Mohon tunggu...
ahmad riza patria
ahmad riza patria Mohon Tunggu... -

politisi muda

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kepemimpinan Kaum Muda

10 Februari 2015   09:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:30 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kepemimpinan Kaum Muda
Oleh : Ir A Riza Patria, MBA*

Di tengah gegap gempita informasi, dinamika sosial-politik dan gejolak ekonomi yang tak kunjung usai, membahas kaum muda dalam konteks kepemimpinan memang terkesan kurang memperoleh perhatian banyak kalangan. Pada perhelatan akbar kaum muda, momentum Kongres Pemdua/KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), kongres maupun munas OKP, kemahasiswaan dan lain-lainnya tentu saja akan ada pembahasan mengenai eksistensi kaum muda di tengah dinamika kehidupan kekinian bangsa.


Berbagai diskusi dan seminar (yang melibatkan) kaum muda pasca-gerakan reformasi, terutama menyimak wajah kepemimpinan politik kita, selalu muncul kegelisahan bahwa kultur kepemimpinan kaum muda. Pentas politik tetap didominasi 'elite lama', baik yang background partai politik, birokrasi maupun militer.


Elite dominan relatif kurang apresiatif terhadap kaum muda yang lazimnya lebih mengedepankan sikap kritis dan budaya dialog ketimbang sikap loyalitas buta dan kepengikutan tanpa kritik. Ini tentu saja berlawanan dengan kultur elite dominan untuk mempertahankan kekuasaan, lebih membutuhkan pengikut fanatik dengan loyalitas tanpa kritik.


Kepemimpinan kaum muda, dalam suasana demikian, oleh kekuasaan dianggap ancaman, sebab sifat kritik dan budaya dialog adalah ciri utama orang muda. Elite berkuasa karenanya seolah kini lebih butuh satgas (satuan tugas) dan laskar paramiliter yang siap mengamankan kekuasaan dan menuruti instruksi elite.


Kaum muda yang kritis justru dihindari, karena bagi elit berkuasa, mendukung kaum muda yang kritis bagaikan membangunkan harimau tidur, karena setiap saat kaum muda siap membongkar kepalsuan kekuasaan dengan sikap kritisnya.


Psikologi elite yang demikian (melihat kaum muda sebagai ancaman), kalau dicermati justru berasal dari kegagalan elite membangun wacana kritis di kalangan inner circle kekuasaan. Padahal sikap kritis internal (yang datang dari pengikut) dapat menjadi mekanisme check and balance. Tapi realitas yang ada, elite lebih mencolok dengan pentradisian kepengikutan anti dialog, fanatisme buta, atas dasar kharisma. Padahal, fungsi utama pemimpin bukanlah sekadar bagaimana menciptakan sebanyak mungkin pemimpin-pemimpin baru lagi. Tanggung jawab sirkulasi dan regenerasi bagi lahirnya pemimpin berikutnya.


Krisis figur

Salah satu efek utama tradisi tanpa dialog dan kegagalan tanggung jawab yang diperankan elite dalam jangka panjang adalah ancaman minimnya 'stok' figur pemimpin baru yang lebih segar dari kalangan muda. Itulah yang kita saksikan saat ini dengan dominannya elite tanpa di pentas politik.

Hiruk pikuk politik seolah hanya memunculkan nama-nama itu saja yang sebetulnya juga terasa membawa atribut gaya kepemimpin lama. Seperti ada yang salah dalam sistem kepemimpinan kita. Dua hal ini setidaknya menyiratkan hal itu.

Pertama, tidak ada figur pemimpin yang diterima oleh pluralisme kelompok yang berbeda-beda di tengah masyarakat, baik jenis pengelompokan politik, sosial maupun keagamaan. Figur berlegitimasi tinggi yang kehadirannya mampu melintasi batasan-batasan kelompok sempit kian langka ditemukan. Sebaliknya yang dominan adalah tipologi elite yang kental dengan warna kelompok yang egoisme sempit.


Kedua, sebagai dampak langsung dari realitas pertama, adalah absennya figur pemimpin yang efektif, kuat dan berwibawa. Padahal, untuk menuntaskan pelbagai multikrisis, dari sudut kepemimpinan perlu figur kuat yang mampu menjadi titik temu elemen-elemen sosial politik yang beragam.

Apalagi setelah 69 tahun merdeka belum pernah sekalipun terjadi suksesi puncak kepemimpinan nasional berjalan wajar dan alamiah. Sebaliknya, pergantian kepemimpinan puncak bangsa kerap terjadi akibat badai dan kemelut politik. Soekarno jatuh dihantam badai krisis politik, Soeharto akibat krisis moneter, Habibie jatuh akibat krisis legitimasi dan Gus Dur lengser akibat krisis konstitusi. Tapi betulkah kita butuh orang kuat untuk menuntaskan pelbagai multikrisis?


Jawaban pertanyaan ini relatif, tergantung dari sudut mana memandang. Tidak ada jawaban tunggal. Di satu sisi sebagian beralasan, krisis kepemimpinan melanda karena kini sulit ditemukan figur kuat, tokoh yang pemersatu yang kehadirannya mengatasi batasan-batasan kelompok partai, agama ataupun batasan geografis. Figur dengan legitimasi tinggi semacam ini memang kini memang sulit ditemukan.


Yang dominan adalah pemimpin komunitas yang lebih dikenal oleh kelompoknya sendiri baik dalam wujud partai politik, etnik, daerah maupun agama. Pemimpin tipe ini memang memperkaya moralitas, namun jika tidak dikelola dengan harmonis, dapat menjadi kendala serius. Kekentalan dengan aroma kelompok kerap menyulitkan pemimpin keluar dari mainstream lokalitas justru di saat ia telah menjadi figur nasional. Padahal dengan muatan publik ia menjadi milik masyarakat, bukan lagi milik kelompok terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun