Sore tadi di Dampit sedang diguyur hujan diiringi angin yang terbilang kencang, namun hanya kisaran 10 sampai 15 menit saja. Selepas itu hujan reda, namun matahari masih malu-malu menampakkan sinar sorenya. Saya pikir enak ini, sore-sore makan gorengan sambil ngopi – ngudut. Akhirnya saya beli gorengan ke warung langganan dekat pom bensin Pamotan Dampit.
Sesampai di sana, saya basa-basi sama ibu penjual gorengan, “bu, tumbas gorengan nggih, campur,” (Bu, saya beli gorengan, campur). Dengan isyarat anggukan kepala lalu tangan ibunya meraih kantong plastik dan memilah-milah nampan berisi gorengan dengan alat penjepit. “Gorengane sewuan ya mas!, lengo larang sak ki.” (Gorengannya seribuan ya mas, minyak mahal sekarang) Ucap ibunya sambil memasukkan weci, tahu brontak, tempe menjes dan rondo royal (semacam tape singkong yang dibaluri tepung lalu digoreng” ya penyebutan nama gorengan memang aneh-aneh di sini, sekedar infromasi bahwa bakwan kalau di sini istilahnya dadar jagung, kalau yang isinya ada sayuran lalu digoreng dengan tepung di sini namanya weci dan ote-ote.
Tanpa basa-basi saya memberikan uang saya dengan sejumlah gorengan yang ada di dalam kantong plastic itu, ada sekitar 10 gorengan. Dengan kata lain, saya membayar dengan uang 10 ribu rupiah.
Kebijakan tentang HET (Harga Eceran Teringgi) pada minyak goreng sudah dicabut dan ditetapkan oleh pemerintah bahwa harga minyak curah menjadi 14.000 per-liternya, sedangkan minyak kemasan diserahkan pada harga pasar (Kompas, 22/Maret, 2022). Pada dasarnya, kearifan kuliner di masyarakat sangatlah kaya. Tentu cara memasaknya tidak hanya menggunakan minyak goreng, ada yang dikukus, direbus, dibacem, dan lain sebagainya.
Kekayaan akan kearifan kuliner inilah yang kemudian perlu diperhatikan, oleh siapapun, tidak hanya pemerintah. Ya…, kita punya tanggung jawab, soalnya kita tiap hari makan, kecuali yang sedang tirakatan puasa lho. Tapi, apapun itu manusia membutuhkan asupan gizi dan nutrisi agar menjadi tenaga serta energi dalam menjalani kehidupan, yang terpenting sehat sih.
Akan tetapi, balada minyak goreng yang warnanya mirip keemasan ini cukup membuat dunia perdapuran hampir ngguling soblukane, hampir-hampir membuat dapur tidak ngebul. Atau karena warnanya minyak kemasan seperti emas, jadi dimahalkan. Apalagi pas mahal, kuota minyak melimpah. Ini kan jadinya seperti makan mie goreng yang direbus, tapi pakai tangan, langsung muluk. Repot jadinya, runyam urusannya.
Saya sebagai penikmat gorengan jadinya juga mengeluh, biasanya uang 10 ribu itu, saya belikan gorengan 8 ribu, lalu yang 2 ribu saya belikan eceran rokok produksi Kediri yang logo di bungkusnya berupa gudang itu lho. Nah, sekarang jadinya kan nggak bisa beli eceran rokok. Wah belaen ini. Saya sebagai rakyat juga harus menuntut hak saya atas rokok eceran yang dua ribuan itu.
Tapi bukan itu masalahnya, ini permisi ya, nuwun sewu, saya Cuma ingin bertanya, mengapa harga minyak bisa naik drastis begitu sih? Memang benar kata bu Mega, "saya itu sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya mengoreng? Sampai begitu rebutannya?”
Bahkan Pak Menteri Perdagangan saja bingun menghadapi minyak goreng ini, giliran harga murah, minyak gorenya langka, giliran minyk goreng melimpah, harganya juga meroket.
Agaknya, masalahnya bukan pada menggoreng atau tidak, tetapi pada pendistribusian pasar. Kalau masalah menggoreng, bukan hanya ibu-ibu, saya kalau pagi-pagi sering menggoreng nasi sisa tadi malam, kan eman kalau dibuang. Ya beginilah nasib rakyat.
Akhirnya, saya ingin mencoba mundur ke beberapa tahun di masa kecil saya. Bahwa ternyata emak dari ibu saya, dan beberapa warga di desa saya sering membuat minyak dari kelapa, nah… blondonya atau santan yang yang menggumpal dan berwarna coklat kehitaman itu, selepas disaring bisa dibuat lauk untuk makan.
Sambil makan gorengan di ruang tamu, saya mikir, lah iya kan Indonesia ini kaya dengan kelapa, bahkan kelapa sawit jangan ditanya, berapa hektar luasnya. Ini hanya mengandaikan, andai saja di desa-desa ada lumbung pangan yang tidak hanya fokus pada tebu, padi dan pupuk, tetapi juga pada penyediaan bahan-bahan makanan, salah satunya produksi minyak kelapa misalnya. Kog kayaknya perkara harga minyak yang naik bukan lagi jadi masalah.
Di samping itu, kelapa yang dipanen dari petani bisa dihargai agak pantas, yang biasanya harga satu kelapa itu 3 ribu, itu kalau bakulnya ngambil sendiri dari pohon, tapi kalau petaninya yang memanen sendiri, bisa 4 ribu sampai 5 ribu rupiah. Nah, kalau ada lumbung pangan di desa dan dikoordinir oleh pemerintah desa kan enak ya, harga kelapanya bisa dibeli dengan harga yang agak pantas, misal 7 ribu atau 10 ribu rupiah, lalu diolah menjadi minyak oleh pengelola lumbung, lalu hasilnya dijual lagi ke masyarakat, kalau di desa sendiri harganya murah, tapi kalau yang beli dari kecamatan lain, atau antar kota, ya harganya harus tinggi dong, apalagi ada wacana 11% ppn-nya.
Nah, dengan begitu mau goreng atau tidak, bukan lagi masalah, karena harga minyaknya murah. Syukur-syukur bisa buat minyak kelapa sendiri, kan asyik. Tapi ini hanya lamunan saya saja lho. Jangan dianggap serius.
Tanpa sadar, gorengan saya tinggal dua, wah biasanya 8 ribu dapat 16 gorengan, itu bisa buat lauk makan juga di malam hari. Sekarang 10 ribu dapat 10 gorengan. tapi tidak masalah, saya masih bisa merebus sayuran kok untuk lauk makan nanti, sambil membuat sambal yang cabai dan tomatnya dikukus.
Cuma di antara dua sisa gorengan itu, saya kepikiran ibu penjual gorengan tadi. Jika di satu RT ada dua penjual gorengan, berarti kalau satu desa ada 40 RT bisa dibayangkan berapa penjual gorengan yang mengeluh? Lalu memutar otak untuk menghitung harga wortel, gubis, kecambah, tahu, tempe menjes, tepung, tabung gas yang warna hijau, yang khusus orang miskin tapi kebanyakan penggunanya orang-orang yang tidak miskin, tentu mumet.
Belum lagi kalau ngitungnya pakai kalkulator di hp, di tengah-tengah menghitung, ternyata ada pesan WA Grup Arisan emak-emak, uangnya dibawa kabur sama admin, pasti tambah keblasuk-blasuk. Saya Cuma penasaran harga produksi dan pendapatannya berapa? Kira-kira cukup nggak ya?
Eh…, tapi kana da rejeki lain dari Tuhan, santai saja wis, mau naik atau tidak harga minyak, saya yakin, haqqul yaqin, bahwa rakyat Indonesia itu besar hatinya, luas jiwanya, bahkan ridloan, diputer bagaimanapun, rakyat Indonesia tetap mateg, madep mantep dan semakin kuat imannya kepada Tuhan. Dan itu yang membuat Tuhan sungkan sama Rakyat Indonesia, akhirnya rejekinya dilimpahkan Oleh Tuhan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H