Ada Breeding Farm GPS-PS-FS Â di Indonesia sebanyak 16 perusahaan. Â Untuk mengatur dengan tingkat akurasi data yang tinggi, Pemerintah seharusnya sudah dapat mengklasifikasikan semua perusahaan BF berdasarkan spesifikasi strain masing-masing secara akurat termasuk penetapan SC per strain bagi masing masing perusahaan BF (bukan lagi rataan SC 130 ekor). Sudah saatnya semua perusahaan Pembibitan BF menyampaikan populasi bibit yang jujur dan benar didalam mendukung pengaturan Pemerintah yang baik dan benar bagi pembenahan serta tata niaga unggas ras yang berpotensi kedepan. Jika ada perusahaan BF yang nakal (sengaja gagal paham), maka Pemerintah harus menindak secara tegas dengan sanksi yang keras berdasarkan ketentuan yang ada dan Undang-Undang yang benar dan berkeadilan.
Sebagai contoh semerawutnya data unggas ras di Indonesia adalah, masing-masing perusahaan selama ini tidak jujur didalam menyampaikan data bibit GPS dan PS disamping bermain matanya dengan para petugas oknum Pemerintah didalam menampung data yang masuk. Akibatnya, seorang Dirjen Peternakan hanya bisa membuat solusi berdasarkan angka data karangan saja atau data yang telah direkayasa yang berdampak pada sebuah solusi yang amburadul (Solusi-solusian) dan ini sungguh sangat MEMALUKAN.Â
Dasar patokan perhitungan SC yang selama ini ditentukan dengan 130 ekor FS per PS, adalah kesepakatan yang salah dan menyesatkan. Sedangkan strain 1 ekor PS Ross bisa 150 ekor FS dan strain Cobb bisa 147 ekor FS, Indian River (IR) bisa 155 FS. Artinya ada selisih sebesar 17-25 ekor. Ambil saja selisih pesimistis SC ada 15 ekor FS per PS, jika ada 60 juta ekor FS per pekan (week) untuk keseimbangan pasar Nasional, artinya ada FS sebanyak 60 juta ekor x 52 pekan = 3.120.000.000 ekor FS/tahun. Artinya jika ada produksi PS sebanyak 24 jt ekor = 15 ekor x 24 jt ekor = 360 jt FS setahun merupakan selisih DOC-FS yang tidak terdata (ilegal) atau sebanyak 6,920 juta ekor per pekan tidak terdata. Jika didalam jumlah uang, ada sebesar 360 juta ekor x Rp.5.000,-/DOC-FS = Rp.1,8,-Triliun per tahun tidak jelas lari kemana dan sudah berapa tahun hal ini berlangsung ? Selanjutnya data pakan senilai 360 juta FS x 2,5 x Rp. 6.500,-/kg pakan = Rp.5,85,-Triliun/Tahun kemana ? Belum lagi masa afkir GPS dan PS yang tidak sama pada setiap BF apakah 67-69 pekan. Dalam kondisi seperti ini jelas saja selalu terjadi over supply produksi unggas pedaging sehingga terjadi harga LB dikandang peternak yang hancur pada setiap siklus budidaya. Pada permasalahan ini, diharapkan Pemerintah dapat menjadi pensolusi yang berjangka panjang.
Saran penulis :
1.Pemerintah Cq. Dirjen Peternakan & Keswan Kementerian Pertanian RI seharusnya memiliki data akurat populasi dan produksi bibit unggas per perusahaan BF per jenis strain serta memiliki juga angka patokan SC yang sesuai dengan masing masing strain yang dimiliki setiap perusahaan BF. Upaya untuk memiliki data yang akurat dari Pemerintah bisa didapat dengan melakukan segera AUDIT seluruh Breeding Farm yang ada di Indonesia. Selanjutnya perusahaan BF dibatasi saja dengan yang ada sekarang untuk mempermudah pengawasan dan pengaturannya. Untuk menambah populasi bibit, bisa diperbesar jumlah impor rataan per perusahaan BF.
2. Dipercayanya Indonesia pada waktu impor GGPS, adalah sebagai indikator kepercayaan Internasional bahwa  kemampuan Indonesia untuk melaksanakan biosecurity dan menangkal terhadap penyakit menular pada stock GGPS sudah cukup baik. Artinya, food safety Indonesia dapat diterima Internasional dan ini sebuah peluang bagi Indonesia untuk melakukan atau mengkreasi pasar export hasil unggas Indonesia yang bisa menjadi prioritas Kementrian Pertanian RI.
3. Jika melakukan importasi GGPS, sebaiknya yang diimpor adalah DOC GGPS dan jangan dilakukan lagi impor telur tetas GGPS , karena bisa sarat dengan manipulasi  dan bisa terjadi pada saat konversi dari telur GGPS menjadi DOC-GPS, PS, FS. Siapa yang bisa mengawasi by product dari jenis kelamin line ABCD.
4. Harapan kita sebagai anak bangsa yang ingin mandiri didalam perunggasan Nasional, adalah bisa dihadirkan kembali importasi DOC-GGPS dalam berbagai strain Cobb, Aviagen dan Hubbard atau sudah saatnya Indonesia memiliki Pure-Line (Galur Murni) sebagaimana yang telah dirintis oleh Presiden Soeharto ketika mendukung PL-GM BROMO di Jawa Timur. Mengingat sudah cukup besarnya konsumsi daging ayam di Indonesia. Importasi GGPS menjadi GPS ke Indonesia akan lebih mudah pengawasannya daripada impor GPS.
5. Ayam ras modern sekarang ini, sudah semakin singkat periode capaian berat panen dan FCR-nya yang efisien, akibatnya makhluk genetic selection ini, memerlukan kandang FS yang sangat nyaman serta oksigen yang cukup dan berkualitas. Sistem perkandangan yang nyaman perlu dipolakan kepada setiap peternak rakyat agar didapat tingkat kematian yang kecil serta produktifitas yang baik sehingga capaian efisiensi tinggi terwujud dan berdaya saing.
6. Mahalnya harga jagung didalam negeri hingga mencapai Rp.4.500- 4.700,-/kg dipetani membuat para peternak layer sulit mendapatkan jagung, sementara harga panen telur yang terdesak turun dipeternak. Pada sisi peternak Broiler, harga pakan semakin tinggi Rp. 7.000,-/kg di peternak dampaknya adalah HPP Broiler terdesak tinggi sementara harga ketetapan Pemerintah untuk LB Rp.18.500,-/kg. tidak menggairahkan bagi peternak rakyat dan PMDN perunggasan. Yang menikmati keuntungan besar saat ini adalah para perusahaan integrator yang memiliki HPP Broiler LB hanya Rp.15.000,-/kg serta para pedagang dan para Broker ayam. Seharusnya Pemerintah mampu menekan harga bahan baku komponen HPP peternakan unggas salah satunya harga jagung yang rasional dan wajar terkendali. Bagaimana Brazil bisa menghasilkan jagung dengan harga Rp.2.200,-/kg di petani dan petani jagung mereka bisa untung. Â Tidakkah Indonesia bisa bercermin kepada Brazil dalam hal jagung ?
7. BULOG yang di berikan wewenang untuk mengatur jagung selama ini, adalah sudah benar, akan tetapi fasilitas penyimpanan jagung di BULOG adalah sangat  memprihatinkan. Seharusnya BULOG sudah memiliki SILO dan Corn-Dryer yang representatif baik untuk menjaga kualitas jagung Nasional yang disimpan dan menyebar pada beberapa sentra daerah konsumsi jagung terbesar.   Â