Akhirnya, saya ingin mencoba mundur ke beberapa tahun di masa kecil saya. Bahwa ternyata emak dari ibu saya, dan beberapa warga di desa saya sering membuat minyak dari kelapa, nah… blondonya atau santan yang yang menggumpal dan berwarna coklat kehitaman itu, selepas disaring bisa dibuat lauk untuk makan.Â
Sambil makan gorengan di ruang tamu, saya mikir, lah iya kan Indonesia ini kaya dengan kelapa, bahkan kelapa sawit jangan ditanya, berapa hektar luasnya. Ini hanya mengandaikan, andai saja di desa-desa ada lumbung pangan yang tidak hanya fokus pada tebu, padi dan pupuk, tetapi juga pada penyediaan bahan-bahan makanan, salah satunya produksi minyak kelapa misalnya. Kog kayaknya perkara harga minyak yang naik bukan lagi jadi masalah.
Di samping itu, kelapa yang dipanen dari petani bisa dihargai agak pantas, yang biasanya harga satu kelapa itu 3 ribu, itu kalau bakulnya ngambil sendiri dari pohon, tapi kalau petaninya yang memanen sendiri, bisa 4 ribu sampai 5 ribu rupiah. Nah, kalau ada lumbung pangan di desa dan dikoordinir oleh pemerintah desa kan enak ya, harga kelapanya bisa dibeli dengan harga yang agak pantas, misal 7 ribu atau 10 ribu rupiah, lalu diolah menjadi minyak oleh pengelola lumbung, lalu hasilnya dijual lagi ke masyarakat, kalau di desa sendiri harganya murah, tapi kalau yang beli dari kecamatan lain, atau antar kota, ya harganya harus tinggi dong, apalagi ada wacana 11% ppn-nya.
Nah, dengan begitu mau goreng atau tidak, bukan lagi masalah, karena harga minyaknya murah. Syukur-syukur bisa buat minyak kelapa sendiri, kan asyik. Tapi ini hanya lamunan saya saja lho. Jangan dianggap serius.
Tanpa sadar, gorengan saya tinggal dua, wah biasanya 8 ribu dapat 16 gorengan, itu bisa buat lauk makan juga di malam hari. Sekarang 10 ribu dapat 10 gorengan. tapi tidak masalah, saya masih bisa merebus sayuran kok untuk lauk makan nanti, sambil membuat sambal yang cabai dan tomatnya dikukus.
Cuma di antara dua sisa gorengan itu, saya kepikiran ibu penjual gorengan tadi. Jika di satu RT ada dua penjual gorengan, berarti kalau satu desa ada 40 RT bisa dibayangkan berapa penjual gorengan yang mengeluh? Lalu memutar otak untuk menghitung harga wortel, gubis, kecambah, tahu, tempe menjes, tepung, tabung gas yang warna hijau, yang khusus orang miskin tapi kebanyakan penggunanya orang-orang yang tidak miskin, tentu mumet.Â
Belum lagi kalau ngitungnya pakai kalkulator di hp, di tengah-tengah menghitung, ternyata ada pesan WA Grup Arisan emak-emak, uangnya dibawa kabur sama admin, pasti tambah keblasuk-blasuk. Saya Cuma penasaran harga produksi dan pendapatannya berapa? Kira-kira cukup nggak ya?Â
Eh…, tapi kana da rejeki lain dari Tuhan, santai saja wis, mau naik atau tidak harga minyak, saya yakin, haqqul yaqin, bahwa rakyat Indonesia itu besar hatinya, luas jiwanya, bahkan ridloan, diputer bagaimanapun, rakyat Indonesia tetap mateg, madep mantep dan semakin kuat imannya kepada Tuhan. Dan itu yang membuat Tuhan sungkan sama Rakyat Indonesia, akhirnya rejekinya dilimpahkan Oleh Tuhan.[]
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H