Kajian tentang anak merupakan hal penting dan menarik yang tidak pernah akan kehilangan makna, selalu menjadi kebutuhan, selama kehidupan masih eksis. Anak merupakan eksistensi kehidupan, secara individu bagi kepentingan sebuah keluarga, maupun secara universal bagi kepentingan kelestarian umat di muka bumi (Djuwita, 2011).
Hal yang berkaitan dengan anak akan selalu menarik untuk dibahas, utamanya adalah tentang fase di mana anak mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Terdapat berbagai fase yang menjadi acuan dalam perkembangan anak. Selain itu, perkembangan anak mencakup berbagai aspek, yakni aspek sosial, kognitif, dan juga afektif. Salah satu fase penting dalam pemerolehan bahasa yang berkaitan erat dengan pembelajaran bahasa adalah fase imitasi. Pada fase imitasi, anak-anak akan meniru orang-orang di sekitarnya untuk berbicara. Dalam fase inilah anak-anak mengasah keterampilan mereka dalam bercerita (Kushartanti, 2007).
Cerita, mendengarkan cerita, dan bercerita adalah aspek yang sangat penting dalam pemerolehan bahasa. Keakraban anak pada bentuk-bentuk cerita merupakan nilai penting dalam proses pemerolehan bahasa. Pengalaman anak yang diperoleh dengan mendengarkan cerita dapat memperkaya perbendaharaan kata. Selain itu, anak juga memperoleh pengetahuan mengenai ragam bahasa, dalam hal ini ada ragam formal yang biasanya terdapat dalam bahasa tulis, dan ragam informal dalam bahasa lisan. Keterampilan bercerita, seperti menyampaikan informasi faktual secara jelas, merupakan keterampilan yang tidak diperoleh dengan sendirinya. Keterampilan ini menjadi bagian dari pembelajaran bahasa oleh guru (Kushartanti, 2007).
Bercerita menjadi sangat penting dalam proses pemerolehan bahasa karena melalui bercerita anak-anak dapat mengolah kembali semua bentuk pengalaman mereka dalam bahasa. Melatih anak untuk bercerita berarti melatih mereka untuk berani berbicara di depan orang lain. Dengan bercerita, anak-anak juga belajar menyesuaikan persepsinya dengan persepsi orang lain. Pada saat yang sama, anak-anak lain berlatih untuk menyimak cerita (Kushartanti, 2007). Dengan cara inilah, selain melatih konsentrasi dan kemampuan anak untuk menuangkan ide-ide kreatifnya, anak-anak juga mampu meningkatkan kepercayaan dirinya untuk berani tampil di depan teman-temannya.
Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang penting pada seseorang. Kepercayaan diri merupakan atribut yang sangat berharga pada diri seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, tanpa adanya kepercayaan diri akan menimbulkan banyak masalah pada diri seseorang. Hal tersebut dikarenakan  dengan kepercayaan diri, seseorang mampu untuk mengaktualisasikan segala potensinya. Kepercayaan diri merupakan sesuatu yang urgen untuk dimiliki setiap individu. Kepercayaan diri diperlukan baik oleh seorang anak maupun orang tua, secara individual maupun kelompok (Ghufron, dkk, 2011)
Rasa percaya diri merupakan suatu keyakinan terhadap segala aspek yang dimiliki dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya. Jadi orang yang percaya diri memiliki rasa optimis dengan kelebihan yang dimiliki dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Hakim dalam Dewi, 2012). Salah satu cara adalah dengan kebiasaan untuk menanamkan sifat percaya diri tersebut dengan memberikan suasana atau kondisi demokratis, yaitu individu dilatih untuk dapat mengemukakan pendapat kepada pihak lain, dilatih berpikir mandiri dan diberi suasana yang aman sehingga individu tidak takut berbuat kesalahan (Walgito dalam  Afiatin & Andayani, 1998).
Satu hal yang menjadi perhatian penting di sini adalah tersampaikannya pesan yang ada dalam cerita anak kepada teman-temannya. Setiap manusia memiliki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan berkembang menjadi kecakapan berbahasa melalui proses yang berlangsung sejalan dengan kesiapan dan kematangan motoriknya (Rodiyah, 2012). Kematangan dan kecakapan anak dalam berbahasa juga dipengaruhi oleh bagaimana cara orang tua memberikan pengarahan kepada anak. Tentunya, faktor lingkungan dan sekolah juga mempunyai peran penting dalam meningkatkan potensi berbahasa anak.
Mendongeng berbeda dengan bercerita atau dalam bahasa Arab Qashash (kisah). Bercerita adalah suatu seni dalam menyampaikan ilmu, pesan, nasihat kepada orang lain baik anak-anak, remaja, dewasa maupun orangtua. Sedangkan mendongeng lebih banyakdisisipi khayalan yang dikembangkan dengan menarik (Mal dalam Fadhilah, 2012). Dalam hal ini, sisi poin yang diambil adalah pengolahan bahasa anak dalam bercerita. Keberhasilan dalam penerapan cara ini adalah ketika anak merasa nyaman dengan eksistensinya di hadapan teman-temannya. Adanya rasa nyaman akan menguatkan rasa percaya diri yang telah tertanam dalam diri anak, karenanya pengawasan orang tua juga sangat diharapkan dalam aplikasi metode ini.
Sering kali, pengajaran sastra terabaikan karena ada sejumlah pelajaran lain yang dianggap lebih penting. Padahal, pengajaran sastra sangat penting dalam perkembangan manusia, bukan hanya penting sebagai sesuatu yang "terbaca" melainkan juga sebagai sesuatu yang memotivasi kita untuk berbuat. Melalui karya sastra, anak juga dapat berbagi pengalaman dan perasaan (Kushartanti, 2007). Karya sastra tidak selalu bersifat hal yang agung dan megah. Sesuatu yang bersifat sederhana, hasil karya anak-anak juga perlu diapresiasi agar adanya motivasi berprestasi ataupun aktualisasi diri untuk ke depannya.
Aplikasi metode bercerita sebagai cara untuk meningkatkan kepercayaan diri kepada anak ini telah saya uji cobakan bersama teman-teman praktik kerja lapangan kepada anak-anak tingkat Sekolah Dasar dan juga pada Taman Kanak-kanak yang kami kumpulkan menjadi satu dalam 'Rumah Pintar'. Dalam 'Rumah Pintar' itu sendiri, terdapat berbagai program yang kami rancang untuk diaplikasikan selama satu bulan. Salah satunya adalah metode bercerita di hadapan teman-teman yang lain. Semula, saya dan teman-teman memberikan contoh untuk bercerita di hadapan mereka, pada akhirnya sedikit demi sedikit ada ketertarikan pada mereka untuk bisa bercerita di depan teman-teman yang lain.
Metode ini kami lakukan terus menerus. Pada awalnya kami merasa kesulitan karena rasa percaya diri anak memang sangat rendah, namun setelah kami coba sedikit demi sedikit secara perlahan, minat yang ada pada diri anak-anak mulai tampak dan mereka mampu mengekspresikan dan menuangkan ide-ide kreatifnya ketika bercerita di hadapan teman-temannya. Setiap anak mempunyai porsi yang berbeda dalam mengembangkan dan menguatkan potensinya untuk lebih percaya diri. Ada yang mudah, ada yang sedang, ada yang sangat baik dalam bercerita.
Kebutuhan perkembangan dan pendidikan bagi anak menuntut adanya keseimbangan, keterpaduan antar berbagai dimensi, dimensi fisik, dimensi kemanusiaan, dan dimensi ruh secara holistik (Djuwita, 2011). Ketiga dimensi tersebut tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya keseimbangan antara ketiganya. Rasa percaya diri bagi anak sangatlah penting dalam masa perkembangan anak. Setiap anak mempunyai tugas-tugas perkembangan dalam diri anak yang harus terpenuhi, adanya fiksasi yang terjadi akan mengakibatkan lambannya proses perkembangan sang anak, baik secara kognitif, afektif, dan motorik anak.
Hakikatnya, semua anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Banyak saudara-saudara kita di luar sana yang masih bersusah payah dalam mendapatkan bangku pendidikan. Satu hal yang harus kita syukuri adalah kita mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup baik dalam menimba ilmu, tentunya keilmuan tentang kebahasaan dan kesastraan. Aplikasi yang ada di sini adalah tentang bagaimana cara meningkatkan kepercayaan diri dengan bercerita. Metode sederhana ini ternyata mampu memberikan sisi positif bagi anak untuk mengaktualisasikan dirinya agar menjadi pribadi yang lebih percaya diri.
Referensi
Afiatin, T., & Andayani, D. B. (1998). Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja Penganggur Melalui Kelompok Dukungan Sosial, (2), 35-46.
Djuwita, W. (2011). Anak dan Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Cakrawala Al-Qur'an-Hadis. ULUMUNA, 15 (1), 119. https://doi.org/10.20414/ujis.v15i1.212
Fadhilah, R. N. (2012). Pengaruh Dongeng Bertema Sosial terhadap Tingkat Empati Anak Di TK Kusuma Harapan Pabrik Gula (PG) Krembung Sidoarjo.
Kushartanti, K. (2007). Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar: Peran Guru dalam Menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Wacana, 9Â (1), 107-117.
Rodiyah, R. (2012). Efektivitas Terapi Wicara Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Dengan Gangguan Cerebral Palsy di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Malang.
Ghufron, Nur, dan Risnawita, Rini. (2011). Â Teori-teori Psikologi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Dewi, Nunur Yuliana. (2012). Peningkatan Percaya Diri dan Kemandirian Siswa. Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H