Kepemimpinan Kaum Muda
Oleh : Ir A Riza Patria, MBA*
Di tengah gegap gempita informasi, dinamika sosial-politik dan gejolak ekonomi yang tak kunjung usai, membahas kaum muda dalam konteks kepemimpinan memang terkesan kurang memperoleh perhatian banyak kalangan. Pada perhelatan akbar kaum muda, momentum Kongres Pemdua/KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), kongres maupun munas OKP, kemahasiswaan dan lain-lainnya tentu saja akan ada pembahasan mengenai eksistensi kaum muda di tengah dinamika kehidupan kekinian bangsa.
Berbagai diskusi dan seminar (yang melibatkan) kaum muda pasca-gerakan reformasi, terutama menyimak wajah kepemimpinan politik kita, selalu muncul kegelisahan bahwa kultur kepemimpinan kaum muda. Pentas politik tetap didominasi 'elite lama', baik yang background partai politik, birokrasi maupun militer.
Elite dominan relatif kurang apresiatif terhadap kaum muda yang lazimnya lebih mengedepankan sikap kritis dan budaya dialog ketimbang sikap loyalitas buta dan kepengikutan tanpa kritik. Ini tentu saja berlawanan dengan kultur elite dominan untuk mempertahankan kekuasaan, lebih membutuhkan pengikut fanatik dengan loyalitas tanpa kritik.
Kepemimpinan kaum muda, dalam suasana demikian, oleh kekuasaan dianggap ancaman, sebab sifat kritik dan budaya dialog adalah ciri utama orang muda. Elite berkuasa karenanya seolah kini lebih butuh satgas (satuan tugas) dan laskar paramiliter yang siap mengamankan kekuasaan dan menuruti instruksi elite.
Kaum muda yang kritis justru dihindari, karena bagi elit berkuasa, mendukung kaum muda yang kritis bagaikan membangunkan harimau tidur, karena setiap saat kaum muda siap membongkar kepalsuan kekuasaan dengan sikap kritisnya.
Psikologi elite yang demikian (melihat kaum muda sebagai ancaman), kalau dicermati justru berasal dari kegagalan elite membangun wacana kritis di kalangan inner circle kekuasaan. Padahal sikap kritis internal (yang datang dari pengikut) dapat menjadi mekanisme check and balance. Tapi realitas yang ada, elite lebih mencolok dengan pentradisian kepengikutan anti dialog, fanatisme buta, atas dasar kharisma. Padahal, fungsi utama pemimpin bukanlah sekadar bagaimana menciptakan sebanyak mungkin pemimpin-pemimpin baru lagi. Tanggung jawab sirkulasi dan regenerasi bagi lahirnya pemimpin berikutnya.
Krisis figur
Salah satu efek utama tradisi tanpa dialog dan kegagalan tanggung jawab yang diperankan elite dalam jangka panjang adalah ancaman minimnya 'stok' figur pemimpin baru yang lebih segar dari kalangan muda. Itulah yang kita saksikan saat ini dengan dominannya elite tanpa di pentas politik.
Hiruk pikuk politik seolah hanya memunculkan nama-nama itu saja yang sebetulnya juga terasa membawa atribut gaya kepemimpin lama. Seperti ada yang salah dalam sistem kepemimpinan kita. Dua hal ini setidaknya menyiratkan hal itu.
Pertama, tidak ada figur pemimpin yang diterima oleh pluralisme kelompok yang berbeda-beda di tengah masyarakat, baik jenis pengelompokan politik, sosial maupun keagamaan. Figur berlegitimasi tinggi yang kehadirannya mampu melintasi batasan-batasan kelompok sempit kian langka ditemukan. Sebaliknya yang dominan adalah tipologi elite yang kental dengan warna kelompok yang egoisme sempit.
Kedua, sebagai dampak langsung dari realitas pertama, adalah absennya figur pemimpin yang efektif, kuat dan berwibawa. Padahal, untuk menuntaskan pelbagai multikrisis, dari sudut kepemimpinan perlu figur kuat yang mampu menjadi titik temu elemen-elemen sosial politik yang beragam.
Apalagi setelah 69 tahun merdeka belum pernah sekalipun terjadi suksesi puncak kepemimpinan nasional berjalan wajar dan alamiah. Sebaliknya, pergantian kepemimpinan puncak bangsa kerap terjadi akibat badai dan kemelut politik. Soekarno jatuh dihantam badai krisis politik, Soeharto akibat krisis moneter, Habibie jatuh akibat krisis legitimasi dan Gus Dur lengser akibat krisis konstitusi. Tapi betulkah kita butuh orang kuat untuk menuntaskan pelbagai multikrisis?
Jawaban pertanyaan ini relatif, tergantung dari sudut mana memandang. Tidak ada jawaban tunggal. Di satu sisi sebagian beralasan, krisis kepemimpinan melanda karena kini sulit ditemukan figur kuat, tokoh yang pemersatu yang kehadirannya mengatasi batasan-batasan kelompok partai, agama ataupun batasan geografis. Figur dengan legitimasi tinggi semacam ini memang kini memang sulit ditemukan.
