Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - neras suara institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Kurikulumnya, Tapi Mindsetnya

20 November 2024   09:10 Diperbarui: 20 November 2024   09:24 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern, termasuk dalam dunia pendidikan. Salah satu inovasi yang ditawarkan dalam pendidikan indonesia adalah deep learning, sebuah pendekatan kecerdasan buatan yang mampu memproses data besar untuk mengenali pola dan memberikan rekomendasi pembelajaran yang spesifik.

Dalam skala global, deep learning telah membawa harapan besar untuk menciptakan pembelajaran yang lebih personal, adaptif, dan efisien. Namun, di Indonesia, dengan segala keberagamannya, pertanyaannya adalah bagaimana teknologi ini dapat diterapkan tanpa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebudayaan lokal?

Pendekatan teknologi seperti deep learning sejalan dengan gagasan konstruktivisme Jean Piaget (1950), yang menekankan pentingnya pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu. Howard Gardner (1983), dengan teori kecerdasan majemuknya, juga menegaskan bahwa setiap individu memiliki potensi unik yang berbeda---baik itu dalam kecerdasan linguistik, logis, visual, atau interpersonal.

Dalam konteks ini, deep learning membuka peluang untuk mengidentifikasi dan mengembangkan potensi siswa secara lebih spesifik, bahkan di wilayah terpencil sekalipun. Namun, tantangan untuk mewujudkan hal ini di Indonesia tidaklah sederhana. Salah satu hambatan utama yang tampak adalah kesenjangan akses terhadap teknologi. Di banyak daerah pedalaman, akses internet bahkan listrik masih menjadi barang langka.

Kondisi ini mencerminkan apa yang disebut Andre Gunder Frank (1966) sebagai "dependensi," di mana daerah-daerah marginal bergantung pada pusat-pusat ekonomi atau teknologi di perkotaan. Solusinya adalah percepatan pembangunan infrastruktur digital yang menjangkau pelosok negeri. Selain itu, subsidi perangkat teknologi menjadi langkah krusial agar semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pembelajaran berbasis teknologi.

Tidak hanya insfrastruktur, masalah yang lain adalah kesiapan tenaga pendidik. Everett Rogers (1962) dengan difusi inovasi, menekankan bahwa keberhasilan penerapan teknologi baru sangat bergantung pada agen perubahan, yaitu para guru.

Sayangnya, banyak guru di Indonesia belum mendapatkan pelatihan memadai tentang penggunaan teknologi berbasis kecerdasan buatan seperti deep learning. Pelatihan berbasis praktik, yang tidak hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi tetapi juga cara memanfaatkan data untuk meningkatkan pengajaran, menjadi kebutuhan mendesak.

Di sisi lain, ada isu penting tentang pengelolaan data siswa. Michel Foucault (1977) mengingatkan bahwa data tidak hanya merupakan alat, tetapi juga bentuk kuasa yang bisa digunakan untuk kepentingan tertentu.

Dalam konteks pendidikan, privasi data siswa harus dijaga dengan ketat agar teknologi ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan komersial atau politik. Regulasi yang tegas dan transparan menjadi fondasi untuk memastikan bahwa teknologi ini benar-benar digunakan untuk tujuan pendidikan.

Ilustrasi Guru dan Pendidikan (Sumber: Pixabay)
Ilustrasi Guru dan Pendidikan (Sumber: Pixabay)

Perspektif Kearifan dan Maindset Inklusivitas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun