Artinya, tidak ada pengawasan yang serius dari pemerintah terhadap Permentan yang dibuatnya. Akibatnya Pemerintah selalu tidak berwibawa dalam hal ketentuan yang dibuatnya sendiri dan cenderung dilanggar oleh para pelaku usaha. Apalagi ada oknum yang sering memanfaatkan setiap ketentuan demi kepentingan pribadi.
Janji Kementerian Pertanian (Kementan) mengancam tidak akan mengeluarkan izin impor bibit indukan ayam ras (Grand Parent Stock) bagi integrator (perusahaan unggas terintegrasi) yang enggan membagikan 50% anak ayam umur satu hari (Day Old Chicken/DOC) kepada peternak mandiri. Ketentuan tersebut sebagai tertuang dalam Permentan No 32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.Â
Janji hanya tinggal janji kenyataannya peternak rakyat sangat sulit mendapatkan DOC dan harga sangat mahal serta sulit didapat menjelang Ramadhan ini. Harga DOC dari Rp.4.500,-/ekor sekarang bisa melambung mencapai Rp.7.500-8.200,-/ekor dan didapat melalui para broker tertentu saja.
Di dalam mendukung serta melengkapi Permentan No. 32/2017, Pemerintah telah membentuk Tim Analisa, Asistensi dan Pengawasan (audit) bibit unggas nasional untuk bisa menetapkan secara terukur dan teratur persediaan bibit unggas nasional, sehingga DOC Final Stock tidak terjadi over supply yang bisa menghancurkan harga livebird (LB) di kandang budidaya peternak.
Hal ini sudah bagus, akan tetapi kembali dilapangan, pengadaan indukan bibit Grand Parent Stock kembali amburadul sebagai dampak masuknya PT. Berdikari pada industri hulu perunggasan ayam ras yang belum berpengalaman di dibidang perunggasan (katanya untuk memberdayakan peternak unggas rakyat), tapi kenyatannya PT Berdikari dimanfaatkan namanya oleh satu perusahaan perunggasan dari Korea Selatan dengan memakai nama tameng perusahaan PMDN, dampaknya adalah pengaturan yang dilakukan oleh Tim Analisa kembali goyah kearah amburadulisasi perbibitan unggas Nasional.Â
Bahkan terjadi bahwa urusan dengan PT Berdikari adalah sebagai sosok usaha BUMN yang data importasi GPS-nya dikondisikan sebagai untouchable. Sangatlah bahaya jika BUMN hanya dimanfaatkan oleh sebuah perusahaan asing. Sangat disayangkan pada kondisi ini Mentan RI dan Dirjen PKH diam serta tidak berbuat tindakan yang sesuai dengan amanat UU sebagaimana harapan rakyat.
Terjadinya Brokernisasi GPS dan PS.
Dengan upaya yang susah payah mewujudkan keberadaan Tim Analisa yang tujuannya untuk menghadirkan data terukur dan terkendali tentang indukan bibit unggas menuju NSR (National Stock Replacement), akhirnya ada pihak dan oknum tertentu yang berupaya menjalankan amburadulisasi persediaan bibit unggas secara nasional.Â
Tadinya stock GPS Nasional pada 2017 ditetapkan koutanya hanya 700.000 ekor D-Line agar potensi Final Stock bisa stabil pada 58 juta ekor/pekan, direncanakan pada 2018 diturunkan menjadi 640.000 ekor GPS D-line setara dengan 50 juta ekor/pekan, semua para pelaku usaha perunggasan 16 breeder sudah sepakat dengan qoutanya dan penyesuaian kenaikan dan penurunan pertahun sebesar 5-10%.
Malah beberapa perusahaan terintegrasi sudah mau mengikuti kuota GPS yang berimbang dan selaras pada masing-masing farm mereka. Dengan masuknya PT. Berdikari (BUMN) akhir akhir ini tatanan perbibitan unggas akan kembali terganggu yang bisa mengarah kepada perang harga LB kembali. Sulitnya importasi GPS bagi breeding farm, terjadilah broker GPS dan PS di antara para Breeder.Â
Akibat adanya calo/broker ini, harga GPS dan PS kembali sangat mahal dibandingkan seperti dahulu masing masing perusahaan Breeding bisa impor DOC GPS dan PS. Semua ini bisa terjadi adalah karena keberpihakan oknum pejabat tinggi yang berwenang kepada pihak tertentu. Dampaknya adalah harga FS akan sangat mahal atau sebaliknya jika pengawasan pemerintah tidak ada, bisa hancur hancuran harga livebird kedepan karena over supply.
Brokernisasi DOC-FS sudah lama ada.