Yang dominan adalah pemimpin komunitas yang lebih dikenal oleh kelompoknya sendiri baik dalam wujud partai politik, etnik, daerah maupun agama. Pemimpin tipe ini memang memperkaya moralitas, namun jika tidak dikelola dengan harmonis, dapat menjadi kendala serius. Kekentalan dengan aroma kelompok kerap menyulitkan pemimpin keluar dari mainstream lokalitas justru di saat ia telah menjadi figur nasional. Padahal dengan muatan publik ia menjadi milik masyarakat, bukan lagi milik kelompok terbatas.
Di sisi lain, sebagian yang lain justru memandang, situasi tiadanya tokoh kuat sebagai berkah karena dengan suasana cair inilah sistem dan aturan main kepemimpinan dapat ditegakan. Bagi pihak ini tidak ada yang patut disesalkan dengan absennya tokoh sentral dalam proses perundingan politik yang ada. Keluhan krisis kepemimpinan malah bisa berujung pada mentalitas merindukan ratu adil.
Dalam perspektif Muhammad Hatta, prinsip demokrasi meniscayakan rakyat untuk tidak mencari manusia pemimpin sempurna yakni Ratu Adil. Yang dipilih dalam demokrasi adalah yang mampu menjalankan aspirasi orang ramai, kendati mungkin ia banyak -- bahkan sangat banyak -- kekurangan di segi lainnya.
Kedua perspektif di atas jika dikaitkan dengan situasi kepemimpinan nasional pasca-gerakan reformasi, agaknya menarik dicermati karena absennya kepemimpinan yang efektif berpengaruh terhadap lambatnya proses pemulihan.
Di satu sisi, untuk menyelesaikan multikrisis, kehadiran figur kuat amat diperlukan, bukan saja sebagai manajer namun juga figur produksi ide untuk mendorong dan memandu dengan inspirasi dan pikiran 'yang mencerahkan'. Tapi di pihak lainnya, demokrasi mencegah peluang bagi munculnya figur kuat dengan legitimasi tinggi karena terbukti figur semacam ini kerap harus dibayar mahal dengan ongkos kepemimpinan diktatorial.
Dua entitas
Antara pendekatan sistem dan personal, idealnya memang tidak diperhadapkan secara vis a vis, di mana kita harus memilih salah satunya dengan menyingkirkan lainnya. Melainkan dipadukan dengan dua entitas yang saling memperkuat dan mengisi. Figur kuat jika didukung aturan main demokrasi yang tegas akan melahirkan kepemimpinan yang lebih efektif dan lugas namun demokratis.
Kebutuhan hadirnya 'orang kuat' dalam konteks penuntasan multikrisis, adalah wajar. Namun, kerinduan yang berlebihan pada figur serba bisa akan berakhir tragis. Harapan ini akan sia-sia lantaran pelbagai multikrisis yang memerlukan sentuhan tangan orang kuat tidak harus bersifat personal melainkan pada sistem itu sendiri.
Di sinilah masalahnya, demokrasi yang seolah hadir tiba-tiba, di tengah akumulasi dan kompleksitas warisan lama seolah membuka 'kontak pandora'. Situasi tanpa tertib sosial bermunculan sebagai biaya yang harus dibayar atas penerimaan demokrasi.
Demokrasi sebagai eksperimen kepemimpinan orang muda, memang kerap berwajah ganda, melahirkan harapan sekaligus kekhawatiran. Salah satu keluhan demokrasi adalah defisiensinya, yang dalam jangka pendek agaknya sulit dihindari. Akan tetapi untuk jangka panjang, demokrasi merupakan investasi besar.
Peran kaum muda dalam hal ini turut menentukan. Apakah demokrasi kita merupakan investasi atau sebaliknya defisiensi, banyak tergantung pada kaum mudanya. Tapi jika jawabannya yang terakhir, apakah kita tidak seharusnya menoleh negara tetangga, Malaysia dan Singapura?
Perdana Menteri Mahathir Muhammad dan mantan Perdana Menteri Lee Kwan Yew tidak menawarkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan maupun sebagai budaya politik. Keduanya bahkan terkenal lantang mengkritik demokrasi yang kerap membawa kemunduran ekonomi.
Namun di tengah masyarakatnya mereka dipuji mayoritas, partai mereka menang. Ini karena mereka membawa kemakmuran ekonomi dan ketertiban serta stabilitas keamanan terjaga. Mereka telah mengantarkan kemakmuran bagi negerinya, meski dengan pemerintahan tangan besi. Tidakkah kita membutuhkan yang sama?
Kepemimpinan kaum muda di tengah pluralitas bangsa, adalah tak terhindarkan. Namun, pemimpin muda yang toleran dan respek pada pluralitas bangsa bukanlah muncul dengan sendirinya. Kaum muda mesti aktif mentradisikan model kepemimpinan dialogis, bukan kepemimpinan doktriner, tertutup dan anti kritik. Pemimpin diuji di lapangan dengan bekal nilai ideologis, wawasan keterampilan yang diperlukan. Dari situasi inilah kaum muda dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sumber utama rekrutmen kepemimpinan.
Suasana demokrasi yang kondusif tentu saja tidak hanya diperlukan bagi kepemimpinan politik, namun juga dalam kepemimpinan sosial, ekonomi, dan lainnya. Saatnya kaum muda mesti dapat mencetak kader kepemimpinan bangsa yang sinergis dengan suasana demokrasi ideal.
*Anggota DPR-RI Fraksi Partai Gerindra
Konas Menwa Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H