Gemuruh derap Langkah dan riuh tabuh tek tok untuk membangunkan sahur terdengar ramai di malam ke-23 Ramadhan tahun ini. Dingin masih menusuk ke tulang, angin malam rupanya ditangkap oleh daun pisang, suara daun pisang menggesek-gesek di genting rumah. Lamat-lamat kudengar suara cetekan kompor gas yang diputar, panci seperti dilemparkan ke atas kompor sehingga seperti terdengar pukulan keras. Sumber suara itu dari tetanggaku.Â
Pak Ponidi Namanya, ia tinggal di rumah sederhana dengan dinding dari anyaman bambu, di teras rumahnya ada dua kursi panjang yang sudah tambal sulam dengan paku dan serpihan bambu. Pintunya terlihat tak terkunci, karena hanya disanggah oleh kayu yang dipalangkan. Di sebelah kursi itu ada sebuah becak tua, berkarat, namun terlihat masih tegas.
Aku segera bangun dari tempat tidur, menuju dapur, mencari makanan, sisa lalapan tadi malam. Setahun ini aku ngekos dekat bantaran kali Ketawang. Aliran sungai yang dibangun oleh Belanda, masih berfungsi untuk sekedar kebutuhan mencuci baju dan mandi, kala PDAM sedang seret.
Pak Ponidi, laki-laki paruh baya yang hanya tinggal berdua dengan cucunya, Nana. Ayah dan ibu Nana lama pergi, sejak kejadian itu, Nana dititipkan kepada kakeknya, Pak Ponidi. Menurut cerita tetangga, ayah dan ibu Nana pergi karena terlilit hutang setelah mengikuti bisnis MLM. Karena setiap hari didatangi oleh penagih yang silih berganti, kemudian mereka pergi entah kemana, sudah lima lebaran mereka tak pulang, sampai Nana sudah berusia delapan tahun.
Setiap hari, Pak Ponidi mengayuh becaknya ke pasar, mengantar penumpang, sayuran, bahan-bahan sembako, kadang juga bekerja sampingan; memulung. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan sekolah Nana. Sehabis shalat subuh, ia membereskan rumahnya, lalu pergi ke pasar. Sedangkan Nana sendirian di rumah, ia sudah terbiasa, kadang ikut Riris, teman ngajinya.
Jika bulan puasa begini, Pak Ponidi bekerja hanya sampai siang, dzuhur biasanya sudah di rumah. Selepas itu ia tak kemana-mana, hanya setiap selepas shalat ashar ia mencari sayur, seperti daun kenikir, luntas, junggulan, kangkong rambat dan lain sebagainya, yang tumbuh di pinggir kali atau di ladang-ladang di dekat rumahnya.
Suatu sore, Ketika aku mengantarkan takjil dan beberapa makanan ke rumahnya, aku melihat Nana sedang tersedu, air matanya menerobos kedua kelopak mata bulat itu, pipinya basah, sesekali diusap dengan lengannya. Sedangkan Pak Ponidi tampak sedang memandang dinding bambu dengan tatapan kosong, buktinya ia terperenjat kaget Ketika aku mengucapkan salam sambil melongokkan kepalaku melewati daun pintu.
"Lho Nak Rudi. Masuk nak!" Perintahnya lembut, sambil menggandeng Nana, lalu mengantarkan ke kamarnya.
"Nana kenapa Pak? Kok kelihatannya sedang menangis?" tanyaku serius
"Oh, biasa Nak, anak kecil, minta nganu, apa namanya... emm, baju baru buat lebaran katanya." Suaranya terbata