Jadikan Pasar Tradisional dan Pasar Dalam Negeri menjadi Pasar ZONA EKSKLUSIF EKONOMI HASIL BUDIDAYA PERUNGGASAN PETERNAK RAKYAT UMKM sehingga Peternakan Rakyat menjadi andalan Kekuatan & Kedaulatan Pangan Protein Pasar Dalam Negri Indonesia yang berjangka panjang dan berkelanjutan. Â Â Â
SARAN & SOLUSI :Â
1. Pemerintah CQ.Dirjen PKH harus segera melakukan penelitian terhadap UU No.18 Tahun 2009 Juncto UU No.41 Tahun 2014 untuk menemukan sebab selalu terjadi munculnya permasalahan yang sama didalam perunggasan nasional yaitu harga LB jauh dibawah HPP Peternak Rakyat (Rp.11.000 -- Rp.8.000)/Kg yang selalu hancur dan harga Karkas selalu stabil di konsumen (Rp.33.000 -- Rp.35.000)/Kg.
2. Selalu hancurnya harga LB adalah disebabkan dibolehkannya para perusahaan besar PT.Full Integrasi melakukan Budidaya FS dan ketika saat panen LB dalam jumlah ratusan ribu dan bahkan jutaan ekor di berbagai daerah pulau Jawa, harga LB akan anjlok karena ulah para Broker bentukan para perusahaan besar PT. PT.Full Integrasi PMA yang mendesak masuk ke pasar tradisional, karena HPP/BEP mereka jauh lebih murah dari HPP/BEP Budidaya para Peternak Rakyat.
3. Seharusnya Pemerintah serius untuk merevisi UU No.18 Tahun 2009 Jo.UU No.41 Tahun 2014 dan membuat Pasal tentang Segmentasi Pasar di dalamnya. Sebab terjadinya berulang ulang harga LB yang hancur walaupun sepertinya ada solusi dari Pemerintah, hal ini bisa terjadi karena adanya kesenjangan HPP/BEP dari Peternak Rakyat/Mandiri dengan HPP/BEP dari para perusahaan besar PT.Full Integrasi yang secara bersamaan masuk ke pasar yang sama yaitu Pasar Tradisional. Setelah UU No.18 Tahun 2009 Jo.UU No.41 Tahun 2014 direvisi, maka selanjutnya Pemerintah segera membuat ketentuan yang mengatur dalam bentuk KEPPRES tentang pelaksanaan Tataniaga dan Segmentasi Pasar dalam perunggasan Nasional.
4. Selama ini PERUNGGASAN NASIONAL, oleh Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) bersama Peternak Rakyak nasional SUDAH MENYATAKAN SECARA LISAN dan bahkan DALAM BENTUK TULISAN SEJAK DAHULU kepada Pemerintah bahwa  "SEBABNYA DULU DISOLUSI" baru akibatnya diperbaiki. Judicial Review (JR) ke MK itu adalah bukti nyata usulan untuk MENSOLUSI SEBAB bukan AKIBAT, yaitu dengan JR UU No.18 Tahun 2009 Jo. UU No.41/2014. Kelemahan intelektual di Pemerintah dan di Perguruan Tinggi universitas dalam mengamati permasalahan perunggasan selama ini, para intelektual hanya menonton dan terlibat dalam kesalahan pola pikir dan pola tindak yang berkutat mensolusi di sekitar "akibat" saja bukan "sebab". Akibatnya permasalahan perunggasan berkepajangan bertele-tele kembali selalu permasalahan yang itu ke itu saja yang muncul dan akibatnya banyak waktu kita yang terbuang secara sia-sia.
5. INTI PERMASALAHAN DI PERUNGGASAN SELAMA INI (selama 11 thn 2009-2020) adalah Pasal "SEGMENTASI PASAR" UNTUK HASIL BUDIDAYA FS BROILER & LAYER perlu ADA tercantum secara pasti DI UNDANG UNDANG yaitu PT.Besar Full integrator yang sudah menguasai seluruh porsi usaha 85% (di luar budidaya) hasil produksinya harus diarahkan kepada orientasi export sedangkan hasil usaha budidaya Peternakan Rakyat dikembali untuk sepenuhnya mampu mengisi pasar nasional didalam negeri terutama pasar Tradisional.
Tulisan ini diharapkan oleh penulis, agar menjadi bahan masukan kepada Pemerintah RI dan khalayak pembaca dan simpul massa assosiasi, agar ada percepatan solusi dalam semua permasalahan perunggasan Nasional yang disolusi "adalah sebabnya" sehingga akibat dengan sendirinya akan menyesuaikan. Janganlah membuang waktu hanya mensolusi disekitar "wilayah akibat" dari suatu permasalahan. DOKTER yang PINTAR dan SMART selalu mendiagnosa penyakit untuk mencari sebabnya terlebih dahulu. lalu segera mensolusi sebab itu sehingga akibat akan terselesaikan dengan sendirinya secara total. (Ashwin Pulungan - PPUI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H