"Maksud Pak RT bagaimana nggih?"
"Pak Ponidi tak terselamatkan Nak, ia gagar otak, kakinya patah, bahkan becaknya ringsek, hanya sehelai baju baru dan beberapa botol plastik berserakan dekat kejadian kecelakaan itu yang utuh."
"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,"
Aku belum mengiyakan, kemudian terbesit wajah Nana dalam benakku, aku membayangkan bagaiaman kesedihannya. Sanak saudara dan kerabat Pak Ponidi sudah tidak ada, ayah ibunya Nana juga tidak jelas kemana perginya. Jika nanti Nana ikut ke rumahku, apakah ia akan kerasan? Bagaimana jika ia terus-terusan menangis, mengapa tidak dirawat di sini saja? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti hujan lebat yang hampir membuat banjir bandang dalam dada.
___________________
Setelah siap penghormatan terakhir kepada Pak Ponidi, lalu memakamkannya di pemakaman umum, aku Kembali di panggil Pak RT dan beberapa warga yang sedang berkumpul di atas tikar, di depan rumah Pak Ponidi.
"Bagaimana tentang permintaan saya nak? Perkara tujuh harian pak Ponidi, akan ditanggung oleh pihak Takmir masjid, Tetapi Nana, semisal ikut Nak Rudi sementara bagaimana?"
"Secara pribadi saya tidak masalah pak, tetapi saya harus musyawarah dengan bapak dan ibu di desa."
"Alhamdulillah kalau begitu, kami sangat berterima kasih Nak."
Hari itu juga aku pulang dan mengatakan kepada bapak dan ibu, aku bersyukur ketika mereka mau menerima Nana. Kemudian aku kembali ke tempat kosku, menemui Pak RT dan mengatakan hasil perbincanganku dengan keluarga.Â
Pak RT sangat berterima kasih, ia sangat senang. Ia menepuk pundakku dan menyerahkan amplop tebal kepadaku. "Nak, ini sedikit urunan dari warga untuk  keperluan Nana sementara, untuk rumah Pak Ponidi nanti akan diurus oleh takmir masjid, dan akan diberikan kepada Nana kalau ia sudah dewasa kelak."
Aku hanya terdiam, dan setelah menemui Pak RT aku pergi menemui Nana, ia sedang ditemani beberapa Ibu-ibu, ia masih sesegukan. Aku menghampirinya, aku memanggilnya. "Nana, yang sabar ya nduk!" ia lalu berdiri dan memelukku, Gadis kecil ini tampak lemas, lunglai, ia sandarkan semua badannya di tubuhku, aku merasa kesedihannya. Perutku mulai basah dengan air matanya. "Sudah, jangan nangis lagi, sekarang Nana, ikut Mas Rudi, ketemu sama Bapak Ibu di rumah." Namun ia semakin manangis, semakin menjadi tangisannnya, aku berusaha menenangkannya.