Pendidikan, adalah sebuah kata yang memiliki makna dan interpretasi sangat luas. Pendidikan bermakna lembaga, berarti institusi yang menyediakan transformasi pengetahuan.
Di mana terjadi proses transfer materi dari guru kepada siswa. Sedangkan, pendidikan dalam makna nilai, adalah proses pendampingan, pembentukan karakter siswa sebagai manusia.
Di samping bermakna tarbiyah, pendidikan juga memiliki interpretasi ta'limiyah. Interpretasi ini kerap dijadikan dasar bahwa guru dan siswa adalah subjek dan objek yang saling mengisi.
Pendidikan dalam ruang epistimologi berarti proses pembentukan jati diri. Di mana baik guru atau siswa memiliki fitrah sebagai pembelajar. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak ada batasnya sama sekali dalam kontek pembelajar.
Ki Hadjar Dewantara menegaskan dengan tiga dasar pokok pendidikan. Ini sangat mafhum di kalangan masyarakat. Ing ngarsha sung tuladha, ing madya Mangun karsa, Tut Wuri Handayani.
Tiga term filosofis ini kerap dijadikan idiom-idiom proses belajar. Bahwa seorang guru juga bisa menjadi seorang siswa dalam kondisi tertentu.
Penegasan bahwa pendidikan itu penting, dan pembelajaran adalah siklus empirisnya adalah ketika seorang guru harus mengevaluasi proses pembelajaran.
Bukan secara administratif yang harus diukur dengan angka dan standart tertentu. Terpusat atau tidak, terpimpin atau tidak. Ini masalah substantif, di mana muhasabah itu dilakukan sebagai pendekatan emosional dalam membersamai proses perkembangan siswa sebagai "manusia".
Memahami posisi sangatlah penting dalam kajian empirisme. Karena ruang kendalinya adalah keberlangsungan dan pengembangan diri.
Ing ngarsha sung tuladha. Posisi guru adalah pemberi contoh. Guru bukan hanya sebatas instruktur. Tetapi sebagai rekan kerja yang memberikan penalaran kepada siswa tentang pentingnya sebuah proses. Tentang kedalam batin untuk merenungkan hal-hal yang terjadi.
Dengan kata lain, guru adalah role model bagi siswa yang harus bertanggung jawab atas predikat role modelnya.
Sehingga, ketika kesadaran role model ini sama sekali dihiraukan, maka jangan mengeluh ketika para siswa jauh dari ekspektasi dewan guru. Sehingga ia menjadi sasaran poin atau aturan-aturan nihil solusi.
Artinya, bukan masalah evaluasi terpimpin, tetapi evaluasi mendalam. Objeknya adalah diri sendiri. Sehingga ketika menjadi role model "ing ngarsha sung tuladha" benar-benar menjadi contoh bagi perkembangan mental siswa.
Ing Madya Mangun Karsa, sebuah tindakan proporsional dalam turut serta mendampingi anak dalam menemukan serta menumbuhkan potensi baik pedagogiknya, psikomotoriknya, afektif pun kognitifnya.
Siswa dilatih untuk berani mengambil resiko dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Bukan malah sebaliknya, dituntut untuk menjadi baik namun dasar kesadarannya tidak dibangun.
Pengertian bahwa manusia memiliki daya guna untuk berpikir dan bersikap saling menghargai. Menghormati yang lebih dewasa, tenggang rasa, peka terhadap lingkungan, dst. Hal ini perlu diterangkan terlebih dahulu, sebelum kontrak forum atau daftar pelanggaran dan poin yang njlimet.
Perlu diingat, banyak kasus bahwa angan-angan yang dipaksakan akan tak sejalan dengan fakta sosial. Apa yang dibutuhkan oleh siswa? Mengapa siswa bersikap demikian? Bagaimana sikap guru memandang siswa? Ini adalah rangkaian analisi falsafi yang disadari atau tidak harus menjadi gerak swotnya.
Sehingga, problem solving anak-anak yang kebanyak mencari pelarian, depresi saat ujian dan lain sebagainya itu tidak terjadi. Agaknya kepekaan itu juga harus dimiliki oleh siapapun, termasuk guru sekalipun.
Tutwuri Handayani, dari belakang memberi dorongan,support sistem itu penting untuk perkembangan dan kecenderungan siswa. Ini yang perlu disadari baik-baik.
Terkadang sistem menjadi alasan rumitnya menentukan motivasi bagi siswa, sehingga aturan jumud itu saja yang masih diterapkan, melanggar dihukum, melanggar lagi dipoin, melanggar lagi dikeluarkan, tanpa adanya komunikasi mendalam apa alansan atau problem solving yang dihadapi oleh siswa.
Persoalan utamanya memang egoisme. Bahwa khawatir terlihat biasa-biasa saja itu terjadi di mana-mana. Termasuk dalam dunia pendidikan.
Kegagahan posisi, jabatan, bahkan intelektual sekalipun, harus dipertahankan bagaimanapun caranya. Hal ini sama sekali tidak sejalan dengan prinsip kebudayaan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara; mendidik manusia, harus mengenal sifat dasar manusia, yaitu saling membutuhkan dan mengisi.
Maka, jangan salahkan jika terjadi tawuran antar siswa, antar lembaga. Guru demo kenaikan gaji, dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena tidak ada upaya mengenali problem solving di masing-masing lini.
Pendidikan yang seharusnya sejalan dengan cita-cita luhur, mencerdaskan kehidupan bangsa itu adalah membangun mental dan kepekaannya. Bukan doktrinasi ataupun intimidasi. Karena perundungan yang tersistem itu justru menjadikan pendidikan kabur dari misi dan visinya.
Sehingga, 3 falsafah yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara di atas adalah aspek dasar yang harus dipahami dan dijadikan dasar perenungan juga bagi kita semua, karena pendidikan adalah ruang yang terbuka bagi siapapun untuk mengembangkan dirinya, bukan untuk mengangkat egoisme lembaga atau segelintir orang saja.
Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H