Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"[LOMBAPK]": Toleransi dengan Tetangga yang Berisik

7 Januari 2017   11:10 Diperbarui: 7 Januari 2017   13:01 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah sangat seringkali aku mendengar nasehat orangtua dan teman-temanku yang bekerja meninggalkan keluarga dan anak-anaknya di rumah,  “Kamu yach mesti  baik-baik saja dengan tetangga.  Tetangga itu bagaikan pengganti saudara sendiri.  Saudara sendiri khan tempat tinggalnya jauh dari kamu.  Nanti kalau ada apa-apa, yach tetanggalah yang menolong kamu”.

Ucapan itu tadinya hanya kuanggap masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.  Bagaikan angin lalu saja karena emang nasehat  itu selalu baik, tapi susah banget khan jalaninnya.   Dalam hati seringkali suka ngomong sendiri, “Emang sich benar nasehat itu tapi  kalau ketemu tetangganya baik yach enak, sebaliknya  kalo ketemu tetangga yang suka ngurusin orang lain atau suka berisik , repot banget khan”.

Menempati di sebuah perumahan non kluster,  termasuk yang paling awal karena ternyata tetangga kanan-kiriku itu selalu ganti-ganti .   Tetangga yang tinggal di sebelah kanan saya adalah tetangga yang paling lama bersamaku.   Masuk dan menempati rumah itu hampir bersamaan  waktunya.   Istrinya seorang dokter, dan suaminya seorang PNS .  Setiap pagi dokter Rita (bukan nama sebenarnya)  pergi ke rumah sakit. Mereka berdua bekerja dan hampir seharian tidak ada di rumah.   Aku dan suami bekerja di luar rumah dan meninggalkan rumah kepada seorang ibu yang merawat anak saya dan seorang pembantu yang hanya membantu pekerjaan rumah tangga seperti cuci, setrika dan membersihkan.   

Ketemuan dengan tetangga di sebelah kanan hampir nyaris jarang sekali. Hanya di hari Sabtu/Minggu ketika kami libur.   Saya sangat terbantu ketika malam hari ketika anak tiba-tiba sakit panas, aku panik karena besok pagi harus bekerja, jika harus menunggu besok, pagi-pagi harus berangkat kerja dan panasnya anak itu tak bisa dibiarkan .   Terpaksa ketika pintu rumah tetangga sudah tertutup rapat karena prakteknya sudah tutup, aku ketok-ketok pintu.     Tidak menelpon duluan karena sudah keburu panik duluan.  

Beruntung yang bukakan pintu dokter Rita.  “Ada apa?   Kok adik pucat sekali (sambil melihat wajah anak saya yang sangat kemerah-merahan karena menahan panasnya badan)”.    “Ini  Helsa (anak saya), sakit panas”.     “Ayo, masuk ke dalam!”   Diantarnya kami ke ruang praktek putih bersih dan agak sempit.   Selesai itu, kami bingung juga malam-malam harus ke apotik.    Dokter Rita  pun memberikan nasehat untuk menelpon apotik 24 jam yang siap menerima resep dengan fax dan mengantarnya.      Wah ini adalah mujizat dan pertolongan dari Tuhan yang saya rasakan sangat berterima kasih.

Dokter Rita dan suaminya adalah pemeluk agama Islam, saya dan suami pemeluk agama Nasrani.  Tapi bertahun-tahun, kami bertetangga rukun banget tanpa gesekan dan ngga pernah saling  mengejek atau melerai jika ada hal-hal yang tidak berkenan. Saling minta izin jika ingin merenovasi rumah atau mendatangkan perabotan.  

Saat dokter Rita mengadakan sunatan anaknya , kami pun diundang untuk datang.   Tentunya saya tak datang saat pengajian karena saya tak bisa mengikuti doanya.  Namun, selesai pengajian, saya datang untuk ikut memberikan selamat kepada anak dan keluarga dokter Rita.

Sayangnya , tetangga yang baik itu harus pindah ke tempat lain karena mereka memiliki rumah yang lebih besar untuk praktek sekaligus ruang kamar untuk anak-anaknya bertumbuh besar. 

Kehilangan banget karena kami sudah seperti keluarga sendiri.  Mengantarnya waktu pindahan, dan ikut selamatan di rumahnya yang baru.

Masuklah tetangga baru sebagai penggantinya.    Saya sebagai orang yang lama, suka merasa “sok” nich karena penginnya tetangga baru yang memperkenalkan diri bukan kami yang lama.

Tapi keinginan itu tak kunjung datang. Seolah-olah tetangga baru yang merupakan keluarga muda dengan dua balita yang masih kecil itu merasa tak memerlukan kami sebagai tetangga.  

Melihat gelagat dan sikap tetangga yang satu ini, saya pun pura-pura tak mau bersentuhan karena menganggap aku tak butuh juga berteman dengan orang yang cuek.

Belum berselang lama menempati rumah itu, tiba-tiba  ada suara gedoran palu di tembok kami . Suaranya keras dan tak berhenti-henti bertalu-talu. Terpaksa menengok ke tembok sebelah.  Ternyata tetangga kami itu sedang membongkar kamar mandinya.    Tak merasa mengganggu kami, suami istri itu tak pernah menyapa atau minta izin atas gangguan itu.

Sambil menutup telinga kami dengan kapas untuk mengurangi suara bising dari gedoran tembok, kami setiap hari berharap terus pekerjaan itu cepat selesai.  Sedih, cape, tapi ngga bisa marah.  Pengin marah kepada tetangga....tapi emosi masih menang...."jangan marah...sabar...sabar!".

Begitu selesai,  saya sudah merasa lega.   Ternyata bukan lega, minggu yang cerah itu kami kaget karena pagi-pagi hari ketika kami akan berangkat beribadah,  suara melengking dari loud speaker lagu-lagu religi Islami.    Ada sejumlah kursi-kursi dan tenda yang dipasang di samping rumah dan hampir melewati rumah saya. 

Dalam hati ada apa pagi-pagi kok ada suara ribut dan ngga ada pemberitahuan mau ada acara apa nich tetangga sebelah.

Usut punya usut ternyata  akan ada sunatan anak terbesarnya.    Ketika saya mau masuk dalam mobil, tiba-tiba seorang bapak muda menghampiri saya.   “Bu,   maaf ini terlambat mau menyampaikan undangan.  Nanti siang datang yach Bu, makan siang di sini.  Ada sunatan anak saya”, katanya.   

“O, maaf kami juga ada acara”, jawab saya.     Tumben amat saya pikir saya diundang.  Apa dia merasa tidak enak karena kami kebetulan ke luar rumah.  Jika tidak ke luar, mungkin kami tidak diundang. Tanpa berprasangka buruk, saya pun tak mau ambil pusing”.

Waktu berjalan sangat cepat.   Hampir setahun pun saya belum mengenal ibu tetangga saya ini.   Tapi suatu saat, tiba-tiba saya merasa ada yang aneh dengan rumah yang selalu tertutup rapat dalam beberapa hari .  Seperti tanpa kehidupan yang berarti.   Rumah itu sunyi senyap tanpa penghuni.     Saya  bertanya kepada Pak RT kemana penghuni tetangga saya.   Rupanya saya merasa kehilangan tetangga yang berisik ini.    Orang sering bilang “Benci tapi rindu”. Meledek diri sendiri "Ngrasa kehilangan juga nich ?".

Saya kaget dapat berita dari pak RT bahwa Ibu  dari ibu Sri ( tetangga saya) ini sedang berduka.  Ibunya  meninggal karena kena bacok perampok yang masuk ke dalam rumahnya (rumahnya di tempat lain).  Kaget dan sedih juga saya mendengar apa yang sedang terjadi dengan keluarga muda ini.

Saya mencoba datang ke rumah keluarga ini untuk menyatakan bela sungkawa.  Tapi pintu tertutup rapat dan mereka yang ada di dalam seolah-olah hidup dalam ketakutan.    Saya pikir memang belum waktunya untuk menyatakan duka  karena mereka masih dalam ketakutan yang sangat akibat kehilangan ibunya.

Hampir setahun  perubahan terjadi.   Tetangga yang istrinya masih hidup dalam goncangan jiwa itu, masih diam saja jika saya bertemu dan mencoba senyum kepadanya. Matanya masih menunjukkan kecurigaan menatap saya seolah seperti orang asing.    Hanya suaminya, telah berubah 180 derajat.   Dia selalu tersenyum dan menganggukkan kepala jika bertemu dengan saya. 

Sangat senang dong sudah punya tetangga yang ngga stres dan mengerti cara hidup rukun dengan tetangganya.

Inilah sekelumit hidup bertetangga, menjaga dan memelihara toleransi, perbedaan yang majemuk itu sulit tapi merasakan indahnya kebersamaan saat kami rukun dan bertoleransi tinggi satu sama lain.

planet-kenthir-logo-1-575a6b2a8223bda205866aa9-587069f84f97735d12ec5d67.jpg
planet-kenthir-logo-1-575a6b2a8223bda205866aa9-587069f84f97735d12ec5d67.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun