Dalam masalah panjang realisasi kebijakan pelarangan AGPs pada 2017 bagi pembudidaya unggas, hal ini sangat membebani tambahan biaya terutama bagi peternak kecil dan menengah OH atas keterbatasan modalnya untuk memperbaiki fasilitas usahanya (kearah semi CH). Pemerintah seharusnya sudah mengantisipasi dan mempersiapkan ketentuan untuk kelangsungan hidup mereka.Â
Dampak langsung dari  kebijakan pelarangan AGPs ini adalah meningkatnya biaya produksi pakan karena umumnya pengganti AGPs seperti probiotik, prebiotik, herbal, maupun acidifier harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan AGPs. Semua ini adalah serba dilematis dalam Manajemen Peternakan Nasional jika ditangani secara partial sebagaimana selama ini.
Keberadaan Tim Analisa Suplai Demand dan Tim Asistensi Perunggasan (TASDTAP) atau Tim Analisa Perunggasan Nasional perlu ditingkatkan jika setelah dapat dimunculkan NSR (National Stock Raplacement) perunggasan Nasional secara terupdate dan terkontrol, peningkatan peran lembaga TASDTAP selanjutnya adalah Pengawasan Pemerintah sesuai dengan standar kesehatan hewan yang telah ditetapkan terhadap kinerja semua perusahaan Breeding Farm GPS dan PS. Hal ini penting, mengingat manajemen perbibitan adalah sangat strategis kedepan dalam menghadapi tantangan persaingan serta kesinambungan persediaan dan kualitas di dalam negeri.  Â
Oleh karena itu, disamping peran lembaga TASDTAP yang sudah ada dan cukup baik, lembaga TASDTAP ini perlu ditingkatkan untuk mengawasi praktek pemeliharaan di semua perusahaan Breeding Farm seperti sistem perkandangan dan kualitas udaranya, kualitas pakan, serta penerapan biosekuriti di kandang. Sehingga permasalahan tantangan berupa virus flu burung H9N2 yang menyebabkan penurunan kekebalan dan kerusakan organ tubuh unggas yang pernah terdeteksi dan terjadi pada awal tahun 2017 di Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Bali bisa diatasi dengan cepat. Berbagai kemungkinan penyakit hewan unggas yang ada di Breeding Farm, dapat mengakibatkan turun drastisnya produksi telur sehingga bisa berdampak kepada persediaan bibit (GPS) dan indukan (PS) serta bakalan (FS) secara Nasional. Besar-kecilnya GGPS/GPS yang diimpor dan yang telah di budidayakan secara baik dan benar, sangat menentukan akurasi jumlah produksi PS, DOC-FS serta ayam hidup untuk konsumsi.
Potensi Peternakan Nasional adalah sangat besar jika dikembangkan secara baik dan benar serta dapat melibatkan potensi dan kemampuan peternakan rakyat secara tersistem dan terintegrasi dalam bentuk usaha Koperasi. Serta Pemerintah dapat mengkondusifkan iklim usaha peternakan nasional dalam bentuk ketentuan dan UU yang berkeadilan serta adanya komitmen politik Pemerintah yang didasari dengan DATA YANG AKURAT untuk mengembang tumbuhkan realisasi perencanaan pada sektor peternakan dan pertanian menuju kemandirian protein hewani yang berdaya saing tinggi di Indonesia.
Baru baru ini telah terjadi KRIMINALISASI PETANI & PETERNAK oleh REZIM PEMERINTAH JOKO WIDODO-JK dimana Petani & Peternak yang tergabung kedalam 15 organisasi Peternak & Petani berkumpul di Jakarta pada 22 November 2018 dan sekaligus membuat sebuah acara yang didalamnya ada "Petisi Ragunan" dikarenakan adanya kegundahan para Peternak & Petani dalam permasalahan Data (Beras, Jagung dan Data lainnya) yang kacau balau diantara Kementerian dan lembaga Pemerintah yang berimplikasi kepada kebijakan yang salah dari Pemerintah serta berdampak negatif dan merugikan secara langsung terhadap semua pelaku usaha Peternak dan Pertanian Rakyat. Petisi adalah hak demokrasi untuk menyampaikan pendapat serta dilindungi oleh Konstitusi malah KEMENTAN RI MENSOMASI dan memperkarakan ke Pengadilan, Peternak & Petani yang membuat "Petisi Ragunan" tersebut yang berakhir kepada pencabutan oleh KEMENTAN RI sendiri di Pengadilan. Semua ini adalah dampak dari MISMANAJEMEN PETERNAKAN DAN PERTANIAN kita selama ini serta egoisme merasa benar sendiri tanpa pendekatan sila ke 4 Pancasila yang akhirnya semua terlibat didalam PEMBUANGAN ENERGI, dana serta fikiran yang sia sia (Inefisiensi dalam berbangsa dan bernegara). Semoga hal sia sia seperti ini tidak terjadi lagi.
Nilai potensi Karkas & Telur dalam skala Nasional :
1. Pemerintah harus akomodatif dan solutif cepat tanggap terhadap semua permasalahan peternakan perunggasan di Indonesia. Aparat Pemerintah adalah SDM yang digaji dan difasilitasi lengkap oleh seluruh rakyat Indonesia untuk tujuan mengurus, melayani dan mensolusi semua permasalahan yang ada dan terjadi berdasarkan UUD 1945 dan UU serta semua ketentuan yang ada dan berlaku.
2. Semua permasalahan perunggasan Nasional dapat disolusi dengan pengaturan bibit unggas secara akurat dari sejak GPS, PS dan FS yang dapat tertuang didalam National Stock Replacement (NSR) sehingga Pemerintahlah yang mengatur jumlah quota bibit unggas untuk setiap perusahaan pembibitan secara Nasional.
3. Pemerintah harus tegas didalam merealisasikan Permentan No.32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi. Serta harus diterapkan ketentuan sanksi yang berat sehingga setiap pelaku perusahaan yang melanggar dapat dikenakan sanksi yang menimbulkan efek jera, sehingga ketentuan yang dibuat Pemerintah bisa berwibawa.