Para pembaca selalu mendengar didalam perekonomian Nasional dengan over supply komoditas tertentu (kelebihan pasokan-kelebihan penawaran) yang mengakibatkan harga komoditas tersebut hancur bisa jauh murah dari harga pokok produksi. Sehingga mengakibatkan banyaknya para peternak dan petani mengalami kerugian usaha dari komoditas yang mereka jalankan. Semua ini bisa terjadi disebabkan dengan tidak teraturnya atau tidak seimbangnya antara penawaran dengan permintaan. Ketidak seimbangan antara penawaran dengan permintaan terjadi karena tidak berjalannya atau tidak adanya fungsi pengawasan kestabilan pengadaan dari komoditas tersebut.
Semua rakyat yang berada didalam sebuah Negara, mempercayakan kepada Pemerintah yang terpilih, adalah untuk dapat mengerjakan semua fungsi pengaturan dan pengawasan atas semua komoditas ekonomi pada sebuah Negara termasuk aspek politik serta sosial kemasyarakatan dan ini diamanatkan didalam Undang-Undang (UU) sebuah Negara. Kalau didalam sebuah Negara ada Pemerintahan yang tidak menjalankan amanat UU (UU-nya tentu yang benar dan berkeadilan) atau ada para oknum Pemerintahan yang hanya memanfaatkan UU untuk kepentingan kelompok, maka Pemerintahan tersebut adalah Pemerintahan lumpuh yang manipulatif serta salah manajemen yang tidak ada manfaatnya bagi seluruh rakyat.
Dominasi perunggasan Nasional dari konsumsi ayam ras, tidak bisa disanggah lagi dan sudah sangat mengalahkan secara telak konsumsi ayam kampung. Hal ini bisa terjadi karena berhasilnya pemerintahan Soeharto mensosialisasikan ayam ras kepada konsumen Nasional. Disamping keunggulan komparatif yang yang sangat jauh jika dibandingkan dengan ayam kampung. Ayam ras memiliki berbagai keunggulan dapat menghasilkan percepatan daging ayam panen hanya dalam 30 hari untuk jenis Broiler serta dapat menghasilkan telur yang cukup banyak untuk jenis ayam ras layer (petelur). Sedangkan ayam kampung untuk menghasilkan daging adalah sangat lambat hampir 2 bulan lebih dan telur ayam adalah sangat sedikit (inbreeding factor) sehingga harga produksi ayam kampung selalu lebih mahal dan konsumen sangat sedikit mengkonsumsi ayam kampong (sangat mahal dikonsumen). Oleh karena itu untuk usaha skala ekonomi, masyarakat lebih menguntungkan jika berusaha produktif dengan komoditas ayam Ras secara genetika sudah unggul dibandingkan ayam kampung (ayam lokal).
Ada pernyataan Pemerintah yang agak keras yang ditujukan kepada para perusahaan Breeding Farm (BF) adalah : Â "Yth. Para Pimpinan Perusahaan Breeding. Kami informasikan bahwa hari ini tanggal 15 Juni 2017 adalah hari terakhir untuk menyetorkan Data Populasi dan Produksi. Mohon data yang disampaikan betul-betul valid. Kesungguhan Bapak dan Ibu untuk memberikan data merupakan bagian komitment dalam membangun Industri Perunggasan. Memberikan data yang tidak benar adalah KEBOHONGAN PUBLIK...DAN PASTI Â ADA RISIKO HUKUM. Demikian, atas kerjasamanya diucapkan terima kasih. DirBitPro : Dr.Ir.Surachman S. Cc. Pak Dirjen PKH."
Ternyata setelah menelusuri kenyataan semua aspek didalam rinci perekonomian ayam ras yang saat ini perputaran ekonominya telah mencapai Rp. 500 Triliun per tahunnya, ditemukan berbagai permasalahan yang tidak diketahui oleh masyarakat umum diantaranya adalah, ternyata tidak akuratnya data bibit ayam ras yang dimiliki Pemerintah selama ini, adalah merupakan sebab akibat terjadinya kehancuran harga live Bird (LB) pada tingkat pembudidaya di peternakan rakyat. Disamping itu angka patokan teknis para perusahaan pembibitan BF (Perusahaan Breeding Farm) seperti Saleable Chick (SC) yang dipatok dan disetujui serta disepakati oleh Pemerintah untuk semua strain hanya sebesar 130 ekor adalah angka yang bisa menimbulkan permasalahan over supply DOC Final Stock (FS) di pembudidaya secara Nasional.
Peningkatan dan capaian pertumbuhan ekonomi unggas ras setahun Rp.500 Triliun di Indonesia saat ini, tidak menampakkan terangkatnya kesejahteraan peternak unggas Indonesia, malah yang terjadi adalah tumpukan hutang serta kematian usaha para pembudidaya unggas ras. Yang terlihat sejahtera saat ini setelah berlakunya UU No.18/2009 adalah beberapa perusahaan terintegrasi besar perunggasan. Inilah kenyataan yang terjadi dan ironis memang. Â Â
Pembudidaya FS di Indonesia saat ini setelah berlakunya UU Peternakan dan Kesehatan Hewan No.18/2009, adalah 80% para perusahaan terintegrasi (memiliki BF, Feed Mills, RPA & Cold Storage), 15% Peternak kemitraan serta 5% Peternak mandiri. Sehingga pembentuk harga LB dipasar pedagang ayam adalah yang berada diposisi 80% dan merekalah yang memiliki BF serta berpengaruh penuh terhadap permasalahan angka SC dan pihak Pemerintah selama ini hanya manut saja tanpa memiliki bargaining position yang berwibawa.
Indukan ayam broiler untuk Indonesia adalah masih diimpor dari luar negeri. Ada 3 strain (galur) yang cukup populer  saat ini di Indonesia diantaranya strain Cobb, Ross, dan Hubbard. Masing-masing strain memiliki spesifikasi tersendiri. Misalnya : GPS (Grand Parent Stock) Cobb bisa menghasilkan turunan PS (Parent Stock) sebanyak 47,6 ekor dan 1 PS bisa menghasilkan turunan SC 147 ekor FS (Final Stock) ayam pedaging yang dikonsumsi masyarakat. Selanjutnya GPS Ross bisa menghasilkan turunan PS sebanyak SC 150 ekor FS.
Setiap GPS mulai bisa bertelur secara vertil selama sampai 25 pekan (week) selanjutnya GPS akan bertelur terus setiap hari selama 42-44 pekan (GPS afkir setelah berumur  67-69 pekan). Begitu juga Parent Stock (PS) sebagai anaknya GPS mulai bisa bertelur pada umur 25 pekan dan bisa selanjutnya bertelur setiap hari selama sampai 42-44 pekan (PS afkir setelah berumur  67-69 pekan). Harapan pencapaian berat  telur tetas 54 Gr. menjadi DOC berat 37 Gr. dikonsumen peternak rakyat selalu tidak tercapai. Didalam satu box DOC-FS berisi 102 ekor selalu terjadi berat DOC yang sangat bervariasi bahkan ada dibawah 35 Gr. Hal ini mengakibatkan biaya produksi yang sulit ditekan pada kandang kandang peternak rakyat. Pengawasan Pemerintah terhadap kualitas DOC selama ini sangat lemah. Â
Dengan spesifikasi masing-masing strain ini, angka SC saling berbeda sesuai dengan kelebihan dan kekurangannya. Oleh karena itu, Pemerintah sangat diperlukan untuk bisa melakukan manajemen bibit unggas ras sehingga supply dan demand bisa stabil seimbang di konsumen lalu berdampak kepada tingkat efisiensi harga FS dan populasi yang stabil di konsumen. Hal ini juga berdampak kepada kepastian usaha bagi setiap pembudidaya ayam ras. Â
Sebagai  patokan nyata : 1 ekor GPS Broiler -------- 47,6 ekor PS ------- 6.640 ekor FS selama setahun dikurangi dengan deplesi (tingkat kematian) untuk PS 9% dan FS 2%. Sehingga jika 1.000.000 ekor GPS akan menghasilkan 43 juta ekor PS dan selanjutnya akan menghasilkan 6 Milyar ekor DOC-FS setahun (1PS = 139,5 FS) (Asep Anang).
Ada Breeding Farm GPS-PS-FS Â di Indonesia sebanyak 16 perusahaan. Â Untuk mengatur dengan tingkat akurasi data yang tinggi, Pemerintah seharusnya sudah dapat mengklasifikasikan semua perusahaan BF berdasarkan spesifikasi strain masing-masing secara akurat termasuk penetapan SC per strain bagi masing masing perusahaan BF (bukan lagi rataan SC 130 ekor). Sudah saatnya semua perusahaan Pembibitan BF menyampaikan populasi bibit yang jujur dan benar didalam mendukung pengaturan Pemerintah yang baik dan benar bagi pembenahan serta tata niaga unggas ras yang berpotensi kedepan. Jika ada perusahaan BF yang nakal (sengaja gagal paham), maka Pemerintah harus menindak secara tegas dengan sanksi yang keras berdasarkan ketentuan yang ada dan Undang-Undang yang benar dan berkeadilan.
Sebagai contoh semerawutnya data unggas ras di Indonesia adalah, masing-masing perusahaan selama ini tidak jujur didalam menyampaikan data bibit GPS dan PS disamping bermain matanya dengan para petugas oknum Pemerintah didalam menampung data yang masuk. Akibatnya, seorang Dirjen Peternakan hanya bisa membuat solusi berdasarkan angka data karangan saja atau data yang telah direkayasa yang berdampak pada sebuah solusi yang amburadul (Solusi-solusian) dan ini sungguh sangat MEMALUKAN.Â
Dasar patokan perhitungan SC yang selama ini ditentukan dengan 130 ekor FS per PS, adalah kesepakatan yang salah dan menyesatkan. Sedangkan strain 1 ekor PS Ross bisa 150 ekor FS dan strain Cobb bisa 147 ekor FS, Indian River (IR) bisa 155 FS. Artinya ada selisih sebesar 17-25 ekor. Ambil saja selisih pesimistis SC ada 15 ekor FS per PS, jika ada 60 juta ekor FS per pekan (week) untuk keseimbangan pasar Nasional, artinya ada FS sebanyak 60 juta ekor x 52 pekan = 3.120.000.000 ekor FS/tahun. Artinya jika ada produksi PS sebanyak 24 jt ekor = 15 ekor x 24 jt ekor = 360 jt FS setahun merupakan selisih DOC-FS yang tidak terdata (ilegal) atau sebanyak 6,920 juta ekor per pekan tidak terdata. Jika didalam jumlah uang, ada sebesar 360 juta ekor x Rp.5.000,-/DOC-FS = Rp.1,8,-Triliun per tahun tidak jelas lari kemana dan sudah berapa tahun hal ini berlangsung ? Selanjutnya data pakan senilai 360 juta FS x 2,5 x Rp. 6.500,-/kg pakan = Rp.5,85,-Triliun/Tahun kemana ? Belum lagi masa afkir GPS dan PS yang tidak sama pada setiap BF apakah 67-69 pekan. Dalam kondisi seperti ini jelas saja selalu terjadi over supply produksi unggas pedaging sehingga terjadi harga LB dikandang peternak yang hancur pada setiap siklus budidaya. Pada permasalahan ini, diharapkan Pemerintah dapat menjadi pensolusi yang berjangka panjang.
Saran penulis :
1.Pemerintah Cq. Dirjen Peternakan & Keswan Kementerian Pertanian RI seharusnya memiliki data akurat populasi dan produksi bibit unggas per perusahaan BF per jenis strain serta memiliki juga angka patokan SC yang sesuai dengan masing masing strain yang dimiliki setiap perusahaan BF. Upaya untuk memiliki data yang akurat dari Pemerintah bisa didapat dengan melakukan segera AUDIT seluruh Breeding Farm yang ada di Indonesia. Selanjutnya perusahaan BF dibatasi saja dengan yang ada sekarang untuk mempermudah pengawasan dan pengaturannya. Untuk menambah populasi bibit, bisa diperbesar jumlah impor rataan per perusahaan BF.
2. Dipercayanya Indonesia pada waktu impor GGPS, adalah sebagai indikator kepercayaan Internasional bahwa  kemampuan Indonesia untuk melaksanakan biosecurity dan menangkal terhadap penyakit menular pada stock GGPS sudah cukup baik. Artinya, food safety Indonesia dapat diterima Internasional dan ini sebuah peluang bagi Indonesia untuk melakukan atau mengkreasi pasar export hasil unggas Indonesia yang bisa menjadi prioritas Kementrian Pertanian RI.
3. Jika melakukan importasi GGPS, sebaiknya yang diimpor adalah DOC GGPS dan jangan dilakukan lagi impor telur tetas GGPS , karena bisa sarat dengan manipulasi  dan bisa terjadi pada saat konversi dari telur GGPS menjadi DOC-GPS, PS, FS. Siapa yang bisa mengawasi by product dari jenis kelamin line ABCD.
4. Harapan kita sebagai anak bangsa yang ingin mandiri didalam perunggasan Nasional, adalah bisa dihadirkan kembali importasi DOC-GGPS dalam berbagai strain Cobb, Aviagen dan Hubbard atau sudah saatnya Indonesia memiliki Pure-Line (Galur Murni) sebagaimana yang telah dirintis oleh Presiden Soeharto ketika mendukung PL-GM BROMO di Jawa Timur. Mengingat sudah cukup besarnya konsumsi daging ayam di Indonesia. Importasi GGPS menjadi GPS ke Indonesia akan lebih mudah pengawasannya daripada impor GPS.
5. Ayam ras modern sekarang ini, sudah semakin singkat periode capaian berat panen dan FCR-nya yang efisien, akibatnya makhluk genetic selection ini, memerlukan kandang FS yang sangat nyaman serta oksigen yang cukup dan berkualitas. Sistem perkandangan yang nyaman perlu dipolakan kepada setiap peternak rakyat agar didapat tingkat kematian yang kecil serta produktifitas yang baik sehingga capaian efisiensi tinggi terwujud dan berdaya saing.
6. Mahalnya harga jagung didalam negeri hingga mencapai Rp.4.500- 4.700,-/kg dipetani membuat para peternak layer sulit mendapatkan jagung, sementara harga panen telur yang terdesak turun dipeternak. Pada sisi peternak Broiler, harga pakan semakin tinggi Rp. 7.000,-/kg di peternak dampaknya adalah HPP Broiler terdesak tinggi sementara harga ketetapan Pemerintah untuk LB Rp.18.500,-/kg. tidak menggairahkan bagi peternak rakyat dan PMDN perunggasan. Yang menikmati keuntungan besar saat ini adalah para perusahaan integrator yang memiliki HPP Broiler LB hanya Rp.15.000,-/kg serta para pedagang dan para Broker ayam. Seharusnya Pemerintah mampu menekan harga bahan baku komponen HPP peternakan unggas salah satunya harga jagung yang rasional dan wajar terkendali. Bagaimana Brazil bisa menghasilkan jagung dengan harga Rp.2.200,-/kg di petani dan petani jagung mereka bisa untung. Â Tidakkah Indonesia bisa bercermin kepada Brazil dalam hal jagung ?
7. BULOG yang di berikan wewenang untuk mengatur jagung selama ini, adalah sudah benar, akan tetapi fasilitas penyimpanan jagung di BULOG adalah sangat  memprihatinkan. Seharusnya BULOG sudah memiliki SILO dan Corn-Dryer yang representatif baik untuk menjaga kualitas jagung Nasional yang disimpan dan menyebar pada beberapa sentra daerah konsumsi jagung terbesar.   Â
Janganlah diera keterbukaan ini, kita mencoba dan berupaya untuk memanipulasi data hanya untuk kepentingan naluri kebohongan yang dipelihara dalam jangka panjang. Kapan kita bisa berbudaya dalam berdaya saing tinggi secara benar dan sehat didalam era pasar bebas dunia kini dan kedepan. Semoga tulisan ini sebagai sumbangsih penulis untuk pemberdayaan Perunggasan Nasional yang bisa mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat peternakan unggas di Indonesia khususnya peternakan rakyat. Aamiin. (Ashwin Pulungan)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI