Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terima Kasih, Dua Kata yang Sering Terselip di Tengah Hiruk Pikuk

1 Desember 2024   07:46 Diperbarui: 1 Desember 2024   08:14 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Terima Kasih (Sumber: Credit/freepik)

Ini adalah sebuah perumpamaan

Saya mencoba membuat perumpamaan seperti ini; Anda sedang sibuk, dan tiba-tiba seseorang membantu mempermudah hidup Anda. Bisa jadi kasir minimarket yang ramah, teman yang menampung curahan hati Anda, atau bahkan pengemudi ojek online yang mengantarkan makanan tepat waktu. Tetapi setelah semua itu, Anda lupa---atau enggan---mengucapkan dua kata sederhana yaitu "terima kasih".

Dan kapan terakhir kali Anda dengan tulus berkata "terima kasih" kepada orang lain? Dua kata sederhana ini sering kali terlupakan di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern. Padahal, ucapan ini bukan hanya soal sopan santun, melainkan juga bentuk penghargaan kecil yang dampaknya luar biasa besar.

Ada banyak alasan mengapa orang sulit mengucapkan "terima kasih." Sebagian besar mungkin terlalu sibuk untuk sekadar merenung dan menyadari bantuan kecil yang mereka terima. Ada juga yang merasa gengsi---seolah-olah mengucapkan "terima kasih" itu membuat mereka terlihat lemah atau kalah. Lucunya, ini adalah ironi kehidupan; semakin kita merasa kuat dan mandiri, semakin kita lupa bahwa hidup ini tidak sepenuhnya hasil kerja kita sendiri.

Mengapa ucapan yang kelihatannya kecil ini sering terasa berat? Mungkin karena sebagian dari kita terbiasa berpikir bahwa bantuan adalah hal biasa, bukan sesuatu yang layak diberi apresiasi. Atau bisa juga karena kita terlalu fokus pada urusan sendiri hingga lupa memberi perhatian pada orang lain. Padahal, ucapan terima kasih tidak hanya mempererat hubungan, tetapi juga membawa energi positif, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Banyak orang merasa bahwa mengucapkan terima kasih adalah hal sepele. "Ah, mereka cuma melakukan tugasnya," kata mereka. Tapi, benarkah tugas seseorang otomatis menghilangkan hak mereka untuk dihargai? Kasir yang melayani Anda dengan senyum, teman yang meluangkan waktunya, atau tetangga yang membantu memegang pintu---semuanya pantas mendapatkan apresiasi kecil dari kita.

Di sisi lain, ada orang yang gengsi untuk mengucapkan terima kasih. Mereka merasa, dengan melakukannya, mereka terlihat bergantung atau tidak berdaya. Padahal, kenyataannya sebaliknya rasa syukur adalah tanda kekuatan emosional. Hanya orang yang benar-benar percaya diri yang mampu mengakui bahwa mereka membutuhkan orang lain. Ini prinsip zoon politicon, bahwa semua manusia membutuhkan manusia yang lain.

Yang menarik, budaya juga memainkan peran penting dalam cara kita melihat ucapan terima kasih. Di beberapa budaya kolektif, membantu orang lain dianggap sebagai kewajiban sosial, bukan sesuatu yang harus dihargai secara verbal. Dalam budaya lain, penghargaan lebih sering diekspresikan melalui tindakan daripada kata-kata. Namun, apakah cukup? Mungkin tindakan itu bermakna, tapi sering kali, kata sederhana seperti terima kasih dapat meninggalkan kesan lebih mendalam.

Ada juga faktor pengalaman dan pola asuh. Jika seseorang tumbuh di lingkungan di mana rasa syukur jarang diungkapkan, mereka cenderung membawa kebiasaan itu hingga dewasa. Ucapan terima kasih tidak menjadi bagian dari kosakata harian mereka. Akibatnya, mereka mungkin tidak menyadari bahwa kebiasaan kecil ini memiliki kekuatan besar dalam membangun hubungan.

Namun, bukan hanya kebiasaan atau budaya yang menjadi penyebab. Dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang terlalu sibuk atau terlalu teralihkan untuk menghargai hal-hal kecil. Kita cenderung memprioritaskan kecepatan daripada perhatian, efisiensi daripada koneksi. Di tengah ritme hidup seperti ini, ucapan terima kasih sering kali terselip begitu saja.

Yang lebih ironis, kita juga hidup di era di mana penghargaan formal semakin sering diberikan---dalam bentuk penghargaan, sertifikat, atau bonus---tetapi penghargaan informal seperti ucapan terima kasih semakin jarang terdengar. Kita sibuk memberi pengakuan besar, tetapi melupakan apresiasi kecil yang sebenarnya lebih tulus.

Padahal, penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan bersyukur, termasuk mengucapkan terima kasih, berdampak positif pada kesehatan mental. Orang yang sering mengungkapkan rasa syukur cenderung lebih bahagia, lebih optimis, dan memiliki hubungan yang lebih baik. Dengan kata lain, mengucapkan terima kasih bukan hanya untuk orang lain; itu juga untuk diri kita sendiri.

Coba bayangkan, betapa dunia ini akan lebih hangat jika setiap orang meluangkan sedikit waktu untuk berterima kasih. Bukan hanya dalam situasi besar, tetapi juga dalam momen-momen kecil. Terima kasih kepada sopir bus yang menunggu Anda menaiki kendaraan, kepada rekan kerja yang membantu Anda menyelesaikan tugas, atau bahkan kepada anak kecil yang memberi senyuman polos.

Tidak sulit untuk memulai kebiasaan ini. Ucapan terima kasih tidak memerlukan biaya, tidak membutuhkan waktu lama, dan tidak mengurangi martabat Anda. Sebaliknya, itu memperkuat koneksi, membangun kepercayaan, dan menyebarkan energi positif ke lingkungan Anda.

Sebagai masyarakat, kita juga bisa mendorong budaya terima kasih dengan memberi contoh. Orang tua dapat mengajarkan anak-anak mereka untuk selalu berterima kasih, baik kepada keluarga maupun orang asing. Perusahaan bisa menciptakan budaya kerja di mana apresiasi verbal menjadi bagian dari komunikasi sehari-hari.

Mungkin beberapa dari kita masih merasa canggung mengungkapkan rasa terima kasih secara langsung. Tetapi kabar baiknya, ada banyak cara untuk melakukannya. Anda bisa mengucapkan terima kasih dengan senyuman, dengan catatan kecil, atau bahkan dengan pesan singkat. Yang penting adalah niat tulus di baliknya.

Namun, jangan lupa bahwa terima kasih bukan hanya tentang mengucapkan, tetapi juga tentang merasakan. Ucapan yang paling tulus adalah yang berasal dari kesadaran mendalam bahwa kita hidup dalam jaringan saling keterhubungan. Tidak ada yang sepenuhnya mandiri; semua orang, pada suatu titik, membutuhkan orang lain.

Jadi, mari kita mulai menghargai seni kecil ini. Mulailah dengan yang sederhana: ucapkan terima kasih kepada orang-orang terdekat Anda. Jangan menunggu momen besar; lakukan di momen-momen kecil yang sering terlupakan. Karena terkadang, kebahagiaan itu datang bukan dari apa yang kita terima, tetapi dari cara kita menghargai apa yang ada.

Dua kata sederhana ini memiliki kekuatan untuk mengubah hubungan, memperbaiki suasana hati, dan bahkan memperbaiki dunia. Jadi, kapan terakhir kali Anda mengucapkan terima kasih dengan sepenuh hati? Kalau belum, mungkin sekarang adalah saat yang tepat. Karena di balik dua kata ini, ada pesan besar yang selalu relevan: bahwa kebaikan, sekecil apa pun, pantas dihargai.

Mengucapkan "terima kasih" adalah bentuk investasi kecil untuk hubungan yang lebih baik. Ini memperkuat koneksi sosial, menciptakan suasana hati yang positif, bahkan meningkatkan kesehatan mental. Orang yang mendengar ucapan terima kasih cenderung merasa dihargai, dan pada gilirannya, lebih termotivasi untuk melakukan hal baik. Efek domino kebaikan ini bisa jadi sangat besar.

Maka, mari kita mulai menghargai lagi seni kecil dalam berkata "terima kasih." Ucapkan kepada pengantar paket yang sudah menembus hujan, kepada teman yang memberi saran, atau kepada siapa pun yang membantu Anda hari ini. Jangan gengsi, jangan tunda. Dua kata ini tidak memerlukan banyak usaha, tetapi siapa tahu, efeknya bisa mengubah hari seseorang.

Dan perlu digaris bawahi bahwa, kebahagiaan itu tidak datang dari hal besar---cukup dari dua kata yang diucapkan dengan tulus, terima kasih. Karena siapa yang bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan, maka akan ditambah nikmatnya, sedangkan siapa yang menutupi rasa Syukur dan rasa terima kasihnya, maka warningnya jelas; sesungguhnya rasa sakit itu sangat pedih.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun