Ditatapnya tajam, ”Kita belajar! Meski jadi semacam buronan. Itu cuma bungkus. Dan bungkus bisa dipasangkan berupa apa saja, tergantung kemasan seperti apa yang diterima orang di luar sana. Aku nggak suka menjawab ini. Kita bukan barang dagangan. Apalagi macam makanan dalam kemasan yang sekali habis lalu dibuang. Kurasa hatimu tahu. Seperti hatiku pun tahu".
Hening beberapa lama.
Perempuannya terisak memeluk lutut. Nyeri yang tadi menjalar kini bertambah, dengan hadirnya pilu. Sakitnya berjuta kali lipat dari sekadar waktu nagih.
Sang Pria menoleh sesaat. ”Aku memutuskan bersamamu, karena kamu yang mampu membuat diriku tercermin secara utuh. Bukan lantaran takut sepi. Kalau mau, aku... Aku mampu hidup sendiri”, gumpalan emosi itu dimuntahkannya dengan memukul tembok.
Perempuannya berdiri dan berlari. Direngkuh prianya dari belakang. Dibalikkannya tubuh itu perlahan. Ia eratkan lagi rengkuhannya dari yang tadi. Meresapi desiran dan aroma napas meski tak wangi. Udara yang menghidupi mereka berdua.
Dikecupnya kening Sang Pria dengan takzim.
”Aku sudah tahu jawabannya, Bang... Bahwa nilai, norma, adalah harga yang harus dibayar untuk menebus surga”.
Direngkuhnya sungguh-sungguh, dihapusnya air mata si perempuan dengan punggung jarinya. Diucapkannya satu prasasti lisan dengan tekanan tak biasa, “Aku mencintaimu, lebih dari surga itu”
...
Seseorang yang tinggal di rumah seberang terkesiap.
Dari balik tirai ia melihat, rumah yang disekap pengap itu memendarkan cahaya.