Guru dikenal dengan pahlawan tanpa tanda jasa. Mulia sekali representasi "pahlawan" terhadap guru.
Hal ini didukung dengan fakta sosial bahwa bisyarah atau gaji guru honorer itu lebih kecil ketimbang pasukan kuning.
Namun, tetap saja citra seorang Guru tetap luar biasa dan lebih cerah. Seorang profesor tidak akan meraih gelarnya tanpa melewati tangan dingin seorang guru.
Begitu juga, pengusaha, pegawai dan lain sebagainya. Hampir semua manusia memiliki keterkaitan dengan sosok seorang guru.
Guru, digugu dan ditiru. Terminologi Jawa menyebutnya bahwa guru adalah orang yang sudah mampu menyelesaikan problem individu. Artinya selesai dengan dirinya sendiri.
Sehingga, yang kerap muncul adalah pengabdian, khidmat dan perjuangan. Hal ini tentu dengan prinsip dasar kepekaan membangun manusianya.
Guru, juga memiliki keeratan dengan kedalam berpikir dan keluasan cara pandang. Tidak serta merta menjadi hakim garis atau jaksa sebuah persoalan tanpa perenungan panjang.
Guru, juga memiliki keluasan dalam membidangi anak didiknya, siapapun itu diterima. Selagi niat dan tujuannya adalah mengembangkan diri sebagai manusia.
Agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi siapapun. Khoirunnas anfa'uhum linmas. Ini jelas menjadi dasar pondasi bahwa title guru itu bisa disandangkan kepada orang-orang yang memiliki kebermanfaatan bagi siapapun.
Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, agaknya bergeser sedikit ke arah pemahaman bahwa jasanya harus dihargai.