Mohon tunggu...
Yulherina Chaniago
Yulherina Chaniago Mohon Tunggu... Dokter - Pemerhati Jaminan/ Asuransi Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia

1. Magister Kesehatan Masyarakat\r\n2. Dokter\r\n3. Dukung Medika Selaras

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Antiklimaks Kenaikan Iuran JKN

18 Maret 2016   16:22 Diperbarui: 18 Maret 2016   17:28 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pemberitaan tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diatur pemerintah melalui Perpres No 19 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Peraturan Presiden No 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, cukup menyita perhatian masyarakat. Pendapat terbanyak adalah mempertanyakan alasan kenaikan iuran, seolah penjelasan tentang defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan pada tahun 2015 tidak sepenuhnya diterima berbagai kalangan.

 Hal itu dapat dimengerti, karena sampai terbitnya Perpres 19 tahun 2016 tersebut, belum ada laporan resmi pelaksanaan JKN yang dapat diakses masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas pengelolaan Program JKN. Informasi tentang defisit keuangan hanya sebatas informasi tanpa data, begitu juga dengan penyebab defisit yang menyebutkan peserta Mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja) sebagai kelompok terbanyak menggunakan manfaat pelayanan, padahal iuran/ premi yang dibayarkan tidak mencukupi untuk menutup biaya yang digunakan kelompok tersebut.

Jika informasi defisit karena peserta mandiri sebagai dasar kuat menaikkan iuran, tentu akan sangat elok jika BPJS Kesehatan memaparkan komposisi kepesertaan berdasarkan kelompok, jumlah peserta per kelas perawatan/ paket kepesertaan (kelas 3, kelas 2, dan kelas 1), serta jumlah biaya berdasarkan kelompok dan paket kepesertaan tersebut. Data akan menggambarkan betapa riskannya mengelola kelompok mandiri jika iuran tidak dinaikkan. 

Tanpa data terinci demikian, sulit bagi masyarakat umum untuk memahami kondisi defisit BPJS Kesehatan, mengingat tidak semua peserta menggunakan haknya karena distribusi kartu PBI belum sepenuhnya selesai, sehingga potensi peserta PBI yang akan menggunakan pelayanan lebih kecil dari seharusnya. 

Belum lagi peserta kelompok Pekerja Penerima Upah yang sangat menghindari pemanfataan program JKN karena dinilai berbelit-belit dan manfaatnya lebih rendah, sehingga menggunakan asuransi komersial atau jaminan perusahaan jauh lebih menyenangkan. Jika peserta BPJS Kesehatan per tanggal 11 Maret 2016 pukul 00.00.00 WIB tercatat 163.327.183 jiwa, maka yang berpotensi menggunakan manfaat tentu tidak sebanyak itu. 

Memang benar ada pelayanan kasus katastrofik yang menyedot biaya tidak kecil seperti pelayanan hemodialisis/ cuci darah, atau operasi jantung, dan berbagai tindakan medis berbiaya besar lainnya, tapi mengapa BPJS Kesehatan sampai defisit padahal ketika masih dikelola PT. Askes (persero) dengan peserta jauh lebih sediti (17,5 juta peserta), perseroan selalu membukukan laba yang sebagian disetor sebagai deviden kepada Negara. Jumlah peserta yang jauh lebih besar harusnya membuat distribusi risiko lebih baik karena populasi orang sehat akan jauh lebih banyak.

Kenaikan iuran wajar

Kenaikan iuran dalam Program Jaminan Kesehatan sebenarnya adalah hal biasa, karena risiko yang dikelola dalam program Jaminan kesehatan sangat tidak terduga pemanfaatannya. Ditambah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang mendorong berbagai pelayanan mutakhir untuk mendapatkan hasil lebih baik dari waktu lampau. Menjadi tidak biasa, ketika program yang baru berjalan 2 tahun 3 bulan ini belum mampu mengambil hati rakyat dengan pelayanan yang baik, komunikatif, pro rakyat, dan berusaha dengan sebaik-baiknya memberikan layanan terbaik dan sepenuh hati.

 Kesan sampai saat ini adalah pelayanan yang sulit, tidak memenuhi seluruh kebutuhan medis peserta, serta kurang ramah, karena banyak pertanyaan peserta yang tidak terjawab atau dijawab dengan keterangan seadanya seperti “BPJS Kesehatan hanya sebagai operator”, atau “BPJS Kesehatan hanya melaksanakan perintah undang-undang” . Regulatornya adalah Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, sehingga pertanyaan atau keberatan selayaknya ditujukan ke Pemerintah.

Defisit tidak selalu karena kekurangan iuran

Pelaksanaan program berbasis asuransi mendasari pengelolaannya pada pengendalian risiko, dalam hal ini adalah risiko pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan konsekuensi biaya pelayanan kesehatan. Sebagaimana prinsip asuransi, risiko dikatakan baik jika beban biaya dapat ditutupi oleh iuran/ premi yang diterima. Jika beban biaya lebih besar dari iuran, maka dikatakan rasio klaim (klaim:premi) > 100%, itulah yang dikatakan defisit.

Dilihat dari prinsip tersebut, maka defisit hanya akan terjadi oleh 2 sebab yaitu iuran/ premi kecil sehingga tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan, atau biaya pelayanan sangat besar sehingga tidak dapat ditutupi oleh premi/ iuran yang diterima. Walaupun keduanya tampak sama, namun tidak demikian hakekatnya. 

Penyebab pertama terjadi ketika pada tahap perencanaan, akurasi perhitungan risiko tidak baik, sehingga nilai premi yang ditentukan lebih kecil dari risiko yang akan dihadapi. Hal ini terjadi dengan asumsi pengelola sudah melakukan pengendalian sepenuhnya risiko. Adapun penyebab kedua, terjadi karena kelemahan pengelola yang tidak mampu mengendalikan risiko, sehingga berapapun premi yang diterima, tetap tidak akan mampu menutupi kebutuhan biaya pelayanan kesehatan. 

Ketidakmampuan itu misalnya dalam bentuk lemahnya pengendalian moral hazard dan fraud klaim, baik oleh peserta maupun oleh provider. Kedua keadaan tersebut membutuhkan kenaikan iuran/ premi untuk menutup defisit yang ada, hanya pembebanan kenaikan iuran yang harus diperhatikan.
Kenaikan iuran akibat kesalahan perhitungan diawal, sudah sepatutnya dikoreksi dengan meningkatkan iuran ke nilai yang wajar sesuai profil risiko berdasarkan pengalaman empiris pengelola.

 Adapun kenaikan iuran/ premi akibat kondisi yang kedua, tidak sepatutnya dibebankan kepada peserta, karena defisit terjadi akibat kelalaian pengelola. Mengingat pengelola ditunjuk oleh Pemerintah, maka defisit seharusnya menjadi beban Pemerintah, bukan Peserta. Masalahnya penyebab defisit BPJS Kesehatan belum dapat diyakini terjadi akibat kesalahan prediksi besaran risiko di awal program atau kesalahan pengelola, karena tidak adanya laporan yang transparan tentang itu.

Bagi pengelola Program JKN, dukungan Pemerintah melalui Perpres 19 tahun 2016 yang mengatur kenaikan iuran bisa jadi klimaks setelah berbagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi defisit BPJS kesehatan. Namun bagi masyarakat jelas ini antiklimaks, karena alih-alih memperbaiki pelayanan dan mengurangi keluhan, yang terjadi justru menambah beban yang akhirnya akan berujung dengan peningkatan ketidakpuasan. “ sudah bayar mahal, pelayanannya nggak memuaskan pula”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun