Setiap perjalanan yang kita lalui, pasti bertaut dengan ketentuan dan kuasa Tuhan. Sukses atau tidaknya pada dasarnya tidak sepenuhnya tergantung bagaimana kita, melainkan kembali lagi kepada kuasa Tuhan. Namun, sebelum kita menjuruskan semua hal kepada Tuhan, perlu kita tarik benang merahnya.
Manusia atau alam semesta ada tentu dengan berbagai sudut pandang. Ada yang mengatakan dengan sendirinya ada, ada yang mengatakan bahwa lahir karena adanya teori bigbang, ada juga yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh kekuatan yang luar biasa, yang ada di luar manusia dan alam semesta itu sendiri.
Suatu hari, Purnomo datang ke rumah, ujug-ujug tanpa salam dan basa-basi, ia duduk bersila sembari mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya, di susul beberapa batang kemudian. Rupanya dia beli eceran.
Tak lama setelah asap mengepul dari mulut dan hidungnya, ia menatapku tajam, lalu bertanya, "Sebenarnya, kita ini hidup untuk apa?" Sontak, saya terdiam kaget. Pertama, saya tidak benar-benar memahami apa yang dimaksud, kedua, bagi saya hidup adalah perputaran dan rangkaian-rangkaian perjalanan. Perkara untuk apa dan bagaimana ke depan, kita serahkan kepada Tuhan.
Tetapi Purnomo masih saja menekan dengan pertanyaan tadi. Saya mencoba memulai percakapan dengannya. "Menurutmu, kalau kamu lapar, haus, ngantuk dan bosan ketika berdiam diri di rumah, lantas apa yang kamu lakukan?"
"Ya..., kalau lapar harus makan, kalau haus harus minum, kalau ngantuk yang merebahkan badan dan istirahat, dan kalau boring, ya keluar jalan-jalan atau ngopi misalnya."
"Berarti, setiap hal yang berkaitan dengan sebab akibat, pasti memiliki tujuan toh?"
"Iya, sebab saya lapar, saya makan, agar saya kenyang, bertenaga dan bisa melanjutkan aktifitas."
Saya pergi ke dapur sebentar untuk memasak air, obrolan ini kalau tidak dibarengi dengan ngopi kayaknya ada yang kurang.
Beberapa waktu kemudian, saya membawa dua gelas kopi dan kembali duduk di kursi yang terbuat dari anyaman penjalin.
"Saya sebenarnya tidak tahu pasti, jika sampean bertanya hidup ini untuk apa? Agaknya kita bisa diskusi saja. Bagaimana kalau meraba-raba jawaban sampean itu dengan berbagai perspektif. Bisa agama, bisa sosial, bisa ekonomi atau budaya, lalu nanti kita kerucutkan."
Purnomo masih terdiam sambil memutar-mutar gelas berisi kopi panas, mungkin ampasnya biar segera mengendap, maklum kopinya, kopi giras jadi bubuknya kasar.
"Oke, bagaimana kalau dalam perspektif agama?"
"Pertama ada sebuah ungkapan bahwa manusia dan jin, pun seluruh alam raya, diciptakan untuk mengabdi kepada Tuhan. Lantas manusia juga diciptakan dengan ragam potensi dan dinobatkan sebagai pemimpin di muka bumi, paling tidak memimpin keluarga atau diri sendiri."
"Jika demikian, pengabdian yang seperti apa? Kalau memang menjadi pemimpin, lantas menjadi pemimpin yang seperti apa? Andaikan semua manusia menjadi pemimpin, lantas yang dipimpin siapa? Ini akan menjadi hal yang paradoks nantinya."
"Sampean jomblo?"
"Iya benar, lantas apa hubungannya?"
"Berarti kita harus memimpin diri sendiri. Toh tidak ada salahnya menjadi pemimpin yang baik untuk dirinya, mencegah hawa nafsunya, mengekang kemalasan dan lain sebagainya."
"Lantas potensi yang tadi dimaksudkan untuk apa? Percuma dong, kita diberi kepintaran tetapi hanya bermanfaat untuk diri sendiri."
"Tidak ada yang percuma, nah ini berkaitan dengan aspek sosial, Kita ini bergantung kepada manusia yang lain, jadi kita bisa saling melengkapi, karena setiap manusia memiliki potensi yang berbeda-beda, tentu beserta kekurangannya. Kan jelas, ketika sampean ngaji dulu, kata pak yai, bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa. Sudah fitrahnya. Tapi kalau salah terus atau lupa terus, ya kebacut."
Krek.... krek... kembali korek dinyalakan, sepuntung rokok diselipkan dibibir, lalu dihisap dalam-dalam....
"Oke, dari sini berarti hidup untuk mengabdi dan bermanfaat saja?"
"Ya bisa jadi, itu dari dua aspek saja toh? Tetapi bagi saya praktiknya berat. Mengabdi kepada Tuhan itu banyak sekali caranya, ada yang bersifat wajib, ada yang bersifat sunnah dan mubah. Nah yang sering menjadi perdebatan kita selama ini kan perihal sunnah dan mubah."
"Kayak ulama' ceramah di gereja maksudnya?"
"Kesimpulan sampean toh?"
"Ya artinya banyak kebenaran-kebenaran yang bersifat perspektif lalu saling diadu gitu kan?"
"Bisa jadi demikian, yang jelas akan sangat rugi jika dalam aspek ekonomi kita harus bekerja sama satu sama lain, dalam aspek budaya kita harus saling menghargai tradisi dan adat istiadat, seni dan lain sebagainya. Lalu hilang begitu saja karena egosentris kebenaran sepihak."
"Berarti tujuan hidup itu apa?"
"Mungkin mati"
"Kok bisa mati? Kan mati itu sesuatu yang pasti."
"Berarti tujuan hidup itu sifatnya masih umum dan belum pasti?"
"Bukan begitu, tetapi kan harus ada kurikulumnya, orang hidup harus bagaimana, agar ia begini dan begitu. Maksud saya tujuannya itu lho."
 "Agaknya, tujuan hidup itu tergantung pada pribadi masing-masing. Karena setiap manusia adalah alam kecil (Mikro Kosmos) tentu punya tata pikir dan tata kelola yang berbeda-beda. Karena keberagaman itu anugerah yang harus disyukuri."
Purnomo diam, begitu juga saya, entah mengapa saya juga mempertanyakan tujuan hidup itu apa? Karena Tuhan pasti memiliki maksud dan tujuan atas penciptaan-Nya.
Purnomo menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu berdiri dan berkata, "Berarti saya dan kamu berbeda, tujuan hidupnya pun berbeda." Sepertinya ia akan melangkah keluar dan pergi, namun sebelum ia pergi.
"Sebentar, habiskan dulu kopinya, Eman harga gula semakin tak menentu, mubazir kalau nggak dihabiskan. Perkara tujuan hidup ndak usah dipusingkan, yang terpenting sekarang, apapun profesi sampean, semoga sampean selalu menjadi orang yang bijak dengan begitu hidup akan mengalir seperti air, dan akan memberi kesuburan pada sekitar alirannya."
"Kalau pengangguran?"
"Ya jadi pengangguran yang bijak, minimal kenal dan gandeng diri sendiri dengan baik. Karena mengenal diri sendiri lebih penting dari pada menilai dan menelisik orang lain. Intinya, tujuan hidup itu kembali kepada pribadi masing-masing."
"Sudahlah, saya bingung, terima kasih kopinya. Semoga yang mendengar percakapan ini bisa memberi masukan ya..."
"Insya Allah nanti kalau ada email masuk sampean tak panggil."
Purnomo nylonong begitu saja, tanpa ucap, sambil mengapit sebatang rokok yang mengepul asapnya, dan meninggalkan beberapa batang di meja saya. "Semoga amalnya diterima, terima kasih atas tiga batang sam sunya."[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H