[caption id="attachment_176226" align="aligncenter" width="555" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Oleh : Ashwin Pulungan
Sejak pergantian UU No.6 Tahun 1967 menjadi UU No.18 Tahun 2009, kondisi usaha perunggasan Nasional berubah drastis yang tadinya Peternakan berbasis ekonomi kerakyatan sejak tahun 1968-2009 berubah menjadi Peternakan berbasis kapital besar terintegrasi 2010-2012. Pada saat ini, peran ekonomi kerakyatan dalam sektor perunggasan Nasional menjadi dihilangkan dan tidak berfungsi sama sekali. Padahal sejak tahun 1968 pemerintah telah mengeluarkan dana puluhan Triliun rupiah kumulatif untuk sosialisasi unggas ras kepada masyarakat peternak dan konsumen sejak dalam program Inmas dan Bimas unggas di masa lalu.
* Program Ketahanan Pangan Pemicu Amburadulnya Perunggasan Nasional
Ketahanan Pangan yang digagas oleh pemerintah selama ini, telah menimbulkan distorsi pada tatanan usaha perunggasan Nasional dan mempengaruhi secara kuat terhadap pasal-pasal dalam UU No.18 Tahun 2009. Pengertian ketahanan pangan pada birokrasi pemerintah ternyata berupa kemampuan penyediaan pangan yang tidak ditujukan pada kemampuan swasembada pangan dari dalam negeri, akan tetapi, dari manapun penyediaan pangan bisa didapat apakah berasal dari impor, tidak menjadi masalah dan terpenting kecukupan pangan Nasional terpenuhi. Hal ini berakibat kepada pembinaan petani dan peternak dari pemerintah menjadi terabaikan, serta kekosongan potensi dalam negeri diambil alih oleh para perusahaan PMA apalagi UU-nya mendukung untuk itu. Tetap mahalnya komoditi hasil unggas pada pasar konsumen walaupun PMA mengelolanya secara terintegrasi, terkadang pihak pemerintah tidak cepat mengambil tindakan antisipasi dimana seharusnya pemerintah mengimpor saja daging unggas dan telur dari luar negeri. Saat ini tidak ada alasan bahwa impor daging ayam dan telur ayam akan mematikan usaha peternakan rakyat karena usaha peternakan rakyat hanya tinggal ± 4% - 6% dari pangsa pasar Nasional. Selebihnya adalah penguasaan pangsa pasar oleh PMA.
* Peta Perungasan Nasional
Sejak peluncuran UU No.18 Tahun 2009 hingga kini, para perusahaan besar unggas terutama para perusahaan PMA terintegrasi, telah mendominasi pangsa pasar unggas Nasional sebesar ±80% dan perusahaan PMDN ±16% lalu peternakan rakyat mandiri yang masih bertahan hanya tinggal ±4% saja itupun tinggal menghitung hari menuju kebangkrutannya. Bisa dibayangkan berapa besarnya kerugian peternak rakyat serta pemerintah dalam sektor perunggasan ini. Pada kenyataannya, telah terjadi penciptaan pengangguran dari para peternak rakyat disamping kerugian modal yang dideritanya. Selanjutnya pemerintah telah menyia-nyiakan dana kumulatif yang berasal dari rakyat sejak sosialisasi ayam ras hingga tahun 2009. Pada saat ini dengan UU No.18 Tahun 2009 fungsi Pemerintah Pusat dan Daerah cq. Kementan RI dan Dinas-Dinas Peternakan hanya mengurus peternakan PMA terintegrasi alias kacungnya investasi asing dan mereka masih digaji dari uang rakyat akan tetapi tidak mengurus rakyatnya (ironis).
Setelah unggas ayam ras menjadi potensi ekonomi yang perputarannya telah mencapai ±Rp. 130 triliun/Tahun saat ini, dan potensi yang besar dan sedang bertumbuh itu, tiba-tiba diserahkan secara aklamasi kepada PMA melalui UU No.18 Tahun 2009. Jika saat ini ada perubahan kenaikan dan penurunan harga bahan baku unggas seperti DOC dan Pakan, itu artinya berada pada posisi peternakan rakyat yang tidak lebih dari ± 4% - 6% pangsa pasar Nasional. Artinya perubahan apapun dalam harga bahan baku unggas saat ini, tidak akan signifikan merubah strategi ekonomi perunggasan Nasional apalagi bagi peternakan rakyat yang tinggal ± 4% - 6%.
Lucunya, perunggasan Nasional yang telah dilakukan secara terintegrasi oleh para perusahaan PMA dan bahkan PMA telah menguasai pangsa pasar Nasional ±80% , tidak juga bisa menciptakan efisiensi harga protein unggas di dalam negeri seperti daging ayam dan telur tetap saja berada pada posisi harga di konsumen yang sangat mahal. Hal ini bisa terjadi karena usaha perunggasan dijalankan secara monopoli dan kartel melanggar UU No.5 Tahun 1999 dan bahkan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) tidak mampu dan tidak mau untuk mendapatkan bukti-bukti pelanggaran tersebut.
* Harga Daging Unggas Menjelang Naiknya Harga BBM April 2012
Pada saat ini 13 Maret 2012, posisi harga DOC Rp. 4.750,-/ekor ; Pakan Rp.5.300,-/Kg harga ayam panen dikandang Rp. 13.000 - Rp.13.500,-/kg hidup ; Harga Pokok produksi Rp. 14.000,-/Kg hidup ; Karkas daging unggas bersih di konsumen Rp.25.000,-/Kg.
Tadinya harga dikandang peternak Rp. 14.000,- dan saat ini Rp. 13.000,-/kg hal ini terjadi adalah sebagai dampak dari naiknya harga kebutuhan hidup sebelum kenaikan BBM sehingga permintaan akan daging dan telur ayam melemah. Begitu juga terjadi pada harga telur ayam yang tadinya dikonsumen Rp.17.000,-/Kg sekarang hanya Rp.14.500 s/d Rp.15.000,-/Kg. Dampak terhadap pemberitaan Flu Burung (Avian Influenza) memang ada pengaruhnya akan tetapi sangat kecil jika dibandingkan dengan dampak pemberitaan akan naiknya harga BBM.
Produksi DOC saat ini sejumlah 35 juta s/d 40 juta ekor/pekan jumlah inilah yang membuat posisi harga unggas panen tidak sesuai dengan biaya produksi dikandang peternak rakyat. Harga ayam panen dikandang saat ini ditentukan mutlak oleh para perusahaan PMA yang menguasai ± 80% pangsa pasar Nasional (leader price).
Apabila harga BBM naik menjadi Rp. 6.000,-/Liter, maka harga daging unggas dan telur di konsumen pasti naik harganya pada kenaikan kisaran ± 20% s/d 30%. Hal ini terjadi karena naiknya biaya transportasi serta naiknya harga bahan baku ternak unggas. Agar penawaran dan permintaan daging unggas berada pada posisi seimbang dari dampak daya beli konsumen semakin melemah maka produksi DOC akan dikurangi menjadi hanya 25 juta s/d 28 juta ekor/pekannya. Dampak semua kenaikan biaya hidup yang semakin tinggi pada masyarakat mengakibatkan asupan gizi protein terjangkau pada masyarakat menjadi sangat berkurang.
Adanya beberapa penggalakan program intensifikasi penanaman jagung yang akan dilaksanakan oleh para produsen makanan ternak di dalam negeri, tidak akan menurunkan harga pakan unggas kedepan. Hal penanaman jagung ini dilakukan para perusahaan PMA karena naiknya harga biji-bijian Internasional salah satunya jagung dari luar negeri sebagai dampak perubahan iklim dunia yang ekstrim saat ini. (Ashwin Pulungan - PPUI)
Salam Ketahanan Pangan Untuk Mempertahankan Kemampuan Swasembada Budidaya Hanya dari Dalam Negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H