[caption id="" align="aligncenter" width="558" caption="google.image"][/caption]
Oleh: Fitri.Y yeye No. 59
Tepat tengah malam, Bulan keemasan menggantung di cakrawala langit pekat, tak satupun bintang bertabur menghias malam. Tiba-tiba angin berhembus kencang, burung gagak bersahutan memecah sunyi. Dira mengintip dari celah jendela kamar rumah tua ini.
Rumah besar dengan arsitektur peninggalan Belanda milik kakek Mike sahabatnya. Rumah itu telah lama tidak ditempati, tetapi masih terawat dengan baik. Karena keluarga Mike menyewa orang untuk membersihkannya. Untuk mengejar Deadline novelnya, Dira akhir-akhir ini sering kehilangan ide. Hingga tawaran Mike mengajaknya ke rumah ini diterimanya. Suasana di rumah ini membuat Dira betah dan begitu enjoy menulis. Bahkan ia hampir menyelesaikan ending dari novelnya.
Suasana malam di rumah ini semakin membuatnya bersemangat melanjutkan tulisannya. Konsentrasinya menulis masih sama, tanpa ada rasa takut menyelinap sedikitpun. Novel misteri dengan judul Mimpi Berdarah. Penerbit sudah dua kali menghubungi Dira minggu ini. Dia harus segera menyelesaikannya.
Dira menarik nafas, kata-kata meluncur deras lewat jemarinya. Menari di atas keyboard melanjutkan kisahnya. Bagian 7 baru saja dituntaskannya.
Bag.8: Malam Berdarah
Jeni menarik selimut tebalnya, menyalakan lampu tidur. Malam ini dia tidur telat karena beberapa pekerjaan yang belum dituntaskan. Dalam hitungan detik saja dia telah nyenyak. Dalam lelapnya dia bertemu seorang pria bertubuh kekar.
Jeni tengah duduk di taman belakang dengan segelas kopi hangat. Seorang lelaki tampan datang mendekatinya. Laki-laki itu tersenyum. Jeni membalas senyum itu. Mereka saling menatap beberapa saat. Dan lelaki itu memeluknya. Jeni membiarkkan tubuhnya dikerayangi lelaki itu. Dia memejamkan mata menikmati gelora yang juga telah muncul di dadanya. Lama matanya terpejam, bersama desahan nikmat yang tak tertahankan.
Jeni membuka matanya. Ia terbelalak, lelaki yang kini menindihnya bukan lelaki tampan. Seperti tadi dilihatnya. Seorang pria berwajah buruk menakutkan, kukunya runcing, panjang-panjang. Dengan pisau tajam berkilau ditangannya. Giginya menyeringai dengan mata besar melotot menakutkan.
“tolongggggg! Siapa kau!” Jeni beteriak sekerasnya. Nikmat yang tadi dirasakannya berganti ketakutan yang mengerikan. Tak ada seorangpun yang bisa mendengarnya. Makhluk di hadapannya semakin bringas. Tubuh Jeni terkoyak, jantungnya terbelah dengan darah segar tumpah di lantai kamarnya. Makhluk aneh itu merobek-robek tubuh Jeni, mengirisnya dengan sangar