kara berubah. Dia menjadi beringas, giginya dia katupkan. “Kalau begitu, tidak ada cara lain. Aku akan mencarinya sendiri,” Kara menerobos masuk, tetapi ditahan oleh Trisha. “Chloe, cepat ke kamarku, ambil map hitam yang ada di rak mejaku dan bawa ke kantor polisi!” Trisha berteriak sambil memegangi pintunya yang didorong kuat oleh Kara. Dengan panik, aku segera berlari menaiki tangga, mengambil map itu, dan membawanya lari dengan keluar melalui pintu  belakang. Kalau aku menelepon polisi di rumahku, pasti Kara masih bisa mengejarku ke dalam rumah dan membuat kekacauan. Apalagi orangtuaku sedang pergi lagi, dan blok di rumahku ini sangat sepi. Kalau pun aku berteriak, tak akan ada yang mendengarku…Sial, bagaimana ini?

Otakku berputar mencari jalan sementara aku membuka pintu rumahku dengan kunci.  Mungkin ada barang yang bisa kugunakan untuk memukul Kara supaya dia tidak sadar sampai polisi tiba disini, pikirku. Aku melangkah masuk ke dalam dapur, tetapi ada tangan yang mencengkramku dengan erat dan membantingku ke lantai. Kepalaku terasa sangat nyeri, mataku berdenyut-denyut sehingga aku tidak bisa melihat jelas. “ Serahkan amplop itu Chloe, aku hanya mau mengambil itu saja.” Suara Kara terdengar keras, dia mengucapkannya sangat dekat dengan wajahku sambil menahan tubuhku dengan tubuhnya, dan memegangi kedua tanganku. “Ayolah Chloe, masa kau percaya dengan ucapan anak itu? Dia itu sinting, kata-katanya itu hanya bualan aja. Ayahnyalah yang menyebabkan itu semua, dia yang mencelakakan ayahku dan aku.” Sambil terengah-engah, aku melihat wajah Kara. Matanya merah, warnanya seperti coklat yang bercampur merah darah, mengingatkanku dengan gaun marun yang diberikannya padaku.

Aku meronta-ronta, mencoba menyingkirkan badannya dariku tetapi gagal. Kara semakin menekan tubuhku dan mencengkram kedua tanganku sampai rasanya kedua tangan itu mati rasa. “Kalau itu benar, kenapa kau melakukan ini, Kar? Kenapa kau memaksa Trisha dan menyakiti dia dan aku?” Kara mengurangi cengkramannya tetapi lalu menguatkannya lagi. “Aku tidak bermaksud begini. Ini kulakukan karena tidak ada jalan lain, karena kau sudah dipengaruhi dia!” Dia berteriak. “Kau pasti tidak mendengarkanku. Aku sendiri tidak ingin melakukan ini, Chloe.” Aku menggeleng. “Dimana Trisha? Apa yang kaulakukan padanya?” tanyaku pahit. “Aku hanya memukulnya supaya dia tidak mengejar dan menghalangiku,” jawabnya cepat. Bohong. Bohong. Hanya itu yang terpikirku saat aku melihat noda darah yang sebelumnya tak ada di jaketnya, dan bau darah yang masih segar.

Kara merapatkan tubuhnya padaku. Berat tubuhnya menahanku sampai menempel pada lantai. Dia mendekatkan wajahnya padaku sampai aku bisa merasakan napasnya. “Nah, serahkan amplop itu, Chloe. Amplop itu hanya berisi kebohongan, tidak perlu kau simpan. Berikan padaku.” Kata-kata Kara pelan hampir seperti bisikan. “Kau mendekati dan berbuat baik padaku karena aku tinggal di dekat rumah Trisha, kan?” Mata Kara membelalak. “Apa maksudmu, Chloe? Jangan meracau.” Namun, Kara tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Aku tertawa pahit. Semuanya sudah menjadi jelas, jelas bagaikan kristal.

“Waktu hari pertama di sekolah, kau langsung mendatangiku, mengajakku ngobrol dan menemaniku kemana-mana. Kemudian kau selalu ada di sampingku, meminjamkanku barang-barang yang tidak kubawa, memberikan contekan pr, melindungiku saat aku akan dimarahi guru-meski itu salahku juga-, melindungi dan menghajar para anggota geng Misha ketika mereka mem-bullying-ku, dan masih banyak lagi.” Aku menarik napas panjang dan menatap wajah Kara yang seperti tidak mempercayaiku. “Sebenarnya, kau hanya mau mendekatiku supaya aku mempercayaimu kan? Karena kau tahu aku tinggal di samping rumah Trisha yang tentu sudah sering kau pantau. Kau takut ketika Trisha dan ayahnya kembali lagi…,” aku mendekatkan mukaku padanya, suaraku makin keras. “…mereka akan membeberkan rahasiamu dan ayahmu. Dan tentu Trisha akan menceritakannya padaku, tetangganya yang paling dekat. Dan karena itulah kau sudah mempersiapkannya baik-baik, kau bergaul dengan siapa saja, ikut segala aktivitas, membantu semua kegiatan agar kau dekat dengan semua orang dan bisa mempengaruhi mereka. Sehingga saat Trisha nanti menceritakan kebenarannya, kau akan mempengaruhi semua orang agar tidak percaya dengannya.”

“Jangan meracau, Chloe. Pasti pikiranmu masih kacau, apa pula hubungannya itu dengan semua ini?” suara Kara bergetar, ekspresinya seperti campuran antara kaget, tak percaya, dan ada ketakutan di matanya. Tangannya semakin erat memegangiku. “Lebih baik kau berikan amplop itu padaku, oke? Setelah ini, semuanya akan jadi normal lagi dan-“ ”Tidak ada yang jadi baik-baik lagi setelah ini, Kara.” Aku pun menikamnya dengan pisau yang kubawa dalam saku jeansku, menekan tubuhnya dan menusuknya sampai Kara terjatuh ke lantai. Kara menggelepar di lantai kayu, mengerang kesakitan sambil berusaha mencabut pisau yang kutikamkan di perutnya. Matanya naik dan memandangiku yang sudah berdiri. “Chloe…apa yang kaulakukan? Ce..cepat cabut pisau ini…” Suaranya pelan dan bergetar. “Tidak akan.” Kujawab permintaannya sambil memukul kepalanya dengan pemukul baseball yang ada di samping kulkas. Darah mengucur perlahan dari kepala dan tubuh Kara, menetes dan membuat tubuhnya yang pucat seperti boneka yang rusak dan tergeletak di genangan cat merah.

Dua minggu setelahnya…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun