Aku melangkah masuk ke dalam dapur, tetapi ada tangan yang mencengkramku dengan erat dan membantingku ke lantai. Kepalaku terasa sangat nyeri, mataku berdenyut-denyut sehingga aku tidak bisa melihat jelas…
Beberapa hari lalu…
“ Chloe, coba maju ke sini. Bajumu belum rapi tuh,” Aku menoleh ke arahnya. Sambil mengernyitkan dahi, aku pun maju ke depannya. “Kara, aku udah bilang berkali-kali, bajunya nggak usah dirapiin lagi. Sudah enam kali kamu merapikannya, kecuali kalo kamu mau merombak baju ini lagi, lebih baik aku tanggalkan saja…,” Dress-ku ditariknya dengan keras. “Jangan begitu ah, aku lakuin ini buat kamu, bukannya berterima kasih malah marah. Gimana sih kamu,” dia menyibakkan rambutnya yang panjang dan mengehela napas. Aku hanya mengangkat bahu lalu duduk di kursi kayu di sebelahnya.
Kara mengembalikan baju-baju itu ke lemari. Ruangan itu terasa hangat, mungkin karena ukurannya yang kecil dan penuh dengan rak dan lemari tua milik aku dan orang tuaku. Ada banyak barang antik dan tua disini, juga baju-baju formal yang kupakai untuk acara tertentu. “Kamu kok nggak semangat banget buat acara ini. Antusias sedikit kek, ini kan pesta prom, acara terakhir kita di SMP.” Aku melirik Kara yang sudah kembali duduk dan membaca majalah di sofa di sebelahku. “Bukannya aku nggak suka, tapi aku males kalo harus ikut acara yang ribet-ribet. Harus bawa aksesoris inilah, harus pakai baju warna itulah, ugh…harusnya acara prom itu buat senang-senang aja.”
“Ya nggak apa-apalah, toh kan itu cuma buat lucu-lucuan aja. Supaya acaranya tambah seru.” Kara tersenyum simpul sambil membaca majalahnya. “Eh Kar, kamu penasaran nggak dengan kejadian akhir-akhir ini?” “Kejadian apa? Kejadian Sam nggak sengaja makan cacing yang diselipkan Keith? Kejadian Rachel menumpahkan sirop ke bu Marcel?” “Bukan, bukan,” Aku memotongnya. “Kejadian pembunuhan akhir-akhir ini.” Kara terdiam sejenak, tetapi tetap membaca majalahnya.
“Emang sekarang orang-orang lagi menyelidikinya kan. Lagi dicari polisi. Aku sih nggak tahu apa-apa…” Aku maju mendekatkan kursiku ke arahnya. Suaraku makin mengeras. “Tapi kamu nggak ingin tahu? Pembunuhannya terjadi acak, orang-orangnya tidak ada sangkut pautnya, dan anehnya korban mati dengan cara ‘yang tidak wajar’, yang- “ “ –tidak disebutkan dengan detail oleh polisi dan berita, seolah-olah ditutup-tutupi kan?” Kara menutup majalahnya, matanya melotot padaku. “Entah sudah keberapa kali kamu mengulang-ulang hal itu, Chloe.” Aku mendengus. “Biar aja, habisnya aku bosan…kelihatannya itu jauuuh lebih menarik daripada prom ini.” Aku merentangkan lenganku yang terasa pegal. Kali ini, giliran Kara yang mendengus. “Lalu? Kamu mau menginvestigasi kasus itu? Gila aja kau.”
Tiba-tiba suara lagu Let Me Be mengalun di ruangan itu. Kara pun mengangkat ponselnya. Setelah berbicara, dia lalu mengatakan padaku kalau dia harus pulang karena sudah sore. Matahari mulai membenamkan diri di antara lautan awan yang terlihat seperti kapas-kapas oranye. Sesekali terlihat kawanan burung berterbangan menyusuri langit. Aku duduk di pinggir jendela ruangan itu. Kadang-kadang aku suka menghabiskan waktu membaca di kamar loteng itu dan memotret dari jendelanya. Rasanya seperti fotografer.
Tiba-tiba aku melihat ada sosok di balik jendela rumah di sebelahku. Aneh, bukannya rumah di sebelah kiri rumahku itu kosong? Setahuku, rumah itu tidak berpenghuni, kotor, dan terlantar. Aku menggunakan scopelensa kameraku untuk melihat lebih dekat jendela itu. Tidak terlihat apa-apa. Aku menunggu, dan membesarkan perbesaran scope itu. Ayo, sedikit lagi, sedikit lagi, sedikiiitt….Dan BAM! Tampaklah wajah seorang gadis berkulit pucat dengan mata kecoklatan. Gadis itu memutar badannya…dan melihat ke arahku.
Astaga. Aku langsung mendekap kameraku dan merunduk di bawah jendela. Aku pasti kelihatan aneh sekali, mengamati orang dengan kamera di loteng seperti ini. Bahkan gadis itu bisa saja mengira aku semacam pengintip atau penguntit. Argh, kenapa aku tidak langsung bersembunyi saja tadi. Namun, rasa penasaran dengan orang itu masih melingkupiku dan aku tidak bisa menahan diri untuk melihat sekali lagi gadis itu. Aku pun meletakkan kameraku dan mengangkat kepalaku perlahan-lahan ke jendela itu. Akan tetapi, si gadis itu sudah menghilang.
Dengan kecewa aku menuruni tangga dan kembali ke kamarku. Mungkin besok aku bisa mengamati jendela itu lagi, dan bisa melihat sosok gadis misterius itu. Keesokannya, sekolah berjalan dengan normal walau ada sedikit kehebohan menjelang perayaan wisuda murid SMP dan pesta prom. Tapi pikiranku sepanjang hari tersita dengan ‘penampakan’ kemarin. Sosok gadis itu terus menyelimuti otakku. Ketika bel berdering, aku segera cepat-cepat berjalan untuk bisa pulang dan melanjutkan pengamatanku. “Hei, Chlooeeeee! Congkak benar kau! Dipanggil-panggil nggak jawab.” Kara menepuk, atau lebih tepatnya, menghajar pundakku.
“Apa tante?” Tanyaku cuek. Kara mengejarku di antara kerumunan orang yang keluar dari gerbang sekolah. “Iihh, udah congkak, judes pula!” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Hari ini kamu sibuk nggak? Mungkin kita bisa bantu-bantu panitia prom,” katanya. Aku pun menolaknya dengan alasan capek dan males. Dia menyahut, “ Ya sayang banget, aku sebenarnya ingin ikut, tapi nggak bisa.” Kami pun berjalan di jalan kecil yang menuju ke perumahan tempat kami tinggal. Letak sekolah tidak jauh dari rumah kami, posisinya berada di dekat pusat kota, di antara toko-toko kecil dan restauran. Tetapi, rumahku terletak cukup jauh dibandingkan yang lainnya karena berada di ujung kompleks rumah sehingga di sekitar rumahku sangat sepi. “Emangnya kenapa kamu nggak bisa?” Aku bertanya tanpa melihat wajahnya. “Ayahku baru pulang dari dinas kerjanya, jadi aku mau membuat persiapan untuk kedatangannya. Pasti dia senang.” Mata Kara berbinar-binar. Ayah Kara memang sangat sibuk, dia sering ditugaskan ke luar kota sehingga jarang berkumpul dengan keluarganya.