Mohon tunggu...
Idris Egi
Idris Egi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fishum I.kom 11730073

Selanjutnya

Tutup

Politik

Krisis dan Peluang Mahasiswa

12 Januari 2015   00:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:21 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Termasuk saya, tentu setiap mahasiswa mempunyai cita-cita setelah mereka keluar dari bangku kuliah. Selain cita-cita, mereka memiliki tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat dan negarannya. Terlepas mereka akan pulang ke desa, menetap di luar desa atau bahkan ke luar negeri, cita-cita dan tanggung jawabnya ingin sekali direalisasikan. Ada yang ingin membangun desanya, berprofesi menjadi politisi, atau bahkan menjadi ahli di luar negeri. Di sinilah mahasiswa memiliki relasi kuat dengan kehidupan sekitarnya. Juga sebenarnya, tidak hanya mahasiswa yang memiliki cita-cita dan tanggung jawab, tapi juga sebaliknya, desa, masyarakat juga negaralah yang membutuhkan kehadiran serta peran mahasiswa demi melanjutkan pembangunan bangsa Indonesia.

Tidak bermaksud melebih-lebihkan posisi mahasiswa di tengah desa, masyarakat dan negara, mahasiswa pada hakikatnya sangat dibutuhkan. Harapan itulah yang seharusnya tidak boleh diremehkan oleh mahasiswa. Mahasiswa seharusnya menata skill yang dimilikinya untuk memenuhi harapan tersebut.

Di tengah-tengah harapan itu pula, cobaan serta ujian silih berganti menghampiri mahasiswa. Mulai dari penggunaan obat-obatan terlarang, terlibat dalam gerakan Islam fundamentalis, bahkan menjadi ‘selir’ politisi. Mungkin bagi saya yang paling parah adalah mahasiswa yang terlibat aktif dalam politik praksis. Kita bisa melihat dengan kasat mata, bagaimana ruang serta fasilitas kampus ‘disewakan’ kepada para politisi untuk berkampanye, menghegemoni, dan mengajak memilih calon tertentu.

Peristiwa di atas tentu bukan sesuatu hal yang baru bagi mahasiswa, Soe Hok Gie dalam buku memoarnya Catatan Sang Demonstran telah mengisahkan begitu hina tentang keadaan dan sikap pragmatisme mahasiswa waktu Indonesia mengalami masa transisi. Soe Hok Gie melihat kawan-kawannya yang dulu idealis ikut menentang pemerintahan otoritarian, justru pada akhirnya tunduk pada sebuah rezim baru yang sama-sama otoritarian.

Artinya, mahasiswa semacam mangalami candu terhadap politik praksis. Di satu sisi, sebagai seorang intelektual mahasiswa memang memiliki tanggung jawab untuk menyadarakan masyarakat akan politik, sebagaimana Shils mengatakan bahwa politik dan mahasiswa sangat berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Tapi haruskah terlibat dalam politik yang serba pragmatis, orientasinya adalah kekuasaan belaka?

Benarlah kesimpulan Julien Benda yang mengatakan bahwa tak sedikit intelektual melakukan pengkhianatan. Julien Benda yang dikutip oleh Edward W. Said (2014) dengan tegas mengatakan bahwa mereka—para intelektual yang berkhianat—adalah intelektual yang dijadikan pembantu oleh para penguasa. Kalangan yang bisa dipanggil bukan untuk memimpin, tetapi untuk memantapkan kebijakan pemerintah menyuarakan propaganda melawan musuh pemerintah, memarakkan eufemisme dan pada skala lebih besar membumikan sistem Owellian Newspeak, yang dapat menyesatkan kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam nama ‘kepentingan nasional’ atau ‘kehormatan bangsa’.

Kecaman keras Benda di atas bukan tidak menemukan relevansinya di ruang kampus kita, melainkan sangat membanjir dan dengan kasat mata kita bisa melihatnya. Momentum pemilihan presiden kemarin merupakan fakta nyata di mana mahasiswa telah melakukan pengkhiatan. Bahkan dengan sangat licik, meraka menformatnya menjadi sebuah seminar dengan iming-iming agar mahasiswa tidak buta akan politik. Tapi pada kenyataannya, mereka mencoba membumikan visi-misi dengan cara hegemonik, dibungkusnya atas nama ‘kepentingan nasional’ dan ‘kehormatan bangsa’.

Peristiwa yang demikian tidak hanya godaan atau ujian terhadap mahasiswa, melainkan sebuah krisis mahasiswa. Mahasiswa yang demikian selain telah menghacurkan cita-cita dan tanggung jawabnya serta harapan desa, masyarakat, dan negara terhadap mahaiswa, juga dengan sengaja menggadaikan idealismenya sebagai mahasiswa, sebagai seorang intelektual—meminjam bahasanya Antonio Gramsci sebagai intelektual organik.

Peluang

Dengan keadaan mahasiswa yang demikian—menjadi pengkhianat sebagai intelektual serta pembantu penguasa---maka perlu adanya refleksi terhadap diri mahasiswa. Refleksi diri tentu tidak hanya berkontemplasi dengan keadaan masa lalu yang buram sehingga frustasi dan tidak melakukan sesuatu yang berguna bagi pembangunan desa, masyarakat dan negara. Melainkan, mahasiswa harus mampu menangkap peluang di masa depan dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Di tahun 2015 setidaknya ada dua peluang mahasiswa memperbaiki diri, menjalankan peran intelektualnya dalam pengetian Gramscian. Pertama adalah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Kedua adalah kebijakan pemerintah dalam pembangunan desa. Mahasiswa harus benar-benar mengambil peluang ini dengan kesadaran penuh untuk membangun bangsa Indonesia yang lebih maju dan bermartabat. Bukan karena kepentingan pribadi atau kedekatan dengan pembuat kebijakan.

Mahasiswa sebagai seorang intelektual inilah menurut Edward W. Said harus mampu merepresentasikan, mengekspresikan, dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi, dan pendapatnya kepada publik. Dan peran ini ada batasnya serta tak dapat dimainkan tanpa rasa sebagai seseorang yang melontarkannya kepada publik guna membangkitkan pertanyaan menghadapi ortodoksi dan dogma (bukannnya menghasilkannya), menjadi seseorang yang tak gampangan dikooptasi pemerintah atau korporasi. Dan alasan mengadanya (raison d’etre) adalah untuk mewakili semua orang dan isu yang secara rutin dilupakan atau disembunyikan (Peran Inteletual, 2014).

Dengan melakukan—seperti pendapat Edward W. Said di atas—mahasiswa akan mampu menggapai cita-cita dan tanggung jawabnya serta harapan publik terhadap mahasiswa. Yang pada akhirnya, mahasiswa akan mendapatkan kepercayaan dari publik sebagai modal sosial untuk membangun bangsa Indonesia ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun