Di sisi lain, sebagian yang lain justru memandang, situasi tiadanya tokoh kuat sebagai berkah karena dengan suasana cair inilah sistem dan aturan main kepemimpinan dapat ditegakan. Bagi pihak ini tidak ada yang patut disesalkan dengan absennya tokoh sentral dalam proses perundingan politik yang ada. Keluhan krisis kepemimpinan malah bisa berujung pada mentalitas merindukan ratu adil.
Dalam perspektif Muhammad Hatta, prinsip demokrasi meniscayakan rakyat untuk tidak mencari manusia pemimpin sempurna yakni Ratu Adil. Yang dipilih dalam demokrasi adalah yang mampu menjalankan aspirasi orang ramai, kendati mungkin ia banyak -- bahkan sangat banyak -- kekurangan di segi lainnya.
Kedua perspektif di atas jika dikaitkan dengan situasi kepemimpinan nasional pasca-gerakan reformasi, agaknya menarik dicermati karena absennya kepemimpinan yang efektif berpengaruh terhadap lambatnya proses pemulihan.
Di satu sisi, untuk menyelesaikan multikrisis, kehadiran figur kuat amat diperlukan, bukan saja sebagai manajer namun juga figur produksi ide untuk mendorong dan memandu dengan inspirasi dan pikiran 'yang mencerahkan'. Tapi di pihak lainnya, demokrasi mencegah peluang bagi munculnya figur kuat dengan legitimasi tinggi karena terbukti figur semacam ini kerap harus dibayar mahal dengan ongkos kepemimpinan diktatorial.
Dua entitas
Antara pendekatan sistem dan personal, idealnya memang tidak diperhadapkan secara vis a vis, di mana kita harus memilih salah satunya dengan menyingkirkan lainnya. Melainkan dipadukan dengan dua entitas yang saling memperkuat dan mengisi. Figur kuat jika didukung aturan main demokrasi yang tegas akan melahirkan kepemimpinan yang lebih efektif dan lugas namun demokratis.
Kebutuhan hadirnya 'orang kuat' dalam konteks penuntasan multikrisis, adalah wajar. Namun, kerinduan yang berlebihan pada figur serba bisa akan berakhir tragis. Harapan ini akan sia-sia lantaran pelbagai multikrisis yang memerlukan sentuhan tangan orang kuat tidak harus bersifat personal melainkan pada sistem itu sendiri.
Di sinilah masalahnya, demokrasi yang seolah hadir tiba-tiba, di tengah akumulasi dan kompleksitas warisan lama seolah membuka 'kontak pandora'. Situasi tanpa tertib sosial bermunculan sebagai biaya yang harus dibayar atas penerimaan demokrasi.
Demokrasi sebagai eksperimen kepemimpinan orang muda, memang kerap berwajah ganda, melahirkan harapan sekaligus kekhawatiran. Salah satu keluhan demokrasi adalah defisiensinya, yang dalam jangka pendek agaknya sulit dihindari. Akan tetapi untuk jangka panjang, demokrasi merupakan investasi besar.
Peran kaum muda dalam hal ini turut menentukan. Apakah demokrasi kita merupakan investasi atau sebaliknya defisiensi, banyak tergantung pada kaum mudanya. Tapi jika jawabannya yang terakhir, apakah kita tidak seharusnya menoleh negara tetangga, Malaysia dan Singapura?
Perdana Menteri Mahathir Muhammad dan mantan Perdana Menteri Lee Kwan Yew tidak menawarkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan maupun sebagai budaya politik. Keduanya bahkan terkenal lantang mengkritik demokrasi yang kerap membawa kemunduran ekonomi.
Namun di tengah masyarakatnya mereka dipuji mayoritas, partai mereka menang. Ini karena mereka membawa kemakmuran ekonomi dan ketertiban serta stabilitas keamanan terjaga. Mereka telah mengantarkan kemakmuran bagi negerinya, meski dengan pemerintahan tangan besi. Tidakkah kita membutuhkan yang sama?
Kepemimpinan kaum muda di tengah pluralitas bangsa, adalah tak terhindarkan. Namun, pemimpin muda yang toleran dan respek pada pluralitas bangsa bukanlah muncul dengan sendirinya. Kaum muda mesti aktif mentradisikan model kepemimpinan dialogis, bukan kepemimpinan doktriner, tertutup dan anti kritik. Pemimpin diuji di lapangan dengan bekal nilai ideologis, wawasan keterampilan yang diperlukan. Dari situasi inilah kaum muda dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sumber utama rekrutmen kepemimpinan.
Suasana demokrasi yang kondusif tentu saja tidak hanya diperlukan bagi kepemimpinan politik, namun juga dalam kepemimpinan sosial, ekonomi, dan lainnya. Saatnya kaum muda mesti dapat mencetak kader kepemimpinan bangsa yang sinergis dengan suasana demokrasi ideal.
*Anggota DPR-RI Fraksi Partai Gerindra
Konas Menwa Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H