Namun yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut adalah dengan adanya rekonsiliasi, apakah partai pendukung 02 perlu berkoalisi dengan partai pendukung 01 atau tetap beroposisi? Hal itu bisa dilihat dari sikap dari partai pendukung 02 yang tidak senada dan sejalan dalam hal  rekonsiliasi.Â
PAN dan Demokrat telah jelas menyerukan suatu rekonsiliasi sedangkan PKS masih dalam sikap abu-abu yang mengiyakan perlu adanya suatu rekonsiliasi tetapi juga tidak dalam kondisi untuk mendorong hal itu terjadi. Lalu bagaimana dengan Gerindra? Gerindra sendiri lewat Pak Fadli Zon yang menyatakan bahwa tidak perlu adanya suatu rekonsiliasi karena rekonsiliasi sendiri akan mempertajam polarisasi dalam masyarakat.
Perbedaan sikap ini juga harus dipandang secara balik layar yakni rekonsiliasi dengan kemungkinan tawaran kursi  atau tidak? Bukan soal kursi di jajaran kabinet saja tetapi bisa lebih dari itu yakni pembagian kursi pimpinan DPR, MPR, dan komisi-komisi maupun badan yang ada di DPR itu sendiri. Oleh karena itu, rekonsiliasi yang terjadi bisa berujung pada suatu koalisi baik di eksekutif maupun di legislatif itu sendiri atau bahkan sepenuhnya oposisi.
Patut diketahui bahwa meskipun beroposisi sesungguhnya pembagian pimpinan komisi dan badan di DPR tetap harus tunduk pada UU MD3 sehingga pada akhirnya partai manapun akan mendapatkan jatahnya sebagai pimpinan komisi dan badan dalam DPR. Akan tetapi berbeda dengan kursi di eksekutif karena orang-orang dalam kabinet Indonesia Kerja jilid II sepenuhnya adalah hak preogratif dari Presiden Jokowi. Â
PAN sendiri pernah di awal masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla menjadi oposisi yang kemudian berkoalisi sehingga tidak heran apabila saat ini PAN sedang bermain maneuver yang serupa. Inkonsistenan PAN juga sebenarnya telah terlihat sejak awal Pemilu 2019 yang tidak memberikan sanksi bagi kadernya yang mendukung pasangan 01.Â
Namun di lain pihak, keinginan PAN untuk bergabung dengan pemerintahan Presiden Jokowi masih terhambat oleh manuver loyalis Amien Rais di internal PAN itu sendiri. Dari berbagai macam manuver yang dilakoni oleh PAN sebenarnya menunjukkan bahwa peluang PAN kembali bergabung dengan pemerintah Presiden Jokowi tetap terbuka.
Sama halnya dengan partai Demokrat yang menyatakan bahwa diri mereka bersifat netral dalam Pilpres 2014 sedangkan pada Pemilu 2019 ini, Demokrat menjadi salah satu partai pengusung pasangan 02. Namun sebenarnya keseriusan Demokrat sebagai partai pengusung pasangan 02 patut dipertanyakan karena beberapa elite Demokrat yang secara terang-terangan mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyudutkan pasangan 02.Â
Di sisil lain, manuver Agus Yuhoyono dengan beberapa tokoh nasional. Seperti pertemuan Agus Yudhoyono dengan Presiden Jokowi pasca hitung cepat Pemilu 2019 maupun kunjungan Agus dan Ibas ke kediaman Presiden Megawati Soekarnoputri pada saat idul fitri, kedua pertemuan dapat dibaca sebagai manuver politik. Manuver yang dilakukan oleh Demokrat baik sebelum dan sesudah Pemilu 2019 memperlihatkan bahwa Demokrat membuka diri untuk bergabung dengan pemerintahan Presiden Jokowi.
Tingkat probabilitas PKS dan Gerindra menjadi oposisi lebih besar ketimbang bergabung dengan Pemerintah karena kedua partai sejak awal periode Presiden Jokowi secara berkelanjutan menentang dan mengkritisi kepemimpinan Presiden Jokowi.Â
Bukan tidak mungkin, PKS dan Gerindra pun ikut diajak untuk bergabung dengan Pemerintah karena seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristianto "tidak ada oposisi dalam demokrasi Indonesia". Namun ajakan tersebut sebaiknya ditimbang lebih seksama karena demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang berimbang yakni demokrasi dengan dua suara, suara pemerintah dan suara oposisi.
PKS telah bersikap dengan tidak bergabung dengan pemerintah karena ingin memosisikan diri sebagai oposisi yang konstruktif bagi pemerintahan. Berbeda dengan Gerindra, yang sampai saat ini tidak secara terang menyatakan penolakan akan tawaran untuk bergabung bersama pemerintah.