By: Dudy Subagdja No 57
“Jika dulu sifat manjanya membuatmu tertawa lucu, cemburunya berarti sayang, bahkan airmatanya bisa menyayat hatimu, tapi sekarang semuanya itu jadi alasan kamu untuk melepaskannya, maka renungkanlah kembali perbuatanmu!”
Mungkin emak beruntung mempunyai anak semata wayang seperti aku, bukan karena wajahku yang cukup ganteng, tapi karena aku pandai membahagiakan hati emak, pagi buta aku mengurusi segala kebutuhan emak, dari mencuci hingga menyetrika, memasak dan mencuci piring, belum lagi berjibaku, menimba air untuk emak mandi. Maklum emakku secara fisik memang tidak sempurna, kedua kakinya memang cacad dari lahir,ia harus menggunakan kursi rodanya.
Ayah sudah lama meninggalkan kami, wafat takkala di usiaku tiga tahun, begitu cerita ibuku. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari emakku membuka praktek urut.untungnya aku tak tinggal diam, aku meloper Koran setiap pagi, sambil berangkat kekantor, Langgananku lumayan banyak, jadi aku tak perlu repot-repot menjajakan Koran. Karena tugasku yang rangkap itulah aku sering datang terlambat kekantor.
“Kamu malu punya pacar seperti aku” Tanya Fahmi, matanya memandangi rintik hujan.
“kenapa kamu Tanya hal itu berulang-ulang” Putri cemberut,bibirnya monyong beberapa mili.
“terus terang aku tak memandang status”
“jadi? Jangan samakan aku sama cewek lain,ya!” Putri menyandarkan pipi kirinya ke bahu Fahmi, perlahan matanya dipejamkan sebentar. Ia tenggelam bersama lamunannya,hampir tak ada kata-kata yang terucap dari bibir mereka,deru hujan menenggelamkan suasana sore itu,tapi tidak untuk hati mereka.
Langit begitu gelap, hamparan kebun teh tidak lagi terlihat hijau,sebagian kabut sepenuhnya menutupi pandangan mata.
“kamu mau pulang bersamaku?” Fahmi meraih sepeda ontel tuanya.
“ayoo!” tangannya menepuk bahu Putri.